Di Balik Makna Demonstrasi

Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Kolomnis; Penulis puluhan buku; trainer kepenulisan, pembicara. Twitter: IG: nurudinwriter.
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2020 10:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demonstrasi itu usaha menyapa elite politik karena buntunya saluran komunikasi (sumber foto: malangvoice)
zoom-in-whitePerbesar
Demonstrasi itu usaha menyapa elite politik karena buntunya saluran komunikasi (sumber foto: malangvoice)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Demonstrasi mahasiswa dalam memprotes UU Omnibus Law yang berbuntut kekerasan masih menyisakan cerita panjang, bahkan ceritanya akan terus berlanjut. Salah satu alasannya, demonstrasi itu juga mempunyai tali temali masa lalu, kepentingan masa depan dan eskalasi kekecewaan yang telah menumpuk.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, demonstrasi yang berakhir rusuh layak dikutuk. Namun demikian, mengutuk tindakan kekerasan yang muncul tanpa menyelidiki atau melihat substansi masalah utamanya tentu tidak akan menuntaskan akar persoalan. Penyelesaian dengan hanya menuduh, menangkap, mengadili tanpa melihat permasalahan utamanya hanya akan membuat suasana berhenti sesaat tetapi akan memicu gerakan lain di masa datang.
Hampir semua mengutuk perilaku kekerasan. Bahkan ajaran agama manapun tidak mengajarkan kekerasan. Aturan hukum juga jelas memberikan sanksi berat bagi pelaku kekerasan. Intinya perilaku kekerasan menjadi musuh bersama manusia. Itu pulalah yang mencoba disampaikan oleh para penganjur keadilan dan kebaikan.
Namun pertanyaannya, mengapa tindak kekerasan masih terjadi? Apakah ada yang salah dengan cara-cara penanganan kekerasan yang selama ini dilakukan? Jawaban atas pertanyaan ini memang tidak mudah dilakukan karena berkait erat dengan banyak hal dan kepentingan.
ADVERTISEMENT
Cara Menyapa
Tindak kekerasan, oleh karenanya harus dipahami sebagai aktivitas yang merupakan akibat dari sebuah sebab. Misalnya bisa dengan cara mengajukan pertanyaan; mengapa kekerasan terjadi? Apa masalah utama sehingga kekerasan harus dilakukan? Mengapa yang menjadi sasaran kelompok tertentu dan yang melakukan kekerasan kelompok yang lain? Tanpa ada usaha menjawab persoalan ini maka kekerasan akan menjadi pemandangan kita sehari-hari. Jikapun tidak muncul saat ini, hanya tinggal menunggu karena suatu saat akan mengemuka kembali.
Salah satu bentuk munculnya kekerasan adalah tersumbatnya saluran komunikasi politik. Bisa jadi saluran komunikasi politik memang ada, tetapi buntu di ujungnya. Bisa sengaja dibuntu atau memang salurannya “sedang kotor”.
Maka, demonstrasi yang dilakukan mahasiswa itu sebenarnya sebuah cara untuk berkomunikasi kepada elite politik. Tentu saja ada banyak saluran pesan komunikasi yang bisa dilakukan mahasiswa kepada para pemimpinnya. Masalahnya jika saluran resmi yang selama ini ada tidak bisa dijadikan media yang baik, maka demonstrasi itu menjadi salurannya.
ADVERTISEMENT
Jadi dalam hal ini demonstrasi hanya sebuah alternetif penyaluran aspirasi kepada para para pemimpin. Dengan kata lain, demonstrasi terjadi karena saluran sedang mengalami penyumbatan. Sejauh saluran lancar, demonstrasi tentu tidak akan terjadi.
Orang yang paham tentang proses saluran komunikasi politik tentu akan paham bahwa selama sekian tahun hubungan komunikasi antara elite politik dengan rakyatnya mengalami hambatan sedemikian rupa. Proses RUU KPK dan protes pengesahan RUU Omnibus Law hanya sekian penyebab buntunya saluran komunikasi sehingga harus dilakukan dengan cara demonstrasi.
Maka demonstrasi itu adalah cara dialog yang dilakukan rakyatnya terhadap pemerintahnya. Jika cara dialog yang dialogis tidak mungkin dilakukan maka munculah demonstrasi. Ia hanya salah satu cara rakyat untuk menyapa para pemimpinnya. Tentu saja cara menyapa sangat tergantung apa media yang disediakan oleh para pemimpinnya itu.
ADVERTISEMENT
Sekali lai, jika selama ini ada saluran resmi seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap sudah tidak mampu menjadi lembaga atau media penyambung lidah rakyat, maka rakyat mempunyai caranya sendiri. Jadi, jangan dipahami demonstrasi itu sebuah tindakan yang inkonstiusional. Ia hanya salah satu cara mengajak dialog setelah saluran lain tidak dimungkinkan.
Maka, jika ada orang yang menuduh bahwa demonstrasi itu mengancam demokrasi mungkin orang tersebut berasal dari “planet” lain. Atau hanya menjadikan demokrasi sebagai cara populis untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Secara esensial demonstrasi tidak bertentangan dengan demokrasi.
Jika seseorang memakai kacamata demokrasi dalam arti sebenarnya untuk memahami setiap gejolak masyarakat, demonstrasi tentu tidak akan merisaukan. Namun dalam berkembangannya, demokrasi ini hanya menjadi alat untuk meraih kekuasaan politik para elite politiknya. Jika dengan alasan demokrasi ia telah mendapatkan kekuasaan, demokrasi akan dibunuhnya.
ADVERTISEMENT
Maka jangan heran jika demonstrasi pun hanya akan dianggap sebagai tindakan anarkis dan dituduh secara negatif pula. Fakta-fakta tersebut bisa kita lihat pada orang-orang yang dahulunya berjuang mengatasnamakan atau menjadikan demokrasi sebagai alat lalu berkuasa. Ada perbedaan yang kontras saat sebelum dan sesudah menjabat. Bisa jadi orang-orang ini hanya menjadikan demokrasi sebagai kedok.
Sebuah Pesan
Bagaimana jika demonstrasi itu akhirnya memancing adanya kerusuhan? Sekali lagi tindakan anarkis tidak boleh ditoleransi, namun siapa yang bisa menjamin bahwa kerusuhan tidak akan muncul dari demonstrasi? Dalam hal ini tentu ada sebab-sebab penting. Misalnya, tuli dan butanya para pemimpin atas keluhan rakyatnya. Sekali lagi, demonstrasi RUU KPK dan pengesahan RUU Omnibus Law pun bisa kita tempatkan sebagai contoh kembali.
ADVERTISEMENT
Tindak kekerasan tentu tidak bisa dipahami sepihak dari kacamata kekuasaan. Itu terlalu menyederhanakan masalah dan tidak adil. Kekerasan itu hanya akibat dari sebuah sebab. Kekerasan bisa jadi menjadi sebuah pesan yang layak didengar oleh para pemimpin negeri ini. Kekerasan juga menjadi sebuah pesan politik yang perlu didengar dalam sebuah iklim demokrasi sehat. Tak hanya demonstrasi, kerusuhan pun sebenarnya itu bisa sebuah cara menyapa rakyat pada elite politiknya. Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang UMM). Twitter: @nurudinwriter
(Artikel ini dimuat di Harian Duta, 21 Oktober 2020)