news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sukarno, Masjid Istiqlal dan Simbol Toleransi

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
Konten dari Pengguna
18 Oktober 2022 13:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Toleransi/Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Toleransi/Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
Sukarno pernah berkata “Bhineka Tunggal Ika dengan jelas mengatur hidup sosial toleransi beragama, walaupun berbeda agama, suku, dan warna kulit, tapi tetap satu”. Sukarno merupakan pendiri bangsa yang meletakkan dasar-dasar toleransi antar umat beragama, suku, dan ras. Baik melalui gagasan, sikap, maupun simbol-simbol.
ADVERTISEMENT
Pesan toleransi melalui gagasan
Sukarno merupakan muslim yang taat, sebagai pemimpin negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, ia tidak pernah menunjukkan narasi diskriminasi. Ketika sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945, Sukarno memberikan pidato “Kita hendak mendirikan Negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya”.
Jika kita melihat situasi ketika itu, kurang lebih ada tiga golongan yang hadir. Pertama golongan yang memiliki keinginan untuk membentuk negara Islam, kedua golongan yang ingin membentuk negara komunis, ketiga golongan yang ingin membentuk negara demokrasi atau sering disebut golongan nasionalis. Pidato Sukarno di atas jelas memuat pesan kebersamaan dan toleransi beragama. Sukarno juga ingin membawa Indonesia menjadi negara yang menaungi semua agama dan golongan.
ADVERTISEMENT
Pesan toleransi melalui perilaku
Banyak arsip yang menyebutkan jika presiden Sukarno selalu menghadiri kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh umat agama di luar Islam, misalnya selalu menghadiri perayaan Natal Nasional. Hal ini kemudian dilakukan secara turun-temurun sampai presiden Joko Widodo. Kehadiran pemimpin negara dalam perayaan keagamaan sangat penting mengingat Indonesia adalah negara kebangsaan yang percaya ketuhanan.
Selain itu, Sukarno juga memperlihatkan perilaku toleran dengan cara menunjuk pejabat di luar agama yang ia anut. Misalnya, Sukarno menunjuk Dr. Johannes Leimena sebagai menteri. Dr. Johannes Leimena merupakan menteri dengan jabatan paling lama selama pemerintahan presiden Sukarno. Hal ini menegaskan, untuk urusan negara dan rakyat, presiden harus menunjuk seseorang berdasarkan kualitas meskipun berbeda agama atau suku. Bukan berdasarkan kedekatan antar teman atau kerabat.
ADVERTISEMENT
Pesan toleransi melalui simbol
Pada tahun 1950 ada cerita terkenal yang membahas perdana menteri India, Jawaharlal Nehru dan presiden Sukarno. Nehru kagum dengan kehidupan di Indonesia, salah satu yang Nehru lihat adalah toleransi, keberagaman, dan akulturasi. Sebagai contoh, Nehru melihat kehidupan masyarakat Jawa mayoritas memeluk agama Islam, namun mereka masih ada yang menggunakan bahasa Sansekerta. Kesan ini di kemudian hari menjadi prototipe kehidupan toleransi di India.
Sukarno dengan tokoh-tokoh nasional yang lain menganggap jika keberagaman dan toleransi adalah identitas bangsa Indonesia. Sukarno ingin menunjukkan identitas ini kepada masyarakat Indonesia dan dunia dengan cara membangun masjid agung terbesar di Indonesia bahkan di Asia, Sukarno berharap masjid tersebut menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan rapat dengan tokoh dan pakar, Sukarno memilih Frederik Silaban sebagai arsitek, Frederik Silaban beragama Kristen dan berasal dari Sumatera Utara. Selain itu Sukarno juga memilih membangun masjid tersebut di depan Gereja Katedral yaitu taman Wihelmina.
Rencana Sukarno tersebut sempat mendapat penolakan dari berbagai tokoh, termasuk Hatta karena dinilai pemborosan. Namun setelah diberi penjelasan bahwa masjid sengaja dibangun di depan Gereja Katedral untuk menunjukkan kepada generasi yang akan datang, bahwa masjid ini merupakan simbol toleransi, persaudaraan, pluralisme, keberagaman, dan semangat persatuan.
Masjid ini kemudian diberi nama “Masjid Istiqlal” yang berarti “Masjid Kemerdekaan”. Masjid ini bukan hanya milik umat Islam, tetapi milik rakyat Indonesia. Masjid Istiqlal dibangun selama 17 tahun, Sukarno meletakkan batu pertama pada tanggal 24 Agustus 1961 dan selesai pada tanggal 22 Februari 1987.
ADVERTISEMENT
Dari semua yang dilakukan, tidak heran jika Sukarno meraih tiga medali kehormatan dari Vatikan, pertama pada 13 Juni 1956, kedua pada 14 Mei 1959, dan terakhir pada 12 Oktober 1964. Dalam buku karya Cindy Adams, Sukarno berkata “Aku orang Islam hingga sekarang memperoleh tiga medali yang tertinggi di Vatikan”. Ia dianggap pemimpin yang toleran karena mau menghormati dan menerima rakyat yang bukan beragama Islam.
Bahkan medali yang diperoleh Sukarno sempat membuat presiden Irlandia iri, karena presiden Irlandia waktu itu, Eamon de Velera hanya mendapat satu medali dari Vatikan. Padahal ia memimpin negara dengan mayoritas beragama Katolik. Pada tahun 2012 lalu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebutkan jika presiden Sukarno adalah presiden paling toleran di Indonesia dengan nilai 83 persen, kemudian diikuti presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan nilai 81 persen.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, saya hanya mengingatkan jika para pendiri bangsa sudah mewariskan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak terhitung nilainya. Masjid Istiqlal adalah legacy bagi bangsa Indonesia untuk memperingatkan kita jika “toleransi” merupakan bagian dari identitas bangsa Indonesia. Kita harus ingat kata presiden John F. Kennedy “Tolerance implies no lack of commitment to one’s beliefs. Rather it condemns the oppression or persecutors of other”.