Quo Vadis Dunia Islam?

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
Konten dari Pengguna
21 November 2022 15:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Doha, Ibu kota Qatar/Sumber: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Doha, Ibu kota Qatar/Sumber: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dunia Islam boleh dikatakan meliputi banyak hal, mulai dari perkembangan hukum Islam (Fikih) yang terus adaptasi dengan zaman, Ekonomi masyarakat muslim dunia yang harus bertahan di tengah krisis, hingga masa depan peradaban dan ilmu pengetahuan masyarakat muslim yang masih jalan di tempat.
ADVERTISEMENT
Semua itu bisa kita sebut sebagai peradaban dunia Islam. Peradaban dunia Islam sudah berjalan ribuan tahun, jatuh bangun berkali-kali, kadang di bawah kadang di atas. Sekarang posisi dunia Islam, kalau kata Hassan Hanafi sedang di bawah. Nah, ini yang harus menjadi perhatian bersama.
Jika kita mengukur peradaban dunia Islam dengan kemegahan bangunan, tanpa Al-Quran dan Hadis manusia bisa mewujudkan hal itu, seperti yang terjadi di barat, China, atau Jepang. Jadi kemegahan stadion untuk perhelatan sepakbola dunia di Qatar tahun 2022 ini belum bisa menjadi ukuran jika peradaban dunia Islam sudah maju.
Sekian abad dunia Islam dikenal sebagai manusia yang peduli dengan kemanusiaan. Sebut saja Umar bin Khattab yang membebaskan kaum nasrani melakukan ibadah di Yerussalem, Khalifah Harun al Rasyid yang menebar kasih sayang kepada orang muslim dan non-muslim, atau Amir Abdurrahman I yang menjadi pemimpin Umayyah II di Spanyol tetapi peduli dengan kebebasan dan keamanan kaum nasrani yang hidup di bawah kekuasaanya.
ADVERTISEMENT
Sekilas membaca potongan sejarah di atas kita bisa menepuk dada, namun hal yang perlu kita ingat yaitu seluruh kemegahan itu dibayar dengan darah dari sesama orang muslim sendiri. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hari ini.
Mari kita melihat konflik di Suriah, Yaman, Libya, dan negara-negara terkait, mereka belum berhenti dari konflik yang menelan korban saudara mereka sendiri. Di lain sisi negara-negara muslim besar seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Kuwait, Iran kalau kata peribahasa turut memancing di air keruh.
Negara-negara besar itu bukan mengambil peran untuk mendamaikan negara yang sedang dilanda konflik, tapi malah mendukung salah satu pihak di negara konflik. Seperti yang disebut akademisi barat Ian Johnson, ada peran barat dan negara Arab yang kaya dalam konflik di negara-negara Arab.
ADVERTISEMENT
Sebut saja di Suriah, ada Iran di belakang presiden Bashar al-Assad, sedangkan di belakang oposisi ada Amerika Serikat dan Arab Saudi. Seperti yang disampaikan Edward Snowden mantan staf Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat, yang harus bertanggung jawab terkait ISIS adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Israel.
Melihat kondisi dunia muslim yang seperti itu tidak heran jika konflik Palestina-Israel tidak kunjung selesai. Bahkan, Israel bersorak-sorai melihat kelakuan para raja minyak tersebut. Akhirnya tanpa kita sadar tanah Palestina hilang satu jengkal setiap hari sebelum akhirnya habis tidak tersisa.
Sebagai seorang muslim, saya merasa miris melihat tingkah laku para raja minyak tersebut. Apakah mereka tidak lagi membaca sejarah? Mari kita ingat kembali konflik sektarian antara suni dan syiah. Konflik tersebut merupakan konflik politik yang berkembang menjadi konflik agama.
ADVERTISEMENT
Boleh jadi Iran dan Arab Saudi lupa jika perang Shiffin yang terjadi tahun 657 M itu merupakan perang politik untuk jabatan politik. Benar, banyak sejarawan menulis jika perang itu merupakan fitnah pertama umat muslim, namun bagi saya peristiwa itu bukan fitnah tapi realitas dari dinamika politik yang harus kita terima.
Ketika kita sudah menerima jika peristiwa itu merupakan konflik politik, harusnya para raja minyak dan penguasa Persia tersebut tidak lagi mengemas konflik kepentingan dengan bungkus agama seperti yang terjadi di Suriah. Atau “jangan-jangan” mereka ingin nostalgia sejarah? Mengingat lokasi perang shiffin kala itu juga terjadi di Suriah.
Fenomena seperti ini berkali-kali terjadi dalam sejarah umat Islam, namun terus diulang lagi dan lagi. Jika para penguasa muslim terus terjebak dalam kekuasaan pragmatis boleh jadi peradaban dunia Islam akan lumpuh permanen.
ADVERTISEMENT
Hari ini seluruh sorot mata di dunia sedang melihat kemegahan perhelatan sepakbola dunia Qatar, harusnya seluruh sorot mata di dunia juga melihat jika negara-negara muslim di Arab dan Afrika dilanda kemiskinan dan kelaparan karena konflik tidak kunjung usai.
Jadi, mau di bawa ke mana dunia Islam? sebelum menjawab itu, mari kita bertanya pada Al-Quran, bagaimana menghadapi para penguasa muslim yang senang dengan konflik kepentingan? Maka terjemahan sebagian ayat 46 Surah Al-Anfal [8] menjawab;
“Dan jangan kamu bertikai pangkai (bermusuhan satu sama lain) karena kamu akan menjadi lemah dan kekuatanmu akan sirna”.
Sekarang jawaban dari pertanyaan “mau di bawa kemana dunia Islam?” semakin jelas. Jika para penguasa muslim masih bertikai pangkai artinya jawaban dari Al-Quran tidak lagi didengar. Jika jawaban dari Al-Quran tidak didengar artinya dunia Islam bisa menjadi lumpuh, lemah, bahkan sirna.
ADVERTISEMENT