Konten dari Pengguna

Wajah Penegakan Hukum di Negara Hukum

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
17 Oktober 2022 11:34 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Aparat Penegak Hukum/Sumber: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Aparat Penegak Hukum/Sumber: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Penegakan hukum dan aparat penegak hukum masih mendapat rapor merah dari publik, padahal Indonesia merupakan negara hukum seperti tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3. Lantas bagaimana kondisi penegakan hukum di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Menurut Ratno Sulistiyanto, Direktur Eksekutif Indopol, menjelaskan hasil survei bulan Januari 2022 kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum sebesar 64,55 persen dan mengalami penurunan menjadi 57,07 persen pada bulan Juli 2022 lalu. Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum bisa menjadi gambaran kondisi penegakan hukum di Indonesia.
Ironi memang ketika melihat kondisi penegakan hukum di Indonesia yang masih tebang pilih. Padahal di negara demokrasi, semua warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum. Sebut saja kasus Ferdy Sambo, Polisi berpangkat Jenderal yang membunuh Brigadir J, pembunuhan itu dilakukan karena diduga Brigadir J melakukan hal tidak hormat terhadap Istri sang Jenderal yaitu Putri Candrawati.
Di lain sisi, sempat ramai di media sosial kasus korban begal di NTB yang menjadi tersangka. Hal itu karena ia membela diri hingga menyebabkan begal terbunuh. Baru-baru ini Kepolisian memperbaiki pedoman terkait membela diri dan kasus korban begal di NTB juga dihentikan.
ADVERTISEMENT
Dua contoh kasus di atas menunjukkan perbedaan seperti bumi dan langit. Dalam kasus Ferdy Sambo, kepolisian lambat mencari tersangka, bahkan ada upaya menghalangi penyidikan yang melibatkan puluhan Polisi dari pangkat rendah hingga Perwira Tinggi (PATI), hal itu menunjukkan moralitas penegak hukum masih lemah karena mudah diajak kompromi. Sedangkan yang satu tanpa hitungan bulan sudah menjadi tersangka.
Dalam kasus kedua, Polisi memberikan keterangan kenapa korban begal menjadi tersangka, itu karena menghilangkan nyawa seseorang. Apapun alasan yang dimiliki menghilangkan nyawa seseorang tidak dibenarkan. Publik pasti bingung jika berhadapan dengan begal, melawan tidak bisa mati pun tidak mau. Lain korban begal lain Sambo. Kondisi ini memperjelas jika penegakan hukum dan penegak hukum harus terus dikoreksi oleh masyarakat agar keadilan tegak lurus dengan rakyat.
ADVERTISEMENT
Minim Moralitas
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ada 34 aparat penegak hukum terjerat kasus korupsi di tahun 2022. 21 koruptor dengan jabatan hakim, 10 koruptor dengan jabatan jaksa, dan 3 orang dari kepolisian. Saya meyakini data tersebut hanya kumpulan angka bukan gambaran dari kondisi nyata.
Kasus korupsi tersebut merupakan perwujudan dari moralitas aparat penegak hukum yang minim. Moralitas yang minim mengakibatkan kinerja aparat penegak hukum tidak profesional. Jika tidak profesional kompromi dan korupsi mudah terjadi. Salah satu contoh yang mudah ditemukan yaitu suap terhadap Polisi.
Jumlah pelanggar lalu lintas sangat banyak, Korlantas Polri merilis ada 68.204 pelanggar selama sembilan hari Operasi Patuh 2022. Jika kita lihat, jumlah pengendara yang memilih “damai di tempat” berjumlah lebih banyak ketimbang sidang di pengadilan.
ADVERTISEMENT
Kejadian seperti ini terjadi bertahun-tahun hingga menjadi rahasia umum, hampir tidak ada yang menolak argumen ini. Kesepakatan kecil di tingkat bawah seperti ini mampu membentuk opini publik bahwa aparat penegak hukum bisa dibeli. Dampak dari fenomena ini sampai pada tingkat atas sehingga kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum terus menurun.
Selain itu perkataan Najwa Shihab selaku jurnalis terkemuka Indonesia yang mengomentari gaya hidup mewah anggota Polri dan keluarga sekaligus peringatan untuk jangan takut jika Polisi menakut-nakuti dengan pasal, karena pasal bisa dipelajari, dianggap mewakili suara masyarakat. Meskipun tidak semua anggota Polisi selaku aparat penegak hukum berperilaku buruk. Namun penilaian masyarakat terhadap aparat penegak hukum menjadi gambaran kondisi penegakan hukum itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Penegakan hukum dan aparat penegak hukum dengan segala persoalan yang ada harus segera diperbaiki dan dituntaskan. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum harus pulih. Jika tidak dampak yang timbul akan panjang, misalnya masyarakat akan main hakim sendiri, bahkan berpotensi menimbulkan kekerasan. Semoga tanda pagar di media sosial “Percuma Lapor Polisi” yang pernah tren segera berganti menjadi “Percaya Dengan Polisi”, amin.