news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pak, Saya Hanya Mau Lulus. Tolonglah Pak

Nurudin
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); Kolomnis; Penulis puluhan buku; trainer kepenulisan, pembicara. Twitter: IG: nurudinwriter.
Konten dari Pengguna
27 Februari 2020 21:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gagal ujian bukan kiamat. sumber foto: kurio.id
zoom-in-whitePerbesar
Gagal ujian bukan kiamat. sumber foto: kurio.id
ADVERTISEMENT
Katakanlah Anda sudah siap untuk ujian skripsi. Jadwal sudah dikeluarkan oleh jurusan atau fakultas. Naskah dan persiapan lain pun juga sudah ada. Restu orang tua juga sudah diminta. Bahkan pacar pun juga sudah siap datang menjadi “penggembira”. Teman-teman Anda juga sudah membawa karangan bunga. Untuk apa? Biasanya habis ujian ada sesi foto-foto.
ADVERTISEMENT
Anda pada jadwal ujian yang sudah diberikan berpakaian necis. Ada yang memakai jas almamater. Ada yang memakai jas resmi. Tentu agar semua bisa PD. Naskah sudah dipelajari bolak-balik sampai kertasnya tidak rapi. Atau bahkan ada yang sobek. Penuh coretan sana sini. Pokoknya Anda siap ujian lahir batin.
Tapi bagaimana seandainya mendadak Anda tidak jadi ujian skripsi? Misalnya dosen tidak datang. Atau sebab lain, misalnya acara mendadak di kampus. Serta sebab lain di luar kemampuan manusia. Tentu itu bukan kesalahan semata-mata mahasiswa. Mahasiswanya sih tetap siap ujian. Wong sudah daftar ujian kok mendadak mahasiswanya menggagalkan diri. Gak mungkin, kan?
Jika gagal. Ini misalnya. Lalu apa yang Anda rasakan? Apa ada yang pernah merasakan seperti begitu? Ada sebagian tentu pernah. Bahkan ada yang sudah membawakan teman-temannya jajan dan makanan ala kadarnya. Karangan bunga untuk foto pun sudah disiapkan. Anda susah berdandan rapi. Tapi gagal?
ADVERTISEMENT
Jengkel itu pasti. Marah itu tentu mungkin. Misuh bisa jadi. Pokoknya tidak terima dengan keadaan. Bagaimana tidak? Beli jajan juga tidak sedikit biayanya. Bahkan ada juga jajan penguji yang menyiapkan mahasiswanya lho. Enak juga ya dosen-dosen pengujinya itu? Mahasiswa yang pusing tentunya. Sudah ujian saja bersyukur. Ia juga harus pula menyiapkan jajan pengujinya? Boros apa kampusnya tidak menyediakan makanan sendiri bagi dosen-dosennya? Atau memberikan dana untuk dipakai konsumsi dosen penguji? Entahlah.
Yang jelas mahasiswa tidak bisa mengelak. Katanya sudah tradisi. Bahwa mahasiswa “wajib” membelikan makanan para penguji. Mahasiswa mungkin takut juga jika “melawan adat”. Misalnya jadi tidak lulus. Tentu ini ketakutan mahasiswa. Dan ketakutan itu wajar, bukan?
Seringkali ujian skripsi itu membuat stress, tapi iu tahapan yang harus dilalui. sumber: moving-forw4rd.blogspot.com
Uji Mental
ADVERTISEMENT
Yang tak kalah ruwetnya soal mental mau ujian. Tidak mudah lho menyiapkan mental menjelang ujian skripsi itu. Deg-degan, cemas, khawatir, takut tidak lulus dan sebagainya. Kadang naskah sudah dipelajari semuanya dan sudah hafal di luar kepala saja, saat ujian semua menjadi kosong. Blank. Terus Anda bingung dan jengkel dengan sendiri.
Bagaimana mungkin yang sudah dipelajari itu jadi hilang? Ya mungkin saja. Itu karena kecemasan yang menghantuinya. Mental sudah disiapkan tiba-tiba dalam ujian hafalan hilang semuanya. Apalagi jika mau ujian tiba-tiba tidak jadi. “Shock” tentunya.
Tidak mudah memulihkan lagi mental yang sudah jatuh untuk ujian lagi. Dijadwal lagi. Stress lagi. Eh ada yang harus beli jajan lagi. Duit lagi. Tapi ya semua tentu harus dilalui. Masak hanya gara-gara tidak mau ujian dengan jadwal baru Anda harus gagal ujian skripsi?
ADVERTISEMENT
Nah, ini belum yang termasuk ujian ulang. Stress bertingkat-tingkat. Ada banyak sebab. Bisa mahasiswa tidak siap ujian. Plagiat yang kemudian ketahuan. Atau tidak pernah bimbingan skripsi. Misalnya, tiba-tiba “memaksa” pembimbing tandatangan karena batas waktu pendaftaran mepet. Ini terbuka lebar tidak lulus. Jadi jangan dibiasakan, ya? Bisa juga faktor dosennya yang “baper”. Memang ada? Ya ada dong. Dosen model begini biasanya “angkuh”, “sok” atau merasa hebat.
Memang apa sih hebatnya dosen itu? Mungkin hanya dia merasa menjadi dosen sementara yang dihadapi mahasiswa. Hanya ini yang membuat dosen biasanya menang di hadapan mahasiswa. Rasa takut. Takut tidak dapat nilai. Takut tidak lulus dan semacamnya.
Kalau saya bimbingan skripsi harus membawa buku. Untuk apa? Biar jika terjadi perdebatan punya rujukan pasti dan sama. Jika ada debat dosen-mahasiswa biasanya mahasiswa akan kalah atau harus mengalah. Takut tidak dibimbing. Mungkin.
ADVERTISEMENT
Tapi memang tak semua dosen mau disodori atau diberikan buku untuk rujukan. Mungkin dosen akan tersinggung. Seolah mahasiswa menggurui. Lha soal ilmu pengetahuan kan berguru bisa pada siapa pun? Termasuk ke mahasiswa, bukan?
Salahnya Kenapa Ikut Ujian?
Kembali ke soal tidak jadi ujian skripsi? Apa yang Anda rasakan? Saya berharap Anda tidak merasakan. Artinya saya berharap Anda tidak ada jadwal sepihak yang membuat ujian skripsi gagal. Tapi jangan-jangan ujian gagal itu juga punya hikmah. Hikmah bahwa Anda perlu menyiapkan mental lebih baik. Belajar lebih giat. Tapi ini tidak banyak yang menyadarinya.
Gagal ujian maunya hanya mengumpat. Tapi memang gagal itu tidak menyenangkan. Tapi ujian skripsi itu hanya punya dua akibat; lulus dan gagal. Termasuk tidak jadi ujian. Salah tak selamanya ada pada diri mahasiswa atau juga semata-mata dosen. Mungkin salah kenapa Anda harus ujian hari itu, ya?. Tabik.
ADVERTISEMENT
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); penulis buku Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer (2016); penulis bisa dihubungi di Twitter: @nurudinwriter; IG: nurudinwriter; Facebook: Nurudin AB