Konten dari Pengguna

Cermin Retak: Media Massa, Konsumerisme, dan Bayang-Bayang Postmodernisme

Nurul Annisa Yumna
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas
16 Oktober 2024 21:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Annisa Yumna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber foto dari freepik
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto dari freepik
ADVERTISEMENT
Media massa ibarat cermin yang memperlihatkan realitas, perannya sangat penting dalam membentuk persepsi publik. Layaknya oksigen, kebutuhan informasi sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan kita. Dari berita terkini hingga hiburan, media massa ada di mana-mana, membentuk opini, memengaruhi perilaku, dan bahkan mengendalikan arus informasi. Namun sayangnya gambaran umum ini tidak selalu menunjukkan gambaran yang utuh dan obyektif.
ADVERTISEMENT
Dari kemunculan media tertulis pertama hingga era digital yang kita jalani saat ini, media massa telah mengalami transformasi yang luar biasa. Kemajuan teknologi memungkinkan informasi menyebar dengan cepat dan luas hingga menjangkau seluruh penjuru dunia. Namun, setelah kemajuan ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah media benar-benar menampilkan informasi yang obyektif, atau justru menjadi tahap konsumsi yang dikendalikan oleh kepentingan pribadi?
Dalam perkembangannya, kritik terhadap media massa pun bermunculan. Para pemikir kritis memandang media sebagai alat bagi kelompok berkuasa, terutama kaum borjuis, untuk mengontrol narasi dan mendorong masyarakat menuju konsumerisme. Teori kritis seperti teori Marxisme dan Mazhab Frankfurt menuding media sebagai alat yang digunakan untuk mempromosikan ideologi kapitalis, mengaburkan realitas dan menciptakan kebutuhan palsu.
ADVERTISEMENT
Salah satu kritik yang kerap dilontarkan adalah media telah menjadi alat kaum borjuis yang menyeret masyarakat ke dalam suasana pemikiran kapitalis. Media yang fokus pada keuntungan dan keuntungan cenderung mengedepankan nilai-nilai individualisme, materialisme, dan konsumsi berlebihan. Masyarakat dalam konteks ini diposisikan sebagai “masyarakat massa” – kumpulan individu-individu yang pasif, mudah dipengaruhi dan digiring menjadi konsumen.
Definisi media massa yang dikemukakan oleh John R. Bittner (1980, as cited in Jalaluddin Rakhmat, 2019, p. 235) menjadi semakin relevan dalam konteks ini: "Mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people" (Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang). Definisi ini menyoroti bagaimana media massa, dengan sifatnya yang massal, memiliki potensi untuk memengaruhi pemikiran dan perilaku sejumlah besar orang.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menjadi semakin kompleks dengan munculnya new media yang memperlihatkan kekuatan dalam suatu media. Platform digital yang menyediakan akses informasi secara cepat dan mudah ini juga rentan terhadap manipulasi. Algoritma yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna dan menghasilkan keuntungan cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi dan bias pengguna, sehingga menciptakan "gelembung filter" yang memperkuat pandangan dan keyakinan yang ada. Penyebaran berita palsu (hoax), polarisasi opini, dan manipulasi informasi menjadi tantangan serius di era media sosial. Platform digital yang seharusnya menjadi ruang publik untuk berdiskusi dan bertukar informasi, terkadang menjadi medan perang ideologi dan propaganda, sehingga mengancam kebebasan berpikir dan dialog yang sehat.
Gerakan postmodernisme yang lahir sebagai reaksi terhadap pemikiran modern menawarkan perspektif baru mengenai peran media massa. Postmodernisme, dalam bahasa sederhana, adalah sebuah cara pandang yang menolak kebenaran tunggal dan menekankan bahwa realitas itu relatif dan dibentuk oleh berbagai faktor, termasuk media. Di era postmodernisme, di mana kebenaran dan narasi menjadi relatif, media massa berperan sebagai “penyelenggara realitas” yang membentuk persepsi dan perilaku kita. Jejaring sosial, dengan algoritme dan gelembung filternya, semakin memperkuat fenomena ini. Kita terjebak dalam gelembung informasi yang memperkuat bias dan perspektif kita, sehingga mengurangi peluang untuk berinteraksi dengan perspektif berbeda.
ADVERTISEMENT
Postmodernisme juga mempertanyakan otoritas narasi besar dan menekankan fragmentasi, pluralitas, dan dekonstruksi. Dalam konteks ini, media massa dianggap sebagai salah satu agen yang menciptakan fragmentasi dan pluralitas narasi, mengaburkan batas antara realitas dan fiksi, serta menantang otoritas tradisional. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana menggunakan media secara bijak. Kita harus kritis terhadap informasi yang kita konsumsi, menyaring konten kontroversial dan tidak mengikuti arus konsumsi media.
Namun, di tengah kompleksitas ini, media massa juga memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan positif. Media dapat menjadi alat untuk menyebarkan informasi yang akurat dan membangun dialog yang sehat. Media dapat menjadi platform untuk mengekspresikan pendapat, menentang ketidakadilan dan mendorong perubahan sosial. Media dapat menjadi jembatan untuk menghubungkan orang-orang dari berbagai latar belakang dan budaya.
ADVERTISEMENT
Media massa juga dapat menjadi wadah untuk mengeksplorasi ide-ide kreatif dan inovatif. Melalui berbagai platform, media dapat mendorong munculnya karya seni, musik, sastra, dan film yang memperkaya khazanah budaya dan pemikiran manusia. Media dapat menjadi ruang bagi para seniman dan pemikir untuk berbagi ide, menginspirasi, dan menantang norma-norma yang ada.
Penggunaan media secara bijak tidak hanya melibatkan kemampuan menyaring informasi, tetapi juga membuka pikiran terhadap beragam perspektif dan ekspresi kreatif yang ditawarkan. Dengan memahami konteks dan latar belakang karya seni, musik, sastra, dan film yang disajikan melalui media massa, kita dapat lebih menghargai keindahan dan kompleksitas karya tersebut. Kemampuan untuk melihat melampaui permukaan informasi yang disajikan oleh media membuka peluang untuk belajar, tumbuh, dan terinspirasi oleh berbagai ekspresi manusia. Dengan demikian, kritis dan bijaksana dalam mengonsumsi media tidak hanya melindungi diri dari manipulasi informasi, tetapi juga membuka pintu bagi pemahaman yang lebih dalam dan pengalaman yang lebih berharga dalam menghargai karya-karya kreatif yang ditampilkan oleh media.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kita harus selalu berhati-hati dan kritis dalam mengonsumsi informasi. Kita harus mengembangkan kemampuan menyaring informasi, menemukan sumber terpercaya, dan menyesuaikan informasi dengan konteks. Kita juga harus mendorong pengembangan media yang bertanggung jawab dan berorientasi pada kebaikan bersama. Media massa ibarat cermin pecah yang menyajikan gambaran yang tidak lengkap dan menyimpang. Namun, secara kritis dan bijaksana, kita dapat menggunakan media untuk membangun masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan terbuka.