Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Dunia Nyata Tak Seindah Drama Korea
16 Januari 2022 18:06 WIB
Tulisan dari Nurul Ashyfa Khotima tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kumpulan Puisi “Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api” Karya Moon Changgil
ADVERTISEMENT
Judul Buku : Kumpulan Puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api
ADVERTISEMENT
Penulis : Moon Changgil
Penerjemah : Kim Young Soo & Nenden Lilis Aisyah
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, 2021
Tebal : 116 + x hlm.
Kepopuleran hiburan dari negara Korea saat ini telah merebak hingga ke seluruh penjuru dunia. Tak hanya lagu-lagu dari boyband dan girlband yang merajai chart tangga musik di mana-mana, tetapi juga drama-drama Korea yang ditonton dan diminati oleh seluruh kalangan. Drama Korea banyak diminati oleh para penggemar karena memiliki alur cerita yang menarik dan dapat membuat penonton untuk ikut merasakan emosi yang dirasakan oleh para aktor dan aktrisnya. Kebanyakan, tema yang diangkat dalam cerita drama Korea adalah percintaan, persahabatan, pengkhianatan, bahkan menghadirkan banyak genre seperti thriller, action, dan lain-lainnya.
ADVERTISEMENT
Drama Korea semakin digandrungi karena merasa menemukan pasangan idamannya melalui penokohan yang dihadirkan, bahkan dapat menginspirasi para penonton dari perjalanan hidup tokoh yang di dalam drama. Cerita dalam drama Korea seakan-akan selalu menjanjikan akhir yang bahagia, melalui perjuangan si tokoh utama yang harus menghadapi konflik bertubi-tubi untuk dapat menemukan kebahagiaan tersebut.
Namun nyatanya, Korea tidak selamanya memiliki kehangatan dan keindahan seperti yang ditayangkan dalam drama Korea. Realitanya, tidak semua kehidupan dapat dijalani dengan mudah dan mulus. Hal ini yang juga digambarkan oleh Moon Changgil dalam kumpulan puisi Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api. Tema utama dalam kumpulan puisi ini adalah potret kehidupan masyarakat awam, kehidupan pekerja harian, dan kehidupan kaum miskin yang terjadi di Korea.
ADVERTISEMENT
Moon Changgil merupakan penyair dari Korea Selatan angkatan ’80-an yang juga memimpin beberapa media dan berpartisipasi dalam organisasi sastra di Korea, salah satunya adalah Changjak21. Kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api" karya Moon Changgil ini berhasil meraih dana kreasi karya Institut Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian Korea. Karya-karya Moon Changgil lainnya yaitu "Amanat Kemerdekaan Negara Utara (Bukguk Dokrip Seoshin)", juga puisinya yang terbit dalam antologi bersama dengan judul "Puisi Dure (Duresi Dongin)" dan "Di Ujung Mata Ikan (Mulkogi Kyotnun Soke Deun)".
Kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api" ini diterjemahkan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah. Kim Young Soo berperan sebagai penyambung bahasa Indonesia. Ia juga telah menerjemahkan beberapa buku bahasa Korea ke bahasa Indonesia dan sebaliknya, seperti kumpulan puisi "Orang Suci, Pohon Kelapa" karya Choi Jun dan "Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer" karya Pramoedya Ananta Toer.
ADVERTISEMENT
Nenden Lilis Aisyah merupakan penulis dan penyair Indonesia yang telah memiliki banyak karya, seperti sajak, cerpen, resensi, dan esai yang telah dimuat di berbagai media massa nasional maupun internasional. Selain disibukkan dengan undangan untuk menjadi pembicara dan membacakan karya-karyanya di kegiatan sastra yang diadakan di beberapa negara, Nenden Lilis Aisyah juga bergiat dalam menerjemahkan karya sastra dari mancanegara.
Kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan rel Kereta Api" ini pun tak jauh dari peran Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah yang bekerjasama untuk menerjemahkan puisi-puisi Moon Changgil. Melalui penerjemahan karya ini, Nenden Lilis Aisyah meneruskan tujuan Moon Changgil untuk mengukuhkan perdamaian, hak asasi manusia, lingkungan, dan penyadaran atas masalah-masalah sosial yang terjadi di sekitar kita.
ADVERTISEMENT
Puisi-puisi Moon Changgil berjumlah 58 puisi yang dibagi menjadi 4 rangkuman berdasarkan dominasi tema dan bentuk puisi di dalamnya. Puisi-puisi dalam rangkuman 1 didominasi oleh puisi yang memiliki tema kehidupan masyarakat pinggiran dan miskin di Korea. Nasib para pekerja kecil seperti nelayan, buruh pabrik, pengedar surat kabar, dan lain-lainnya harus menjalani kehidupan yang memprihatinkan, keras, dan getir, namun mereka masih memiliki harapan untuk tetap hidup.
Penyair menggambarkan nasib para pekerja kecil ini dengan menggunakan sudut pandang pertama, namun ada pula yang digambarkan dengan tokoh yang diberi nama, seperti Tuan Hwang, Tuan Ju, Bapak Gilyong, Ibu Yeonhee, Bibi Song, Paman Kim, Paman Seok, Sooki, Park Daljae, dan lain-lain. Ada juga tokoh tanpa nama yang hanya ditulis sebagai istri, anak, atau ayah. Beberapa puisi juga menyebutkan tempat-tempat yang berada di Korea, seperti Samyang-dong dalam puisi “Penduduk di Samyang-dong”, Bangojin dalam puisi “Di Dermaga Bangojin”, Ahnyang dan Kyongsang-do dalam puisi “Wanita dari Ahnyang”, Singok-ri dalam puisi “Malja di Singok-ri”, dan Todang-ri dalam puisi “Tuan Hwang di Todang-ri”.
ADVERTISEMENT
Meskipun hidup sebagai pekerja kecil, namun para tokoh dalam puisi-puisi bagian rangkuman 1 digambarkan memiliki kebahagiaan kecil dari keluarganya, atau pun masyarakat di lingkungan sekitarnya. Salah satu contohnya tergambar pada puisi “Ayahku”. Puisi ini ditulis dari sudut pandang seorang anak yang mengagumi kerja keras ayahnya yang rela bekerja apa saja demi menyambung kehidupan keluarganya. Ayahnya bekerja sebagai tukang las, penjual permen, pengedar surat kabar, buruh pabrik, dan tukang gali lubang irigasi. Berikut merupakan kutipannya.
ADVERTISEMENT
Pekerja lainnya seperti nelayan, tergambar dalam puisi “Di Dermaga Bangojin” dan “Wanita dari Ahnyang”. Nelayan dalam puisi “Di Dermaga Bangojin” digambarkan bagaimana perjuangan seorang nelayan yang harus berlayar untuk menangkap ikan dan harus terbiasa dengan sendi-sendiri yang sakit, angin laut, serta bau amis dari ikan yang menusuk. Sedangkan puisi “Wanita dari Ahnyang” menceritakan seorang wanita penjual ikan di Bangojin yang memiliki cita-cita untuk membahagiakan anak-anaknya dengan menyekolahkan anak laki-lakinya hingga universitas dan membelikan piano untuk anak perempuannya.
Pekerja-pekerja kecil lain seperti kehidupan para petani dapat dilihat pada puisi “Malja di Singok-ri”. Sedangkan pekerja buruh pabrik dan pekerja serabutan lainnya dapat dilihat pada puisi “Anak Perempuan yang Cerah”, “Pemandangan Gedung Koperasi”, “Abang K di Pabrik Eletronik”, “Rumput Liar di Atas Aspal”, dan “Tuan Ju, Penduduk Daerah Khusus”. Buruh pabrik dan pekerja serabutan dalam puisi-puisi Moon Changgil digambarkan dengan perjuangan para tokohnya yang berjuang dan bekerja keras untuk dapat melewati kepahitan hidup yang harus mereka terima tanpa harapan atau pun masa depan yang gemilang. Salah satunya diakibatkan oleh kemiskinan yang harus mereka atasi sendiri, seperti yang dideskripsikan dalam puisi “Abang K di Pabrik Elektronik” yang harus puas dengan pendidikannya hingga jenjang SMP dan bekerja sebagai teknisi elektronik. Abang K dalam puisi ini tidak bisa—dan tidak mampu—untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA karena keterbatasan ekonomi, sehingga ia akhirnya merantau ke kota Seoul.
ADVERTISEMENT
Tak hanya kemalangan dan kemiskinan yang menimpa nasib mereka, namun kepedihan juga menghantui kisah percintaan dalam puisi-puisi Moon Changgil, seperti yang tergambar dalam puisi “Tuan Hwang di Todang-ri 1”, “Tuan Hwang di Todang-ri 2”, dan “Tuan Hwang di Todang-ri 3”. Tuan Hwang harus rela kehilangan anaknya, Sunjeong, yang diadopsi oleh orang asing dari Denmark. Ia juga harus kehilangan nyawa seorang istri, Nona Han, hingga menumbuhkan kesedihan dan penyesalan dalam diri Tuan Hwang.
Di balik kesedihan dan kesulitan yang harus mereka hadapi, Moon Changgil menyisipkan sebuah kebahagiaan serta semangat juang di dalam puisi-puisinya. Bagi rakyat kecil seperti tokoh-tokoh dalam puisi, kebahagiaan dapat diraih dengan sederhana, seperti melalui senyum yang terpancar dari anak perempuannya yang mampu menghangatkan hati seorang ayah dalam puisi “Anak Perempuan yang Cerah”. Atau juga semangat yang mengalir dalam darah seorang kuli bangunan untuk terus bekerja demi menghidupi istri tercintanya. Melalui puisi-puisi dalam bagian rangkuman 1 ini, kita dapat melihat bagaimana para pekerja kecil yang memiliki keterbatasan namun tetap memiliki keinginan untuk terus melanjutkan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Rangkuman 2 dalam buku kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api" didominasi oleh tema sejarah Korea, terutama ketika perang berlangsung. Dalam puisi-puisi di bagian kedua ini, Moon Changgil mendeskripsikan bagaimana kesengsaraan rakyat serta kekejaman dari militer Amerika Serikat kepada rakyat Korea. Selain itu, Moon Changgil juga mengungkapkan kerinduannya terhadap penyatuan dua Korea (unifikasi) yang tergambar dalam beberapa puisi.
Kesengsaraan yang terjadi pada rakyat Korea tergambarkan dalam puisi berjudul “Masa Perlawanan” di mana banyak tentara yang keberadaannya tidak diketahui pada akhir Perang Korea. Juga puisi “Buku Catatan Putih” dan “Fajar untuk Genting Biru” yang melukiskan bagaimana perang-perang yang terjadi di Korea menghancurkan kota-kota dan menggugurkan ribuan nyawa.
Kerinduan unifikasi antara dua Korea, yaitu Korea Selatan dan Korea Utara tergambar pada puisi “Di Stasiun Wojeong-ri”, “Kembang Unifikasi”, dan “Kita adalah Satu”. Gencatan senjata yang terjadi ini diawali dari pemisahan Korea Utara dan Korea Selatan oleh garis paralel ke-38 yang melintasi Semenanjung Korea. Korea Utara yang dipimpin oleh Kim Il Sung menganut paham sosialis yang didukung oleh Uni Soviet, sedangkan Korea Utara yang dipimpin oleh Syngman Rhee yang menganut ideologi kapitalis didukung oleh Amerika Serikat. Pada 25 Juni 1950, sebanyak 75.000 tentara Korea Utara turun untuk melintasi batas paralel ke-38 tersebut. Di bulan berikutnya, pasukan Amerika Serikat akhirnya turun ke medan peran untuk mendukung Korea Selatan untuk memerangi komunisme. Pada dasarnya, rakyat Korea tidak menginginkan pemisahan tanah air mereka. Akibat dari pemisahan dan perang yang terjadi, puluhan juta keluarga di Korea terpaksa harus terpisah.
ADVERTISEMENT
Dalam Perang Korea yang terjadi saat itu, militer Amerika Serikat juga melalukan kekejaman terhadap rakyat Korea, salah satunya adalah pelecehan seksual terhadap gadis-gadis Korea yang digambarkan melalui puisi “Gadis Geumchon 1”, “Gadis Geumchon 2”, dan “Oh, Hari Itu”. Moon Changgil dengan eksplisit menyebutkan Tentara Yankee, sebutan untuk tentara Amerika Serikat dengan konotasi mengejek, mereka memerkosa hingga berkali-kali, bahkan disebutkan bahwa penyakit kanker rahim telah dianggap penyakit musiman. Penyair menumpahkan amarahnya, mewakili gadis tak bersalah yang harus menerima kekejaman tentara Amerika Serikat. Berikut merupakan kutipan dalam puisi “Gadis Geumchon 2”.
ADVERTISEMENT
Dalam rangkuman bagian kedua ini, Moon Changgil melalui puisi-puisinya mengungkapkan kemarahan, kerinduan, dan kepedihan terhadap peristiwa sejarah yang terjadi di Korea. Pemilihan kata yang digunakan oleh Moon Changgil pun terkesan lugas dan to the point. Dengan jelas tergambar bagaimana kekejaman masa lalu yang terjadi ketika Perang Korea dapat meruntuhkan dan menggugurkan para rakyatnya akibat kekejian para tentara.
Selanjutnya, bagian rangkuman 3 dan rangkuman 4 didominasi oleh tema sosial-politik, yang menghadirkan emosi individual dengan imajinasi penyair. Puisi-puisi yang ditulis dalam bagian ini menggambarkan rasa cinta, keputusasaan, kerinduan, nafsu, religius, lingkungan alam, dan norma hidup.
Beberapa puisi dalam bagian ketiga dan keempat ditulis dengan bentuk naratif dengan kalimat-kalimat yang disambungkan dan disatukan, sehingga satu puisi hanya terdapat satu kalimat panjang tanpa dibubuhkan tanda baca sama sekali. Contohnya terdapat pada puisi “Bunga Trompet 1”, “Di Hagung-ri”, “Tempat Tinggalku Dulu 1”, “Di Hagung-ri”, “Tempat Tinggalku Dulu 2”, “Benteng”, “Dalam Gelap”, dan “Bayangan”.
ADVERTISEMENT
Puisi berjudul “Benteng” di atas ditulis dengan satu kalimat panjang tanpa putus hingga puisinya selesai. Meskipun hanya terdiri dari satu kalimat, tapi dapat dipahami bahwa puisi ini menceritakan tentang mimpi yang runtuh dalam waktu singkat hingga menghancurkan harapan si aku-lirik. Namun, kehancuran dan keruntuhan tersebut justru menjadikan aku-lirik membangkitkan kembali semangat juang untuk menjadi lebih kuat daripada sebelumnya.
Buku kumpulan puisi "Apa yang Diharapkan Rel Kereta Api" ini sangat direkomendasikan bagi yang ingin melihat sisi lain dari Korea, terlepas dari hiburan pop yang saat ini sedang mendunia. Kita akan melihat bagaimana pekerja-pekerja kecil di Korea yang harus bekerja keras demi menyambung kehidupannya, juga sejarah-sejarah lama Korea yang juga ikut diangkat sebagai bentuk pemahaman isu sosial dan politik yang digambarkan melalui puisi-puisinya. Nenden Lilis Aisyah dan Kim Young Soo, melalui terjemahannya juga berhasil memperkenalkan karya sastra Korea kepada pembaca di Indonesia. Kini, karya ciptaan Moon Changgil telah terdengar hingga ke penjuru Indonesia.
ADVERTISEMENT
Moon Changgil dengan pandai menjadikan karya sastra sebagai senjata yang digunakan untuk menanggulangi dan menghadapi ketimpangan dan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Ia juga terus memberi kesuburan kepada karya sastranya dengan menggunakan fenomena-fenomena dunia yang terjadi. Dengan prinsip sastra sebagai cerminan hidup, Moon Changgil berhasil merefleksikan dan memberi bayangan kepada khalayak luas mengenai kondisi dan kehidupan rakyat kecil serta permasalahan yang terjadi di Korea. (Nurul Ashyfa Khotima)