Warna-warni Industri Politik Indonesia

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
Konten dari Pengguna
4 Oktober 2022 17:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumntasi Pribadi/Kegiatan Anak Muda Sadar Politik
zoom-in-whitePerbesar
Dokumntasi Pribadi/Kegiatan Anak Muda Sadar Politik
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit masyarakat yang berpandangan pragmatis ketika melihat dunia politik. Bahkan banyak yang memaknai politisi sebagai sebuah profesi untuk membangun pundi-pundi keuangan. Menurut Burhanudin Muhtadi, kepercayaan masyarakat terhadap politisi mengalami penurunan drastis, kita ambil contoh kepercayaan masyarakat terhadap partai politik hanya sebesar 54 persen. Padahal di awal reformasi kepercayaan masyarakat terhadap partai politik cukup tinggi. Kepercayaan terhadap partai politik dapat dijadikan tolok ukur kepercayaan masyarakat terhadap politisi, karena mayoritas politisi Indonesia berinduk kepada partai politik.
ADVERTISEMENT
Lantas apa penyebab penurunan kepercayaan masyarakat terhadap politisi? Sebelum lebih jauh, mari kita menyoroti dinamika partai politik. Demokrasi di Indonesia mulai bertambah matang, namun partai politik sebagai representasi demokrasi acapkali enggan mempraktikkan demokrasi dalam kepengurusan. Tubuh partai politik kita hari ini sering digambarkan sebagai dunia Mafioso dalam novel Mario Puzo, The God Father. Memang di dalamnya terdapat unsur diametral berupa kesetiaan, pengkhianatan, hadiah, hukuman, pujian, cacian, harapan, dan penyesalan.
The God Father dalam partai politik secara sengaja dijadikan central figure seperti Susilo Bambang Yudhoyono dalam partai demokrat, Megawati Sukarnoputri di PDIP, Prabowo Subianto di Gerindra, Surya Paloh di NasDem atau Wiranto di Hanura. Mereka adalah The God Father dan The God Mother yang memilih mengelola partai politik bergaya mafia, kepemimpinan mutlak di tangan central figure dan akan diturunkan kepada anaknya di kemudian hari. Tidak heran jika ada anggota berkhianat atau menyesal setelah mengetahui kondisi seperti ini.
ADVERTISEMENT
Politisi bukan Profesi?
Politik harusnya dipahami sebagai aktifitas yang berkaitan dengan tata kelola negara, seperti penyelenggaraan kekuasaan, mendiskusikan, mengalokasikan, mendistribusikan, mengambil keputusan, menyusun prosedur pemilihan, dan mengatur pemerintahan. Seseorang yang ingin menjadi politisi harus memiliki mental dan kompetensi khusus seperti kecakapan mengatur dan mengoordinasikan yang berkaitan dengan urusan kenegaraan.
Sedangkan profesi adalah service occupation alias pelayanan. Seseorang yang menjalankan profesinya harus menerapkan pengetahuan ilmiah dibidang tertentu, menghayati sebagai panggilan hidup, serta terikat dengan nilai etik, atau sering disebut etika profesi yang bersumber kepada pengabdian terhadap sesama manusia.
Dengan demikian apakah politisi dapat disebut sebagai profesi? Harusnya politisi bukan sebuah profesi karena profesi memerlukan keahlian spesifik yang diperoleh dari pendidikan formal maupun pelatihan khusus. Dulu orang yang berpolitik harus memiliki profesi lain sebagai sumber nafkah, ketika itu politik merupakan kegiatan untuk mewujudkan ide serta kerja pengabdian masyarakat, bukan dijadikan sebagai sumber pencaharian.
ADVERTISEMENT
Namun seiring perkembangan zaman ditambah terbukanya keran kebebasan berpolitik setelah reformasi 1998 banyak orang berbondong-bondong masuk dunia politik. Misalnya, Agus Harimurti Yudhoyono yang sebelumnya berkarier di tentara, Sandiaga Uno seorang saudagar, Andurrahman Wahid seorang ulama, Joko Widodo yang ahli mebel, Anis Baswedan seorang akademisi, dan Puan Maharani yang seorang Ibu rumah tangga.
Meskipun reformasi membuka partisipasi publik di bidang politik, kenyataanya politik justru semakin jauh dari urusan publik, politik cenderung mengarah urusan domestik di lingkup kepentingan keluarga dan pertemanan. Dulu orang berpolitik memiliki kecerdasan identifikasi masalah dan merumuskan solusi atas persoalan sosial, pandai orasi, memiliki seni memengaruhi orang lain, dan kuat secara intelektual.
Hari ini kemampuan politik tereduksi menjadi seni kemampuan bersekongkol dan keahlian sluman-slumun-slamet. Politisi hari ini juga memiliki seni penghayatan terhadap perintah ketua umum partai. Etos pengabdian dan loyalitas kepada partai adalah keahlian mutlak yang harus dikuasai politisi masa kini. Jadi apakah politisi adalah profesi? Saya memperkenankan pembaca untuk menjawab pertanyaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Politisi berwatak Saudagar
Kemajuan zaman memungkinkan seorang manusia memiliki lebih dari satu keahlian. Begitu juga dalam pekerjaan, seseorang bisa memiliki lebih dari satu profesi. Misalnya seorang saudagar bisa juga merangkap menjadi politisi. Diakui atau tidak seseorang dengan profesi tertentu selalu memiliki watak dasar yang kemudian menjadi stigma di masyarakat. Misalnya, watak dasar saudagar sering digambarkan sebagai manusia yang berorientasi pada keuntungan, yaitu dengan modal secuil namun dapat meraup keuntungan menggunung.
Apakah salah saudagar menjadi politisi? Tentu tidak, namun yang perlu kita wanti-wanti adalah jangan sampai maindset saudagar masuk ke dalam dunia politik. Jika hal ini terjadi negara bisa menjadi lahan jualan dengan kalkulasi untung-rugi. Maindset seperti ini kebanyakan mengabaikan efek samping karena orientasinya selalu keuntungan.
ADVERTISEMENT
Apabila mayoritas politisi memiliki watak saudagar kemungkinan yang akan terjadi ada dua. Pertama, ketika mereka berkuasa boleh jadi bertujuan mendominasi kekuasaan sekaligus menumpuk uang. Kedua, ketika mereka tidak berkuasa mereka akan melakukan kesepakatan supaya mereka tetap mendapat untung. Padahal idealnya ketika politisi berkuasa tujuan utamanya adalah menyejahterakan rakyat, apabila tidak berkuasa harus menjalankan fungsi sebagai check and balance.
Sebagai penutup saya ingin mengutip perkataan Akbar Tanjung bahwa tujuan politik memang kekuasaan tetapi hanya tujuan pertama bukan tujuan utama, tujuan utamanya adalah memajukan negara dan menyejahterakan rakyat melalui kekuasaan yang diperoleh. Saya masih menaruh harap bahwa partai politik yang ada saat ini bukan penjelmaan dari industri kapitalis yang mempekerjakan politisi hanya untuk tujuan keuntungan, tetapi penjelmaan dari sekolah yang mencetak politisi cerdas, memiliki integritas, dan berjiwa pengabdi kepada negara. Aamin.
ADVERTISEMENT