Jangan Paksa Mahasiswa Baca Buku

Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Kolomnis; Penulis puluhan buku; trainer kepenulisan, pembicara. Twitter: IG: nurudinwriter.
Konten dari Pengguna
20 Februari 2020 12:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Membaca itu bisa menekan kerusakan otak di masa tua (Sumber foto: liputan6.com)
Para dosen sebaiknya berhenti memaksa mahasiswa membaca buku. Mungkin bukan sekadar memaksa, tetapi juga tak perlu mengajurkan. Karena itu bisa jadi pekerjaan yang sia-sia. Ya, daripada capek-capek menganjurkan baca buku terus hasilnya sia-sia? Daripada juga nanti sakit hati karena tak diindahkan himbauannya?
ADVERTISEMENT
Mending jadi dosen itu standar-standar saja. Mengajar di kelas. Ceramah. Memberikan tugas ke mahasiswa. Ujian. Lalu selesai. Semester depan begitu lagi. Monoton memang, tetapi kan enak? Tidak usah sok ideal menyarankan mahasiswa membaca buku. Memang dosen itu juga membaca buku kok berani-berani menyarankan? Kalau nanti dibalik pertanyaan seperti itu bagaimana? Mahasiswa sekarang pintar-pintar. Minimal pintar membalik pertanyaan yang menyudutkannya.
Mengapa? Umumnya anjuran untuk membaca akan dicibir. Karena membaca itu dianggap tidak ada faedahnya. Tentu saja dalam hal ini termasuk membaca buku. Coba ada yang menulis status di media sosial (Medsos) tentang membaca. Jawaban umumnya akan ditanggapi “guyon” atau kelakar. Karena mereka bukan termasuk para pembaca buku itu. Kita paham bahwa Medsos itu untuk lucu-lucuan saja. Karena untuk lucu-lucuan, jangan pernah membuat status terlalu serius. Nanti akan ditanggapi “guyon” saja. Karena memang Mesos diciptakan untuk hiburan dan mewadahi mereka-mereka yang membutuhkan hiburan. Jadi, jangan mencari sesuatu yang serius di Medsos. Daripada nanti sakit hati? Sama dengan menasihati mahasiswa membaca buku hasilnya nanti akan menyakitkan.
ADVERTISEMENT
Tak Penting Amat
Mengapa manganjurkan membaca buku tidak penting-penting amat? Masyarakat kita itu bukan masyarakat budaya baca. Lalu apa? Masyarakat kita itu berbudaya tonton dan dengar. Jadi, yang berkaitan dengan tontonan akan dinikmati dengan antusias dan dalam jumlah besar, termasuk mendengar. Coba berapa penonton televisi dan pendengar radio jika dibanding dengan pembaca koran? Jawabannya cukup fantastis bukan? Nyata bahwa pembaca koran jauh lebih rendah daripada penonton televisi dan pendengar radio.
Mengapa itu terjadi? Pertama, membaca koran, termasuk membaca buku itu butuh kecerdasan tertentu. Untuk mencerna tulisan memerlukan keahlian. Bagaimana cara memaknai kata, kalimat, paragraf dan istilah lain. Itu butuh kejelian dan keahlian tertentu, bukan? Sementara itu untuk menonton televisi, misalnya, hanya butuh indera pendengar dan penglihatan yang memadai. Ini sudah cukup. Tak seribet membaca koran tentunya.
ADVERTISEMENT
Menonton televisi juga bisa lebih santai. Sambil makan. Sambil minum. Sambil tiduran. Sambil berbincang. Semua akan mudah dilakukan. Membaca koran pun bisa dengan cara seperti televisi. Tetapi itu tidak lazim dan tak banyak mendapatkan manfaat dari bacaan. Saat menonton acara sinetron misalnya, jika kehilangan sekian adegan masih akan sambung dengan adegan lain. Tak terkecuali dengan radio. Meski kekurangan dari radio dan televisi ia hanya bisa dinikmati sekilas saat itu juga. Sementara koran bisa dibaca berulang-ulang.
Nah bagaimana dengan mambaca buku? Tentu akan lebih rumit dan susah. Koran saja jarang dibaca apalagi membaca buku? Coba tanya mahasiswa yang sedang kos. Apakah mereka langgaran koran? Jawabannya umumnya tidak. Apalagi mempunyai buku? Jadi jelas bukan, budaya baca kita hampir hilang ditelan budaya tonton dan dengar. Kalau mereka ditanya tentu tetap membudayakan membaca. Minimal membaca status atau siaran lain di media sosial.
ADVERTISEMENT
Kedua, membaca buku itu sangat menyita energi. Ia juga butuh kesiapan yang esktra. Harus sehat lahir batin. Punya minat untuk membaca. Memahami bahwa ia membutuhkan informasi yang ada dalam buku tersebut. Banyak buku disusun secara serius. Sehingga menyulitkan pembaca untuk memahaminya. Mungkin juga karena bahasan yang dikupas memang serius. Maka hanya mereka yang berminat dan serius saja mau membaca buku.
Bagaimana dengan buku cerita? Ini juga masalah lain. Tak semua orang suka cerita. Atau tak semua orang suka membaca. Mau disuguhi cerita apa pun karena tak biasa membaca juga akan sia-sia. Sementara itu, membaca buku cerita itu seperti mencari hiburan. Tetapi memang tak semua individu itu mau mencari hiburan dengan membaca.
ADVERTISEMENT
Intinya, membaca itu sulit dan dianggap menyia-nyaiakan waktu saja. Sementara pekerjaan lain masih menunggunya. Hanya mereka yang memang membutuhkan bacaanlah yang mau membaca. Hanya mereka yang tahu manfaat membaca bukulah yang akan “mengunyah” pengetahuan dari buku. Bukankah membaca buku tidak wajib jika tak mendapat informasi darinya?
Ketiga, orang malas membaca buku karena kemanfaatannya tak bisa dinikmati segera. Ini tentu gejala umum. Apalagi untuk memahami sebuah buku membutuhkan waktu yang lama. Saya saja membaca buku Das Kapital karya Karl Marx atau Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme karya Max Weber, juga Muqaddimah karya Ibnu Khaldun membutuhkan waktu sangat lama. Harus dibaca berulang-ulang. Itu saja baru paham sedikit? Semua membutuhkan suasana yang harus fokus membaca buku tersebut. Sangat menyiksa, bukan?
ADVERTISEMENT
Maka tak heran jika ada orang berkomentar untuk apa menghabiskan anergi untuk membaca jika belum tentu paham? Mending menonton konser atau mendengarkan musik. Atau main game online? Ya memang itu semua pilihan.
Maka, akan siasa-sia jika orang menganjurkan untuk membaca buku. Karena kemanfaatannya tidak bisa dinikmati segera. Ia hanya bisa dinikmati dalam jangka tak pendek. Dan hanya orang-orang yang sadar baca serta paham apa itu manfaat membaca. Padahal salah satu kunci untuk memecahkan masalah di sekitar kita itu kuncinya dengan membaca. Hanya umumnya masyarakat tidak menyadarinya.
Kita berada dalam masyarakat berbudaya instan. Inginnya semua bisa didapatkan dengan segera. Mau bukti? Coba lihat bagaimana antri di sebuah loket jika tidak diatur harus berurutan? Kita juga belum terbiasa dengan proses, tetapi hasil. Orang tua bertanya pada anaknya, “Kapan lulus?” atau “Kapan ujian skripsi?” Mengapa tidak bertanya, “Ikut aktif di organisasi apa selama kuliah?” atau “Sudah jadi ketua apa selama kuliah?”Kelompok pertanyaan yang awal mementingkan hasil, sementara kelompok yang selanjutnya mementingkan proses.
ADVERTISEMENT
Apa yang Harus Dilakukan?
Nah, melihat kenyataan di atas akan menjadi sia-sia bukan seandainya kita menasihati kepada mahasiswa atau masyarakat umum membaca buku? Kalau Anda tidak tahan dengan jawaban dan tak siap sakit hati jangan menasihati orang lain membaca buku. Jawabannya tentu tidak mengenakkan.
Memang tidak ada kewajiban membaca buku. Kewajibannya hanya menuntut ilmu. Sementara menuntut ilmu itu bisa didapatkan dari selain membaca buku. Tetapi mendapatkan pengetahuan dari selain buku tentu tidak akan cukup. Apakah mengandalkan guru atau dosen? Berapa jam kita bisa bertemu dengan mereka? Apakah yang disampaikan benar-benar “menyegarkan” dan ada informasi baru? Jika dosen dan guru itu tak punya budaya baca tinggi jangan harap mendapatkan informasi yang berbobot dan aktual.
ADVERTISEMENT
Membaca itu proses. Kemanfaatannya akan dipetik dalam jangka tak pendek. Membiasakan membaca juga menyadarkan masyarakat bahwa untuk mencapai tujuan membutuhkan proses dan usaha yang ulet. Membaca tak hanya bermanfaat menambah pengetahuan, tetapi sadar bahwa hidup ini perlu ulet. Segala keputusan penting di masa datang juga dipengaruhi oleh bacaan.
Mengapa Indonesia ini tidak maju-maju? Jangan-jangan minat bacanya terlalu rendah. Jika demikian siapa yang harus bertanggung jawab? Pemerintah tentu punya kewajiban untuk itu. Pemerintah harus menyediakan fasilitas dan atmosfir untuk peningkatan budaya baca masyarakat. meskipun tanggung jawab peningkatan budaya membaca tak hanya tugas pemerintah semata.
Mengapa peran pemerintah penting? Karena membaca itu pondasi kuat bangsa di masa datang. Dalam hal ini kita bisa mengaca pada sejarah perkembangan bangsa-bangsa di dunia. Salah satu perkembangan pesat peradabannya dengan membiasakan dan menyuburkan minat baca, termasuk membaca buku tentunya.
dok. pribadi penulis
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); kolomnis dan sudah penulis 20 judul buku. Penulis bisa dihubungi di Twitter: @nurudinwriter; IG: nurudinwriter; Facebook: Nurudin AB
ADVERTISEMENT