Buku itu Jendela Dunia, Membaca itu Kunci Pembukanya

Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Kolomnis; Penulis puluhan buku; trainer kepenulisan, pembicara. Twitter: IG: nurudinwriter.
Konten dari Pengguna
4 November 2019 14:05 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bacaan menentukan bagaimana karakter lisan, tulisan, sikap dan perilaku manusia di masa datang (foto dok. Nurudin)
zoom-in-whitePerbesar
Bacaan menentukan bagaimana karakter lisan, tulisan, sikap dan perilaku manusia di masa datang (foto dok. Nurudin)
ADVERTISEMENT
Seorang pembaca buku saya mengirimkan pesan mengapa tulisan-tulisan saya renyah dan mudah dibaca. Dia mengatakan, membaca buku saya seperti sedang mendengarkan ceramah dengan bahasa tutur. Tulisannya runtut dan mudah dipahami.
ADVERTISEMENT
Pada saat yang lain saya mendapat komentar dari teman di media sosial. Saya sendiri tidak pernah ketemu. Dia mengomentari tulisan saya yang barusan saya unggah di media sosial. Dia mengatakan, “Pak bagaimana caranya bisa menulis runtut dan enak dibaca seperti itu?” tentu masih ada banyak pertanyaan lain yang sejenis.
Jawaban atas pertanyaan di atas tentu tidak mudah dan membutuhkan penjelasan yang panjang lebar. Tidak saja menyangkut “jam terbang” menulis tetapi juga budaya baca. Meskipun saya masih menyadari budaya baca saya sangat kurang. Tapi setidaknya dengan membaca memberikan bekal dan “amunisi” saya dalam menulis.
Saya tidak bicara teori menulis. Saya akan fokus pada pentingnya membaca. Paling tidak cerita dari pengalaman saya saja. Jadi lebih terkesan orisinil. Bukan berdasar dalil yang muluk-muluk.
ADVERTISEMENT
Kebutuhan Masa Datang
Tak bisa dipungkiri, membaca itu memengaruhi banyak hal. Seorang orator ulung tentu dibentuk dan diperkaya gagasannya dengan membaca. Ingat Soekarno? Ingat Mohammad Hatta? Ingat Gus Dur? Ingat Emha? Ingat Cak Nur? Ingat Romo Mangun? Semua orang ini gila membaca. Maka, jika kita mendengarkan pidato, ceramah atau tulisannya sangat kaya gagasan. Satu lagi, tulisannya renyah dan runtut. Seperti kita sedang berbicara langsung dengan mereka.
Mungkin saat orang mengatakan bahwa membaca itu punya pengaruh pada pengetahuan, sikap, perilaku dan isi apa yang disampaikan tidak percaya. Saat saya menganjurkan pada mahasiswa untuk rajin membaca pun tak ada respons menggebu-gebu. Mengapa? Karena membaca itu memang bukan kebutuhan sesaat dan saat ini juga. Membaca itu banyak berkaitan dengan kebutuhan masa datang. Ini masalah kita yang utama.
ADVERTISEMENT
Mengapa problematis? Karena masyarakat kita terbiasa atau membiasakan diri harus mendapat manfaat saat itu juga dari sesuatu yang dilakukan. Misalnya, membeli paket internet langsung bisa digunakan. Ini tentu lebih menarik. Juga, membeli makanan bisa langsung dimakan.
Banyak orang tidak suka menabung karena itu kebutuhan jangka panjang. Sementara banyak di antara mereka lebih senang dengan mencari utang karena bisa langsung dimanfaatkan. Banyak masyarakat kita yang senang kredit mobil atau sepeda motor. Mengapa? Kredit langsung bisa digunakan dan ditunjukkan pada orang lain. Padahal jatuh uang angsuran itu lebih mahal jika ditotal karena harus membayar bunganya pula. Mengapa masyarakat kita melakukan? Itu tadi terbiasa dengan sesuatu yang bisa dimanfaatkan saat ini juga. Maka soal menabung tak banyak yang tertarik. Jika bisa, penginnya malah instan.
ADVERTISEMENT
Kembali ke soal membaca. Saya punya pengalaman menarik dengan membaca. Saya sejak SD suka membaca. SMP juga, apalagi SMA. Pokoknya senang saja. Saya hanya menuruti hobi semata. Bahkan bapak saya sampai melanggankan saya majalah anak-anak Sahabat. Di SMA saya banyak membaca buku-buku agama. Karena bapak saya memang banyak membeli dan mengoleksi buku agama. Ya cuma senang saja. Tentu buku agama berbahasa Indonesia karena saya tidak pandai berbahasa Arab.
Saya juga tidak tahu untuk apa membaca? Tidak ada yang memaksa saya membaca bahwa membaca itu penting untuk masa depan. Hampir tak ada. Hanya karena senang saja. Ibaratnya mencari hiburan.
Membaca untuk Menulis
Saat kuliah budaya baca saya tersalurkan. Apalagi saat bulan Mei 1991, saat tulisan saya pertama kali saya dimuat di harian Jawa Pos. Saat itu saya baru merasakan bahwa aktivitas membaca selama ini ada gunanya. Minimal saya mempunyai informasi dari yang pernah saya baca. Tulisannya membahas yang sepele saja, yang saya paham yakni soal “Peran Ganda Wanita”. Tentu, dibandingkan dengan teman-teman saya kuliah waktu itu saya masih kalah jauh. Meskipun masih banyak teman kuliah yang tak hobi membaca.
ADVERTISEMENT
Budaya membaca saya semakin tertantang saat sering mengikuti diskusi. Ya hanya mengikuti saja. Pengin tahu doang. Karena kalau mau ikut bicara, pengetahuan saya soal tema diskusi tidak memadai. Budaya baca yang saya anggap cukup itu ternyata tak cukup.
Saya mulai tertantang membaca. Pokoknya saya harus membaca. Itu saja. Simpel bukan? Karena saya melihat teman-teman yang membaca, dan punya banyak koleksi buku di rak kos-kosannya, pandai berbicara di depan banyak orang. Mengapa saya tidak bisa? Itu pikiran saya waktu itu. Sederhana saja, bukan?
Apa yang dibaca? Apa saja. Mengapa? Saya belum tahu kesenangan membaca saya itu apa. Pokoknya semua buku yang saya ingin baca, saya baca. Tidak peduli apakah itu fiksi atau buku ilmiah. Kadang uang bulanan saya habiskan untuk membeli buku. Ya, kadang makan sehari bisa dua kali agar bisa terturuti keinginan membeli buku itu.
ADVERTISEMENT
Kadang saya membaca di perpustakaan. Bahkan ada teman yang menjuluki saya sebagai “the man behind the library”. Entah apa maksudnya. Tapi itulah yang terjadi. Tentu dibanding dengan teman-teman saya yang lain, budaya saya masih kalah jauh. Saya hanya menunjukkan gairah saja.
Saya juga punya daya tangkap dan serap dari bacaan kurang. Mungkin teman saya itu sekali baca langsung paham. Saya tidak. Oleh karena itu saya harus bisa imbangin dengan terus membaca, bahkan saya ulang beberapa kali. Namanya juga kemampuan masing-masing orang berbeda. Ibarat sepeda motor, mungkin saya waktu itu masih memakai cc 100 teman-teman saya sudah memakai 125. Saya tentu harus terus berlatih dan tahan banting. Ini saja yang saya rasakan.
ADVERTISEMENT
Percaya Diri
Dengan membaca saya jadi percaya diri. Termasuk percaya diri berhadapan dengan orang. Karena apa? Karena ada yang bisa saya andalkan yakni pengetahuan dari membaca. Apalagi kepercayaan diri saya itu semakin kuat tatkala saya bisa menulis. Menulis ini juga buah dari kecintaan saya pada aktivitas membaca.
Mengapa dalam menulis membuat saya jadi percaya diri? Ada contoh menarik. Tahun 2014 saya ingin menulis buku “Pengantar Ilmu Komunikasi”. Saya sudah mengetik sekitar 60 persen. Tiba-tiba laptop saya hilang. Raib semua naskah tulisan buku itu.
Lalu tahun 2015 saya lanjutkan menulis draft itu lagi. Mulai dari nol. Waktu itu saya sempat ragu-ragu, apa buku saya nanti akan laku? Sudah banyak buku dihasilkan oleh para guru besar. Setidaknya ada 4 guru besar ilmu komunikasi di Indonesia yang menulis buku “Pengantar ilmu Komunikasi”. Cukup menantang dan membuat keder bukan? Saya juga siapa.
ADVERTISEMENT
Tetapi, saya melihat tulisan 4 guru besar di atas sangat ilmiah. Untuk mahasiswa semester awal sangat sulit dipahami. Ini tentu menurut saya. Mungkin karena setingkat guru besar menulisnya sangat detail, dalam, dan agak ilmiah. Saya mau menulis yang saya mampu saja. Simpel, bukan?
Sebagai seorang penulis artikel, tentu saya terbiasa melihat pasar. Saya harus mencari pasar lain pembaca buku saya. Buku harus saya tulis secara ilmiah dan populer. Karena saya penulis artikel di media cetak. Masak saya tidak bisa menyaingi para guru besar itu?
Saya banyak menulis buku itu di warung kopi. Mengapa? Di warung kopi itu saya berhadapan langsung dengan banyak mahasiswa. Saya selalu diingatkan, “Itu lho, pasar pembacamu. Jangan ilmiah-ilmiah kalau menulis buku”.
ADVERTISEMENT
Jadilah saya membuat buku Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer (2016). Saya masih khawatir apakah buku saya itu nanti laku? Ternyata tidak sampai satu tahun, buku tersebut cetak ulang. Dan itu berlanjut setiap tahun. Berarti buku saya ada pasar pembacanya.
Saya diuntungkan dengan budaya membaca yang sudah saya miliki sejak dahulu. Inilah pentingnya membaca, membaca dan terus membaca. Membaca buku jenis apa? Membaca buku apa saja. Karena membaca itu akan memengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku seseorang.
Banyak orang bilang dan mengakui bahwa buku itu jendela dunia. Namun banyak yang lupa, untuk membuka jendela itu harus pakai kunci. Nah, untuk membuka jendela dibutuhkan kunci juga. Kuncinya tak lain adalah dengan membaca.
ADVERTISEMENT
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Kolomnis dan sudah menulis 19 judul buku. Penulis bisa dihubungi di Twitter: @nurudinwriter; IG: nurudinwriter; Facebook: Nurudin AB