Konten dari Pengguna

Orang Tua itu Guru, Jangan Gampang Membela Anak Berlebihan

Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Kolomnis; Penulis puluhan buku; trainer kepenulisan, pembicara. Twitter: IG: nurudinwriter.
24 November 2019 19:43 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Orang tua itu juga guru penggerak menuju Indonesia maju. Foto: mosche.id
zoom-in-whitePerbesar
Orang tua itu juga guru penggerak menuju Indonesia maju. Foto: mosche.id
ADVERTISEMENT
Seperti biasanya, sehabis pelajaran sekolah, anak-anak diberikan istirahat sebentar sebelum memasuki pelajaran selanjutnya. Saat itu, tepatnya tahun 1978, anak-anak sekolah SDN Bakulan 1, Jetis, Bantul, Yogyakarta biasa bermain. Pokoknya mereka bermain gembira diluar kelas.
ADVERTISEMENT
Nah, waktu itu saya bermain pesawat terbang yang terbuat dari kertas. Jadi kertas itu kita sobek dari buku tulis yang biasa dipakai menulis pelajaran sekolah. Itulah kenapa buku-buku terbitan Gunung Kelud tipis karena disobek. Kadang dipakai membuat pesawat terbang, kadang dibuat kapal-kapalan atau kamera-kameraan. Dengan cara itulah kami bermain dan menikmati jam istirahat sekolah.
Waktu itu saya bermain kapal terbang yang terbuat dari kertas. Biasa, kami berlomba lama-lamaan menerbangkan pesawat kertas tersebut. Tidak ada hadiah yang diperebutkan. Pokoknya senang saja bermain.
Tiba-tiba pesawat kertas yang saya terbangkan menyangkut di pohon. Tentu saya sedih. Saat itu pesawat saya termasuk yang bisa terbang dengan baik. Maka saya berusaha bagaimana caranya agar pesawat kertas itu bisa didapatkan kembali. Dengan bantuan kayu, tidak ada. Mau naik ke pohon, tidak berani. Akhirnya di samping saya ada pecahan batu bata. Lalu batu bata itu saya lempar ke pesawat kertas yang tersangkut di ranting pohon. Beberapa kali saya lempar.
ADVERTISEMENT
Malang tak dapat dihindari. Lemparan batu saya, mengenai kepala teman. Namanya Kiswoyo biasa dipanggil Pekis. Pekis termasuk anak yang berani, sedikit bandel. Tempat tinggal dia dekat sekolahan. Maklum waktu itu sekolah kami ada di Bakulan Utara. Ini khusus sekolah untuk anak kelas 2 SD.
Tentu, lemparan batu saya itu membuat Pekis kesakitan. Saya juga deg-degan. Jangan-jangan dia marah. Benar saja. Dia marah. Lalu mengepalkan tangan seolah mau memukul saya dengan kepalan tangannya. Saya mundur menempel tembok sekolahan. Tentu saya tidak berani. Saya juga tidak terbiasa berkelahi. Kalaupun terpaksa berkelahi saya tentu akan kalah.
Saya mundur dengan teratur. Sementara Pekis terus mengejar saya. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri, saya menangis. Siapa tahu dengan menangis itu membuat dia jadi iba. Benar saja, dia lalu iba. Dia tidak jadi memukul saya. Lalu saya masuk ke kelas. Duduk dengan tenang walaupun masih jam istirahat dan dengan mata sembab.
ADVERTISEMENT
Sempat juga kakaknya Pekis datang ke kelas. Menanyakan ini dan itu. Memarahi saya ini dan itu. Mungkin Pekis lapor ke kakaknya. Kakaknya ngomel-ngomel. Untung dia tidak menjatuhkan tangannya ke badan saya. Dia hanya memarahi saja. Guru kelas saya saat itu sudah masuk juga menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Saya tidak menjawab. Teman-teman sayalah yang kemudian memberikan penjelasan.
Pelajaran Dari Bapak
Ilustrasi anak dan orang tua. Foto: Thinkstock
Waktu sampai di rumah, tentu saja saya menceritakan kejadian di sekolah pada bapak saya. Tentu saya membela diri. Bahwa saya tidak bersalah atas perbuatan yang saya lakukan. Karena itu kejadian yang tidak disengaja. Itu kejadian alamiah yang bisa dialami banyak orang.
Bapak saya yang waktu itu masih menjadi Guru Agama Islam di SDN Barongan II tidak lantas membela saya. Dia malah memarahi saya.
ADVERTISEMENT
"Kamu tidak hati-hati," katanya waktu itu.
"Saya tidak salah pak. Itu kejadian spontan," jawab saya membela diri.
"Iya. Tapi kamu tetap salah. Salahmu kenapa pakai batu untuk mendapatkan kembali pesawat terbang kertas? Kenapa tidak pinjam kayu, tongkat atau apa ke tetangga sekolah? Sehingga tidak mengancam keselamatan temanmu?"
"Ya pak."
Saya hanya diam atas tanggapan bapak saya itu. Saya juga tidak perlu membantah lebih lanjut. Itu sudah perkataan orang tua. Saya tidak tahu apa maksud bapak menyalahkan saya padahal jelas-jelas saya tidak bersalah. Daripada saya membantah nanti jawaban bapak malah lebih panjang. Lalu saya pun pergi dari hadapan bapak.
Esok paginya saya diantar pakai "sepeda angin" ke sekolah. Padahal biasanya saya hanya jalan kaki bersama teman-teman sejauh 4 kilometer. Seolah bapak saya itu hanya memastikan bahwa meskipun bapak marah, dia tetap melindungi. Buktinya, dia antar saya sekolah sebelum pergi mengajar.
ADVERTISEMENT
Itu kejadian yang sudah berpuluh tahun lalu. Bapak saya juga sudah meninggal. Lalu saya jadi ingat banyak kejadian saat sekolah. Saat saya berselisih paham dengan teman saya biasanya disalahkan. Padahal saya jelas tidak bersalah. Saat saya terlibat perkelahian dengan teman sebaya, bapak cenderung menyalahkan saya sambil mengatakan harus hati-hati.
Pelajaran Hari Ini
Puluhan tahun kemudian saya mendengar beberapa berita. Tepatnya akhir-akhir ini. Banyak anak-anak yang berselisih paham dengan temannya, orang tua ikut turun tangan. Ada orang tua yang membela anaknya dengan membabi buta. Pokoknya anaknya tidak bersalah. Hanya berdasar laporan dari anaknya saja. Ada juga yang melaporkan ke pihak terkait. Entah kepala sekolah, guru atau kepolisian. Seolah anaknya harus dibela mati-matian. Padahal jangan-jangan anaknya sendiri yang salah. Ini fenomena beberapa orang tua zaman sekarang. Atau kesalahanpada anak itu berkaitan dengan "kenakalan" orang tuanya dahulu? Mungkin orang tua banyak yang tak menyadari hal itu.
ADVERTISEMENT
Bahkan ada orang tua yang melaporkan seorang guru, saat gurunya memarahi muridnya. Bisa jadi ada beberapa guru kelewat batas dalam memarahi murid. Sangat mungkin. Tetapi saat orang tua tiba-tiba ikut campur dalam urusan penanganan proses belajar mengajar ini menjadi hal yang aneh. Bahkan ada guru yang sempat berurusan dengan aparat dan terkena sanksi.
Ini bukan berarti bahwa guru itu tak bisa salah. Bukan itu. Tetapi, kenapa semua persoalan harus dilaporkan ke aparat? Benar bahwa semua persoalan diselesaikan dengan hukum. Memang bahwa negara ini negara hukum. Namun, setiap ada laporan orang tua atas guru pada aparat saya menjadi miris dan sedih. Entahlah. Mungkin saya punya hati yang lemah. Mungkin saja.
ADVERTISEMENT
Jika setiap anak yang berselisih dengan teman atau dengan gurunya orang tua ikut campur tangan bagaimana dengan pendidikan anaknya di masa datang? Maksudnya begini, jika orang tua selalu membela anaknya bagaimana anak itu akan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan siap menyelesaikan persoalannya dengan berani dan otonom?
Apakah semua anak-anak akan selaku menggantungkan persoalannya pada orang tuanya? Pada orang-orang di sekitarnya? Pada aparat yang bisa membantunya? Apakah orang tua juga sedemikian gampangnya menolong anaknya tanpa tahu bahwa itu tidak membuat anak mandiri dalam memutuskan persoalan? Apa yang bisa diharapkan pada generasi mendatang jika anak tidak dilatih mandiri? Tentu ini bukan satu-satunya cara membuat anak mandiri. Tetapi ini salah satu pelajaran penting bagi kemandirian anak di masa datang.
ADVERTISEMENT
Inilah problem proses belajar mengajar saat ini. Ini tidak bermaksud menyalahkan proses pendidikan saat ini. Juga bukan menonjolkan proses belajar mengajar zaman dahulu. Tentu bukan itu maksudnya. Mungkin saja pendidikan saat itu dialami oleh mereka yang termasuk keluarga berada. Mereka bisa berbuat apa saja untuk kepentingan anaknya.
Saya jadi ingat bapak saya. Untung saya dibesarkan dalam keluarga pas-pasan. Bapak saya waktu itu cuma guru SD dengan pangkat golongan I. Ibu saya hanya menjadi ibu rumah tangga. Mungkin terbiasa dengan narimo ing pandum (menerima apa yang sudah semestinya).
Yang ingin saya tekankan bukan persoalan bapak saya itu. Penting kiranya orang tua memilih dan memilah dengan bijak kaitannya dengan persoalan anak. Anak yang berselisih paham dengan temannya bisa jadi hanya masalah kecil. Jika salah penanganan orang tua itu semua akan menjadi pembelajaran dan bekal anak di masa datang.
ADVERTISEMENT
Ada kalanya untuk memberikan pelajaran pada anak, orang tua menyalahkan anaknya. Bukan melatih anak tidak menghargai kebenaran. Bukan itu. Orang tua melatih anak agar melihat dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum menjatuhkan vonis ke orang lain. Orang tua juga sedang menanamkan pendidikan budi pekerti bahwa berusaha mengalah itu sikap yang luhur. Inilah pelajaran luhur yang banyak dilupakan orang tua.
Saya jadi ingat kenyataan kejadian di sekitar kita. Betapa banyak orang-orang tumbuh menjadi pribadi yang mudah menyalahkan orang lain. Mereka cenderung tidak melihat kesalahan diri. Mereka sangat vokal jika sudah menuduh orang lain.
Tidak percaya? Coba amati hiruk pikuk kejadian yang diberitakan di media massa. Betapa kita miris untuk itu. Dalam jangka dekat pun tentu belum ditemukan formula khusus untuk mengatasi manusia-manusia yang merasa benar sendiri tersebut. Jangan-jangan itu semua ditanamkan oleh orang tua kita? Atau jangan-jangan kita sendiri sudah menanamkan pendidikan ke anak-anak kita untuk menjadi orang yang mau benar sendiri, tak mengakui kesalahan dan gampang menuduh orang lain? Semoga tidak.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Guru Nasional. Guru adalah penggerak Indonesia maju.
---------------------------------
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); penulis 19 judul buku; penulis bisa dihubungi di Twitter: @nurudinwriter; IG: nurudinwriter; Facebook: Nurudin AB