Konten dari Pengguna

Ketika Pemain Sepak Bola Perempuan Memilih Keluarga, Lalu Dicibir Publik

Nurul Ara'af
Tenaga kependidikan full-time, penulis curhat part-time. Kalau capek kerja, nulis. Kalau capek nulis, tidur.
2 Mei 2025 12:01 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Ara'af tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Alex Morgan menangis pada laga pertandingan terakhirnya dalam pertandingan San Diego Wave FC melawan North Carolina Courage di Stadion Snapdragon, San Diego, California, Senin (9/9/2024).  Foto: Jonathan Hui/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Alex Morgan menangis pada laga pertandingan terakhirnya dalam pertandingan San Diego Wave FC melawan North Carolina Courage di Stadion Snapdragon, San Diego, California, Senin (9/9/2024). Foto: Jonathan Hui/Reuters
ADVERTISEMENT
Kesetaraan gender dalam sepak bola adalah tentang waktu. 90 menit. Waktu tambahan. Waktu istirahat. Tapi ada satu waktu yang jarang disebut dalam dunia sepak bola: waktu untuk berhenti.
ADVERTISEMENT
Bukan berhenti karena cedera. Bukan karena diparkir pelatih. Tapi berhenti karena... ingin menjadi manusia. Ingin hadir sebagai orang tua. Ingin mengurus rumah tangga. Ingin, untuk sesaat saja, meletakkan sepatunya dan memegang botol susu anaknya.
Tapi sayangnya, bagi banyak orang, keputusan itu terdengar seperti pelanggaran. Seolah menepi demi keluarga adalah tanda kelemahan. Terutama jika kamu adalah seorang perempuan. Dan agak asing kalau kamu laki-laki.
Mari kita lihat lebih dekat: siapa yang diberi hak untuk menepi, dan siapa yang harus terus berlari?

Ketika Perempuan Berhenti, Publik Mulai Menghakimi

Jessica McDonald dari Timnas AS merayakan kemenangan Piala Dunia Wanita 2019 bersama putranya, Jeremiah, di Stade de Lyon, Prancis. Foto oleh Maja Hitij/Getty Images.
Di dunia sepak bola perempuan, keputusan untuk “cuti” demi keluarga hampir selalu datang dengan risiko kehilangan tempat, sorotan, bahkan identitas.
Alex Morgan, striker andalan Timnas AS, mengambil jeda di tahun 2020 untuk menyambut kelahiran putrinya, Charlie. Hanya beberapa bulan setelah itu, ia kembali ke lapangan, bahkan langsung bermain untuk Tottenham Hotspur di liga Inggris. Tapi, ketimbang diberitakan soal statistik atau performanya, media lebih sibuk menyorot soal bagaimana ia menyusui sebelum pertandingan dan bagaimana ia menyeimbangkan latihan dan waktu keluarga.
ADVERTISEMENT
Jessica McDonald punya cerita yang bahkan lebih pelik. Sebagai satu-satunya ibu dalam skuad Timnas AS saat menjuarai Piala Dunia 2019, ia harus membawa putranya tur keliling dunia karena tak ada sistem penitipan anak dari tim. Di tengah latihan, ia menjadi ibu tunggal, berjuang menjaga karier dan anak secara bersamaan.
“Menjadi ibu dan pesepak bola profesional adalah pekerjaan 24 jam tanpa henti,” kata McDonald dalam sebuah wawancara.“Dan sering kali, bagian ‘ibu’ lebih berat, karena sistemnya tidak membantu.”

Apa Jadinya Jika Pemain Laki-Laki Memilih Menepi?

Sekarang kita balik cerita. Apa jadinya kalau seorang pemain pria memilih menepi demi mengurus anak?
Skenarionya jarang terdengar. Sebagian besar pemain pria terus bermain bahkan saat anak mereka lahir, dengan izin khusus beberapa hari tentu. Beberapa di antaranya malah baru pulang setelah menyelesaikan laga penting. Tak ada yang mengutuk, tak ada yang mempertanyakan dedikasi.
ADVERTISEMENT
Tapi ketika seorang pemain benar-benar memprioritaskan keluarga, biasanya reaksi publik berubah menjadi pujian. Seperti yang dialami oleh Zulfiandi, mantan gelandang Timnas Indonesia, yang pada 2023 memutuskan berhenti sementara dari dunia sepak bola untuk merawat ibunya yang sedang sakit. Keputusannya bukan hanya mencerminkan ketulusan, tapi juga menggugah empati banyak orang. Media menyebutnya sebagai bentuk “bakti nyata seorang anak” dan publik menyambutnya dengan rasa hormat.
Contoh lain datang dari skuad Maroko di Piala Dunia 2022. Para pemain merayakan kemenangan mereka di lapangan bersama ibu, anak, dan pasangan mereka, menjadikan momen keluarga sebagai bagian dari narasi heroik yang menyentuh hati dunia.
Bahkan dalam skala lebih ringan, Marc Klok dari Persib Bandung pun menuai pujian ketika memanfaatkan libur kompetisi Liga 1 untuk kembali ke rumah dan mengisi ulang energi bersama keluarganya.
ADVERTISEMENT
Semua ini menunjukkan bahwa ketika pemain laki-laki memilih keluarga di atas lapangan hijau, narasi yang dibentuk media dan publik justru sarat pujian, kontras dengan apa yang sering terjadi pada pemain perempuan yang mengambil keputusan serupa.

Standar Ganda dalam Kesetaraan Gender di Sepak Bola

Inilah yang disebut standar ganda. Ketika perempuan vakum karena alasan keluarga, publik dan media cenderung mempertanyakan komitmennya. “Apa dia masih serius jadi atlet?” “Mungkin dia sudah kehilangan motivasi.” “Ya wajar sih, sudah jadi ibu.”
Tapi jika pria yang mengambil jeda, ia dipuji karena mau turun tangan. Seolah tanggung jawab keluarga itu sesuatu yang ‘lebih’ jika dilakukan laki-laki, dan ‘biasa saja’, bahkan dianggap mengganggu, jika dilakukan perempuan.
Padahal, seharusnya tidak ada yang lebih mulia atau lebih berdosa dari memilih hadir untuk keluarga. Apalagi jika kamu adalah atlet yang sepanjang karirmu dibentuk untuk disiplin, kerja keras, dan mengorbankan kehidupan pribadi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, ketika perempuan memilih untuk berhenti sejenak demi orang yang mereka cintai, yang muncul justru keraguan. Kasus Joy Lynn Fawcett adalah contoh nyata. Sebagai ibu, ia harus membuktikan dua kali lipat bahwa ia layak masuk timnas AS. Casey Stoney, mantan pelatih Manchester United Women, mundur karena kelelahan mental dan kurangnya dukungan. Sebagian mengapresiasi kejujurannya, tapi tak sedikit pula yang mencibirnya “tidak kuat tekanan.” Alex Morgan pun tak luput dari sorotan. Ketika ia kembali bermain hanya beberapa bulan setelah melahirkan, pertanyaannya bukan soal kekaguman, melainkan “bisakah dia kembali tajam?”
Bahkan ketika pemain seperti Jonna Andersson memilih kembali ke klub lokal di Swedia setelah bertahun-tahun berkarier di luar negeri, narasi yang muncul cenderung netral, bahkan romantis, seolah ia “pulang” ke akar. Padahal, keputusan seperti ini bisa saja didorong oleh alasan pribadi yang kompleks: ingin dekat keluarga, butuh ruang jeda, atau mengejar keseimbangan hidup.
ADVERTISEMENT
Tapi bayangkan jika seorang pemain perempuan secara eksplisit mundur dari kompetisi internasional untuk fokus pada kehidupan pribadi. Narasinya bisa dengan cepat berubah menjadi cibiran soal komitmen. “Apakah dia sudah tidak ambisius?” “Mungkin kariernya memang sudah menurun.”
Di sisi lain, jika pemain pria membuat keputusan serupa, publik lebih sering menyebutnya sebagai langkah dewasa, “bijak,” “berimbang,” “tahu mana yang penting dalam hidup.” Standar ganda ini sudah lama hidup dalam dunia olahraga.
Standar ganda ini bukan hanya tidak adil, tapi juga melelahkan. Ia terus memaksa perempuan untuk membuktikan bahwa mereka bisa segalanya, tanpa pernah diberi ruang untuk cukup menjadi manusia biasa.

Mungkinkah Klub Mulai Memberi Ruang untuk Keluarga?

Kenyataannya, sistem sepak bola dan olahraga profesional global masih jauh dari ramah keluarga, terutama bagi atlet wanita. Hingga kini, hanya sebagian kecil klub atau liga profesional wanita yang menyediakan fasilitas seperti penitipan anak atau dukungan psikologis bagi atlet yang juga orang tua. Beberapa liga seperti WNBA, LPGA, dan Athletes Unlimited memang telah memulai inisiatif ini, namun upaya tersebut masih sangat terbatas dan belum menjadi standar industri.
ADVERTISEMENT
Cuti hamil? Masih belum seragam. Pemain bisa saja kehilangan kontrak saat hamil karena klub tak punya kebijakan perlindungan. Bahkan FIFA baru mulai menerapkan peraturan cuti hamil wajib bagi pemain wanita profesional pada tahun 2021.
Di sisi pria, meski tak ada hambatan formal, tekanan sosial tetap hadir. Banyak pemain yang tak berani mengambil cuti keluarga karena takut kehilangan tempat di tim, atau dianggap “kurang fokus”. Seakan-akan, menjadi ayah penuh waktu adalah kemewahan yang hanya bisa dilakukan setelah pensiun.

Menepi Bukan Menyerah

Tapi siapa bilang menepi artinya kalah? Justru, kadang menepi adalah cara paling berani untuk mempertahankan hal-hal yang lebih besar dari pertandingan: cinta, keluarga, dan kemanusiaan.
Alex Morgan, setelah cutinya, kembali jadi andalan Timnas AS. Jessica McDonald membuktikan bahwa ibu tunggal pun bisa jadi juara dunia. Bahkan Ali Krieger, yang baru saja pensiun, mengatakan bahwa ia ingin “menjadi orang tua yang penuh waktu dulu, sebelum memikirkan karier berikutnya.” Satu keputusan yang dulu mungkin dianggap “aneh”, kini mulai diterima meski perlahan.
ADVERTISEMENT

Harapan: Sepak Bola yang Lebih Manusiawi

Pemain sepak bola tidak hanya berlari di lapangan, mereka juga berlari untuk keseimbangan hidup. Mungkin sudah saatnya untuk melihat lebih banyak pemain, baik pria maupun perempuan, yang dengan tenang berkata, “Aku butuh waktu untuk keluarga.” Mungkinkah di masa depan, klub-klub dan federasi olahraga mulai menyediakan sistem pendukung nyata: daycare, cuti orang tua, psikolog keluarga, atau fleksibilitas jadwal?
Dan mungkinkah, sebagai penonton, kita bisa belajar berhenti menghakimi pemain yang tidak selalu tampil di lapangan karena mereka juga memainkan peran penting di rumah? Sepak bola adalah permainan kolektif. Tetapi hidup lebih dari sekadar pertandingan. Ada waktu untuk menyerang, bertahan, bahkan beristirahat. Pada akhirnya, yang paling juara bukan yang terus berlari, tapi yang tahu kapan harus berhenti dan untuk siapa.
ADVERTISEMENT