Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Blokir, Bohong, dan Selingkuh: Terima Kasih Sudah Mengajarkan Aku Mencintai Diri
24 April 2025 15:11 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nurul Ara'af tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kenalkan, aku—pejuang cinta yang lelah menghadapi konsep cinta yang lebih sering bikin frustrasi ketimbang bahagia. Bayangkan, sudah berapa kali aku mendekat dan didekati, berharap akhirnya menemukan pasangan ideal. Lalu hasilnya? Zonk, lagi dan lagi. Seperti menonton film yang terus-menerus diputar ulang, tetapi plot twist-nya bikin kepala pusing, bukan bikin terhibur. Sampai kapan begini terus? Apakah cinta sejati itu nyata atau cuma ilusi manis yang dijual murah di sinetron?
ADVERTISEMENT
Awalnya, aku sempat mati rasa. Seperti zombi yang berkelana di dunia cinta, tidak tahu harus kemana dan dengan siapa. Tiga minggu lalu, pasangan terakhirku tiba-tiba memblokirku. Tanpa basa-basi, seperti pengacara yang memutuskan untuk tidak membela kliennya lagi. Alasannya? Aku minta dia memperjelas hubungan dengan mantannya yang tiba-tiba muncul lagi seperti hantu di film horor. Ironisnya, dia sendiri yang pernah berbohong tentang statusku, bahkan berselingkuh di belakangku. Cinta memang bisa bikin harapan jadi bahan lelucon takdir. Seolah-olah Tuhan sedang menyiapkan skenario komedi yang lebih lucu dari stand-up comedy.
Setiap pengalaman ini seolah memberikan pelajaran berharga—yang lebih mirip pelajaran dari guru galau. Bertemu pria dewasa yang ternyata membawa aku ke jalan buntu dan mengenal istilah "akhinya akhi" yang bikin bingung, seperti menyelesaikan soal matematika dengan jawaban yang salah.
ADVERTISEMENT
Mengenal seseorang yang awalnya terlihat baik, tapi setelah ditelusuri, aku menemukan akun kedua miliknya yang penuh dengan hal-hal jorok dan kotor, ditambah postingan yang membahas tubuh wanita. Aku sempat tidak percaya, sampai memaksanya untuk mengaku. Dia tetap bersikeras itu bukan dirinya. Namun, setelah aku ancam, akun itu tiba-tiba menghilang. Dia masih saja tidak mengaku, malah menyebarkan kabar bahwa aku adalah wanita penyebar fitnah. Miris, kan?
Cerita lain, aku merasakan ketertarikan pada seseorang yang berbeda keyakinan. Hasilnya? Kekecewaan yang tidak kalah mengejutkan. Semua ini terasa seperti perjalanan panjang mencari cinta yang seharusnya indah, tetapi akhirnya selalu berujung drama. Belum lagi pengalaman bertemu dengan orang yang menganggap perselingkuhan itu hal normal.
ADVERTISEMENT
Dia adalah pasangan terakhir yang memblokirku dan merasa dirugikan dalam hubungan ini, padahal dia sendiri yang bikin masalah. Cinta ini ibarat menumpang kereta yang salah arah—sampai di tujuan, kamu hanya bisa geleng-geleng kepala. Betapa menyakitkannya! Dia cemburu jika aku mengenal orang baru, namun saat aku minta untuk tidak berhubungan lagi dengan mantannya, dia malah marah-marah. Tambah luka yang harus kuhadapi.
Ini membuatku bertanya-tanya, apakah aku yang terlalu naif atau memang dunia ini sudah terbalik? Apakah cinta sejati masih ada di tengah kebohongan yang terasa begitu normal ini?
Di tengah kebingungan ini, aku mulai berpikir: apakah cinta yang kucari selama ini sebenarnya ada dalam diriku sendiri? Setelah berkali-kali gagal, aku belajar bahwa mencintai diri sendiri adalah pilihan terbaik. Rasanya seperti menemukan sesuatu yang hilang di dalam lemari, yang ternyata sudah ada di depan mata. Kini, aku lebih memilih mencintai diriku tanpa perlu bergantung pada cinta yang manis di awal, lalu berujung luka di akhir.
ADVERTISEMENT
Mencintai diri sendiri bukan proses yang instan; ini seperti memasak nasi—kadang terlalu matang, kadang kurang. Tapi aku mulai menemukan kebahagiaan dalam diriku sendiri. Menikmati waktu untuk hal-hal yang kusukai, seperti membaca, menulis, dan menonton film; ini jadi terapi terbaik. Dalam setiap aktivitas sederhana itu, aku menemukan kedamaian yang tak pernah kudapatkan dari hubungan yang penuh drama.
Aku juga mulai menetapkan batasan. Tak mau lagi terjebak dalam hubungan yang merugikan, seperti menumpang kereta yang salah arah. Cinta sejati, jika ada, harus didasarkan pada rasa saling menghormati. Jika seseorang tidak mampu memberikan itu, selamat tinggal. Tak perlu drama atau rasa menyesal untuk melepaskan mereka. Setiap orang berhak mencintai dan dicintai dengan cara yang sehat—bukan dengan cara saling menyakiti.
ADVERTISEMENT
Seiring waktu, aku mulai membuka diri pada kemungkinan cinta baru. Tapi kali ini, dengan perspektif yang lebih realistis. Ingin hubungan yang bukan hanya saling melengkapi, tetapi juga saling mendukung dalam pencarian jati diri. Cinta seharusnya bukan menjadi beban, tetapi sumber kekuatan dan kebahagiaan. Pada akhirnya, cinta adalah perjalanan, bukan tujuan akhir.
Dari semua pengalaman ini, satu hal yang kupegang teguh adalah pentingnya komunikasi. Aku ingin hubungan di mana kita bisa berbicara tanpa merasa seperti di kursi panas. Dalam cinta yang sehat, kedua pihak harus merasa aman mengungkapkan perasaan mereka. Tanpa komunikasi yang baik, hubungan hanya akan jadi teater absurd, penuh dengan dialog yang salah dan kesalahpahaman.
Aku juga belajar bahwa cinta sejati tidak selalu berarti bersama selamanya. Kadang-kadang, mencintai seseorang juga berarti memberi mereka ruang untuk tumbuh dan menemukan diri mereka sendiri. Dalam pencarian cinta, aku tak akan terburu-buru. Ingin menikmati setiap momen, baik dalam hubungan romantis maupun dalam perjalanan hidupku sendiri.
ADVERTISEMENT
Dan di akhir perjalanan panjang ini, aku akhirnya sadar:
Pasangan bisa datang dan pergi, hubungan bisa naik turun, tetapi yang bertanggung jawab atas kebahagiaan dan kedamaian kita, ya, hanya diri kita sendiri. Sampai kapanpun, kita adalah orang yang paling tahu apa yang membuat kita bahagia, yang paling mengerti apa yang kita inginkan, dan yang paling siap menghadapi semua luka. Pada akhirnya, mencintai diri sendiri dan merawat diri kita adalah tugas yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
Dengan kesadaran itu, aku merasa lebih tenang. Siapa pun yang datang atau pergi, aku tahu bahwa aku punya diriku sendiri sebagai tempat pulang yang paling aman. Jadi, sambil menunggu cinta sejati—kalaupun ada—aku akan terus menjalani hidup, mencintai diri sendiri, dan menjadi versi terbaik dari diriku. Cinta mungkin bisa jadi lucu, ironis, dan penuh kejutan, tapi bukankah itu yang membuatnya menarik?