Konten dari Pengguna

Pak, Buku Gratis untuk Saya Mana?

Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Kolomnis; Penulis puluhan buku; trainer kepenulisan, pembicara. Twitter: IG: nurudinwriter.
6 Februari 2020 16:48 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: academiaindonesia.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: academiaindonesia.com
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pernyataan-pernyataan di atas beberapa contoh tanggapan dan respons teman, saat buku saya baru terbit. Ada yang berkomentar melalui media sosial karena saya umumkan buku di sana. Ada yang mengetahui saat bertemu dan mengucapkan selamat. Itu hanya beberapa contoh. Tentu saja ada yang sekadar mengucapkan selamat tanpa diembel-embeli minta gratis.
Pengalaman itu biasanya dialami oleh penulis buku yang bukunya baru saja terbit. Intinya, ada yang meminta gratis bukunya. Entah memang serius atau sekadar berkelakar. Candaan atau serius itu tentu membuat sedih penulis buku.
Tentu penulis buku umumnya, bukan penulis buku yang dipakai untuk pencitraan atau pengakuan. Kalau model penulis seperti ini, buku itu akan dibagikan gratis. Belum tentu juga dia menulis sendiri. Ada tim yang menuliskannya. Penulis itu tinggal membayar.
ADVERTISEMENT
Saya tentu tidak menyalahkan mereka. Termasuk mereka yang meminta buku gratis saat penulis menerbitkan buku barunya. Saya hanya iba. Kenapa? Kok tega-teganya meminta buku gratis ya? Apa mereka tidak sadar bahwa menulis buku itu mudah dan tak melalui jalan berliku-liku? Oh iya lupa saja. Biasanya mereka yang biasa meminta gratis itu tidak pernah merasakan susahnya menulis buku.
Tentu ada yang protes. Kenapa tidak mau memberikan buku gratis? Kan menulis buku itu untuk amal jariyah? Bukunya nanti akan dibaca dan ilmunya akan bermanfaat. Jadi kan penulisnya mendapat pahala? Ini pernyataan orang yang tentu sok agamis. Intinya kadang satu, dia tetap minta gratis buku. Sudah tahu maksudnya, kan?
Bukan berarti penulis buku itu tidak mau membagikan gratis bukunya. Bukan itu. Juga bukan tidak mau menerima amal jariyah dari buku yang ditulis. Sekali lagi bukan itu. Juga bukan sok materialistis.
ADVERTISEMENT
Kalau materialistis tentu saya memaksakan mahasiswa membeli buku saya. Saya selama ini tidak pernah memaksa atau mewajibkan buku-buku saya dipakai dalam proses kuliah. Meskipun jika saya memaksa bisa saja. Mahasiswa tentu akan takut tidak membeli buku saya jika sudah saya wajibkan. Tetapi saya tidak bisa melakukannya.
Buku saya tidak dibajak mereka (atau mereka tidak membeli buku bajakan) saja saya sudah senang. Meskipun ada juga dosen-dosen yang “memaksakan” bukunya dibeli mahasiswanya. Bahkan dengan “iming-iming” nilai. Saya bukan termasuk dosen seperti itu. Saya percaya diri saja. Jika buku saya berbobot, pasar pembaca akan tetap ada, tanpa harus dipaksa beli.
Rupa-Rupa Penerbit
Ilustrasi penulis Foto: Pixabay
Kembali ke soal buku gratis. Apakah yang meminta buku gratis itu paham atau pura-pura tidak paham susahnya menulis buku? Penulis buku itu harus membaca banyak. Tak ada kunci menulis buku sukses, kecuali membaca buku. Bukankah membaca juga membutuhkan energi tinggi dan keseriusan? Belum lagi dia harus riset sana sini. Melakukan observasi sana sini. Mungkin juga wawancara ke narasumber yang terkait dengan tema bukunya. Belum harus meluangkan waktu menulis yang tak bisa datang setiap waktu.
ADVERTISEMENT
Lalu setelah draft buku jadi, dia mengirimkan ke penerbit. Ada penerbit yang memberikan respons cepat bisa tidaknya diterbitkan. Ada penerbit yang “menggantung”. Artinya, kalau tidak ditanya tidak akan menjawab kepastian terbitnya.
Lalu jika ada jawaban akan diterbitkan harus antri sekian bulan. Bahkan membutuhkan waktu tahunan. Saya pernah antri buku saya dijanjikan terbit di Yogyakarta. Sudah setahun lebih, ternyata tidak jadi terbit. Bedebah (umpat saya waktu itu).
Pengalaman lain. Belum lagi nanti dibohongi penerbit. Bukan bohong seluruhnya sih. Maksudnya, penerbit itu “jahil”. Saya pernah mengirim naskah ke sebuah penerbit di Bandung. Tiba-tiba saya dapat balasan cepat melalui email bahwa buku mau diterbitkan. Tentu saya senang, bukan? Lalu saya dikirim file naskah bukunya. Saya juga bertanya dulu, apakah ada surat perjanjian penerbitan? Penerbit menjawab bahwa soal surat perjanjian penerbitan itu mudah. Yang penting terbit dulu.
ADVERTISEMENT
Lalu saya tanya ke seorang kolega dosen di Yogyakarta yang pernah menerbitkan buku di penerbit Bandung itu. Saya diwanti-wanti tidak usah menerbitkan buku di sana. Kenapa? Karena penerbit akan “memaksa” penulis untuk menjual buku-buku mereka. Tentu besarnya jumlah buku yang harus dijual penulis terserah penerbit karena surat perjanjian penerbitan belum ditandatangani. Penerbit maunya buku dicetak dulu. Hebat bukan penerbit, itu?
Mengapa saya harus hati-hati? Saya pernah punya pengalaman sebuah penerbit di Yogyakarta (Bigraf Publishing). Buku kedua saya mau terbit di sana. Tentu saya senang. Sampai saya harus datang sendiri ke daerah Karangkajen itu. mungkin saya kurang hati-hati dengan penerbit. Kadung senang.
Tiba-tiba saja buku terbit dan saya dikirim 200 eksemplar bukunya. Saya kaget, untuk apa buku ini? Ternyata itu “upah” penulis. Hebat bukan? Sudah menulis itu susah disuruh menjual sendiri bukunya sejumlah 200 eksemplar sebagai tanda upah penulisnya. Anehnya, tanpa ada tambahan honorarium. Ya honornya menjual 200 eksemplar buku itu. Yang lain? Entahlah. Saya sampai saat ini tak pernah mendapatkan laporan. Tahu-tahu saat saya lewat di jalan Sisingamangaraja Yogyakarta itu, penerbitnya sudah mati.
ADVERTISEMENT
Ada lagi, sebuah penerbit di Semarang. Saya harus datang naik bis dari Malang-Semarang untuk tandatangan kontrak penerbitan. Sekitar tahun 2001. Mungkin saya kurang membaca detail surat perjanjian. Lalu saya tandatangani saja. Suatu saat buku saya itu cetak ulang. Kok tidak pernah memberitahukan ke saya jika mau cetak ulang?
Saya surati penerbit tidak dibalas. Sampai cetakan ke-5. Saya baru sadar bahwa dalam surat perjanjian tidak ada klausul yang mengatakan bahwa jika cetak ulang harus izin penulisnya. Dueeeer. Bagai disambar petir di siang hari. Ini tipe penerbit yang mau untung dan menang sendiri. Tentu saya kapok. Jadi, para penulis buku tentu harus hati-hati soal ini, ya?
Bantu Promosi Dong
Katakanlah buku sudah terbit. Biasanya penulis akan diberikan 5-10 buku gratis dari penerbit sebagai tanda bukti. Terus misalnya jika ada teman yang minta gratis lebih dari 10 orang apa yang mau diberikan? Penulis itu tentu akan menyimpan buku karyanya itu sebagai kenang-kenangan. Mungkin juga diberikan ke orang-orang yang dicintainya atau yang paling berjasa salam proses penulisan buku. Lha kalau diminta gratis terus arsip penulis bagaimana?
ADVERTISEMENT
Lalu misalnya, setelah sekian bulan penulis mendapatkan royalti. Kebanyakan teman-teman kita juga minta traktir makan. Kebanyakan minta ini. Tidak masalah sih. Saya hanya menunjukkan respons mereka saja. Dikira juga royalti penulis itu banyak? Tentu lebih banyak penghasilan dari pembajakan buku, bukan?
Begini. Penulis itu biasanya mendapatkan royalti antara 10-15 persen. Katakanlah harga buku bruto itu Rp 50 ribu. Dicetak 1.000 eksemplar. Misal, penulis diberikan royalti 10 persen. Coba berapa pendapatan penulis? Per bukunya ia mendapatkan Rp 5 ribu. Jika cetak 1.000 maka ia akan mendapatkan Rp 5 juta kan? Ini jika semua buku habis, lho. Kecil bukan dengan jerih payahnya yang selama ini dilakukan? Ada lho penerbit yang hanya memberikan royalti 7 persen? Ada juga lho penerbit yang hanya mau membayar royalti jika royalty terkumpul maksimal Rp 1 juta. Ada juga yang tidak pernah menghubungi penulis sekalipun.
ADVERTISEMENT
Itu soal suka duka penulis saja. Boleh dianggap curhat. Boleh. Tidak salah. Tapi cerita ini akan menjadi pelajaran para penulis buku. Ini tantangan. Anda tahan banting tidak? Kalau tidak, mending tidak usah menjadi penulis. Kenapa? Daripada sakit hati.
Nah, ada gambaran kan susahnya menulis buku? Masih kah mau meminta buku gratis ke penulis yang buku barunya terbit? Saya tidak melarang. Sebagai bentuk apresiasi, saya biasanya membeli bukunya. Meskipun kadang saya tidak membutuhkan buku tersebut. Atau minimal saya tidak meminta bukunya gratis. Bahkan jika perlu saya ikut mempromosikan buku teman saya itu kepada teman yang lain dan media sosial saya.
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); kolomnis dan sudah penulis 19 judul buku. Penulis bisa dihubungi di Twitter: @nurudinwriter; IG: nurudinwriter; Facebook: Nurudin AB
ADVERTISEMENT