Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerdas Memang Penting, Tekun Jauh Lebih Penting
12 Maret 2020 9:56 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Nurudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Ada yang ingin kukatakan; kau tidak harus cerdas untuk menjadi dokter. Kau hanya harus tekun, “kata dokter pada seorang pasien bernama Robin L. Reynolds (17 tahun). Itu salah satu penggalan cerita dalam buku Chicken Soup for the Soul: Think Possible 101 Stories about Using a Positive Attitude to Improve Your Life (2016).
ADVERTISEMENT
Ceritanya begini. Robin sedang nunggu di ruang pasien. Saat giliran tiba jadilah ia ketemu dokter tersebut. Dalam bayangan Robin tentu dokter menanyakan riwayat penyakitnya apa. Apa yang dirasakan. Sudah berada hari sakit. Sudah makan belum. Sudah minum obat apa saja dan sebagainya sebagaimana umumnya dokter bertanya. Anda yang pernah ke dokter tentu tidak asing lagi dengan pertanyaan seperti itu.
Nah, dokter ini lain. Robin malah ditanya begini, “Jadi Robin, bagaimana rencana setelah lulus dari sekolah menengah?” Dokter itu bertanya tanpa menoleh dan menatapnya. Tentu beda dengan dokter-dokter yang menghadapi pasien. Umumnya mereka menanyakan pertanyaan klasik di atas sambil menatap pasien. Kalau tidak ditatap nanti dikira sombong atau apa. Jangan-jangan pasien itu tidak kembali lagi. Pasien dokter itu nanti berkurang, bukan?
ADVERTISEMENT
“Hmmm. Mengapa kau tidak kuliah untuk menjadi dokter seperti aku, “dia tersenyum sambil memilik arlojinya.
Dokter aneh. Pikir Robin. Dia anak terakhir dari lima bersaudara. Semua saudaranya tidak ada yang kuliah. Robin sendiri merasa tidak berbakat untuk kuliah.
“Saya tidak cukup cerdas untuk menjadi seorang dokter, ”jawab Robin.
Dokter itu tiba-tiba berhenti menulis resep. Dia menutup pulpennya dan memandang tajam pada Robin. Dia menyingkirkan semua yang dapat mengalihkan perhatian Robin. Dia menatap lebih tajam dan berkata ‘ “Ada yang ingin kukatakan; kau tidak harus cerdas untuk menjadi dokter. Kau hanya harus tekun, “kata dokter.
Bagi Robin pertanyaan dan jawaban dokter itu sungguh aneh. Apa dokter itu sedang bergurau? Mengapa dokter seolah menanyakan hal yang tak wajar? Apa dia sengaja mengalihkan pembicaraan? Apakah ia sekadar memotivasi? Atau biar tidak ditanya obat ini dan obat itu?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan itu terus berputar di kepala Robin. Ia jadi berpikir. Tapi dia juga memahami kondisi dirinya. Dia termasuk keluarga miskin di tempatnya. Nilai sekolahnya juga dibawah standar. Bahkan dalam keluarganya pendidikan bukan sesuatu yang ditekankan. Tapi pertanyaan dokter itu sungguh mengganggu sekali.
Kemudian Robin berpikir terus, “Apakah saya mampu?” Akhirnya Robin kemudian lulus sekolah. Sekian tahun kemudian dia menjadi orang pertama dalam keluarganya yang lulus sarjana. Dari keluarga yang tak mementingkan pendidikan ternyata dia bisa lulus strata saru. Bahkan sepuluh tahun kemudian dia bisa lulus dan bergelar master pada tahun 2014. Tidak harus menjadi dokter tetapi bercita-cita setinggi langit. Biarlah Tuhan yang mengatur itu semua.
Soal Ketekunan
ADVERTISEMENT
Cerita Robin itu hampir menyerupai kehidupan saya. Saya berasal dari keluarga yang tidak mampu-mampu amat. Ibu saya seorang petani. Bapak saya hanya seorang pegawai negeri dengan golongan 1. Saya lebih beruntung dari Robin karena soal pendidikan bapak saya menganggap itu sangat penting. Meskipun saya sendiri tak membayangkan bisa kuliah, karena kondisi keluarga saya yang pas-pasan.
Saya juga merasa seperti Robin. Punya kemampuan dan kecerdasan pas-pasan saja. Juga tidak pernah menjadi juara di sekolah. Satu-satunya prestasi di SMP saat menjadi siswa teladan dan mewakili sekolah di tingkat kabupaten. Tentu saja, harus bersaing dengan jago-jago favorit sekolah lain. Saya membayangkan pasti kalah. Itu tadi, karena tak memiliki kecerdasan yang mumpuni. Tapi saya harus berangkat ikut kompetisi. Mungkin ini menjadi pelajaran saya untuk belajar dari lingkungan dan orang lain.
ADVERTISEMENT
Saat sekolah di SMA Favorit di kota Bantul, Yogyakarta juga pas-pasan saja. Saya menjadi murid yang minder. Teman-teman saya banyak yang berasal dari anaknya orang berpunya. Naiknya saja sepeda motor, saya harus pakai sepeda angin. Cerdas-cerdas. Pinter berbicara. Aktif di organisasi. Sementara saya? Mempertahankan untuk bisa sekolah dengan prestasi lumayan saja susahnya minta ampun. Prestasi saya soal nilai hanya sampai pada ranking 5 semester V, saat kelas 3.
Saya tidak seberuntung Robin yang ketemu seorang dokter yang bisa memantik semangat. Nyaris saya mencari sendiri semangat itu. Orang tua saya tahunya membiayai saja. Maklum namanya juga orang desa tak ada wawasan jauh ke depan. Saya hanya beruntung, soal membeli buku bapak saya tidak melarang dan membiayai kebutuhan sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Maka, buku-buku pelajaran sekolah saya punya semua. Bahkan buku-buku umum dan motivasi saya punya. Saya beli di shopping center Yogya. Saya harus membeli buku itu sejauh 20 kilometer dengan naik sepeda onta (sepeda kuno yang biasa dipakai orang desa). Tapi saya sudah cukup senang.
Di SMA memang saya menjadi anak pendiam. Tetapi saya mempunyai banyak buku yang bisa saya baca. Dan saya banyak belajar dari buku-buku itu. Bagaimana harus giat, bagaimana meningkatkan pengetahuan yang lain dari sekadar pelajaran sekolah, bagaimana berteman dengan orang lain, menemukan semangat yang tinggi dan lain-lain. Nyaris saya memulai dari nol di SMA. Sementara saya melihat teman-teman saya sudah melejit dari soal Indeks Prestasi (IP) sampai aktif di organisasi sekolah. Saya memimpikan itu, tapi tinggal angan-angan.
ADVERTISEMENT
Saya hanya punya ketekunan dalam membaca saja. Ternyata ketekunan saya ini ada manfaatnya. Meskipun belum bisa dilihat. Minimal saya mempunyai wawasan tambahan kaitannya dengan ilmu pengetahuan.
Saat kuliah pun saya masih menjadi mahasiswa yang minder dan pendiam. Bagaimana tidak, diskusi yang pernah saya ikuti membuat saya semakin minder. Para peserta banyak yang pandai berbicara. Omong ini omong itu. Saya hanya bengong. Pulang ke kos saya terus berpikir. Apa keadaan ini harus saya biarkan? Saya mungkin sebingung Robin saat ditanya dokter setelah sekolah mau apa? Kenapa tidak jadi dokter saja? Mungkin itu.
Saya terus membaca. Bacaan saya itu ternyata ada manfaatnya. Saya banyak pengetahuan. Meskipun belum menjadi seorang yang bisa berbicara dengan meledak-ledak, berapi-api dan penuh dengan teori mutakhir. Tapi minimal saya tidak lagi minder berhadapan dengan teman-teman. Lalu saya “memaksa” diri masuk beberapa organisasi. Mengapa? Hanya ini yang bisa memacu saya untuk percaya diri dan cepat maju. Mengandalkan kekuatan diri rasanya masih susah.
ADVERTISEMENT
Itu juga yang membuat saya semakin percaya diri. Saya bisa menulis di koran (1991). Tidak tanggung-tanggung. Pertama kali menulis di harian Jawa Pos, koran prestisius zaman saya kuliah di Solo disamping Kompas, Suara Merdeka dan Kedaulatan Rakyat. Dueeeer. Percaya diri saya menjadi-jadi.
Ternyata kecerdasan yang minim saya punyai tidak menyurutkan semangat. Jika dokter langganan Robin itu ketemu saya saat saya kuliah tentu saya akan mengatakan, “Benar dokter. Kecerdasan tidak begitu penting. Yang lebih penting adalah ketekukan. Saya sudah membutikannya”
Ini pula yang terus saya tularkan pada mahasiswa saat saya mengajar. Tidak sekadar omong tetapi saya harus bisa memberikan bukti dan contoh. Karena yang bisa saya punya menulis, ya tentu soal menulis. Setiap orang tidak harus sama. Setiap orang punya kelebihan masing-masing. Hanya cukup dengan memaksimalkan potensinya itu. Tak bisa semua orang harus sama, bukan?
ADVERTISEMENT
Mengurus diri sendiri saja capek apalagi mengurus orang lain. Tugas saya hampir selesai soal menulis. Tugas selanjutnya adalah bagaimana memberikan atmosfir menulis yang bagus bagi lingkungan sekitar. Capek memang. Tetapi itu bagian dari kenikmatan dan rasa syukur saya pada diri saya yang pernah hilang puluhan tahun lalu. Saya sudah menulis artikel dan dimuat sekitar 700-an, buku 20-an dan mendorong mahasiswa menerbitkan buku sudah sekitar 40-an judul. Cerdas penting, tapi jangan lupa tekun.
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); kolomnis; penulis buku. Penulis bisa dihubungi di Twitter: @nurudinwriter; IG: nurudinwriter; Facebook: Nurudin AB