Konten dari Pengguna

Potret Peribahasa Melalui Karya Sederhana

Nurul Ashyfa Khotima
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia.
12 Januari 2022 21:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Ashyfa Khotima tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Ekranisasi Peribahasa "Alak Paul" Karya Komunitas Jamuga

Film Pendek Alak Paul Karya Komunitas Jamuga. Source: https://www.youtube.com/watch?v=_C_SMZG7CGY
zoom-in-whitePerbesar
Film Pendek Alak Paul Karya Komunitas Jamuga. Source: https://www.youtube.com/watch?v=_C_SMZG7CGY
ADVERTISEMENT
Rasanya, perjodohan yang dilakukan oleh orang tua kepada anak perempuannya sudah tidak aneh lagi. Sejak zaman Siti Nurbaya hingga Hayati, perjodohan masih sering terjadi sebagai salah satu fenomena di Indonesia. Perjodohan sendiri adalah tipe pernikahan yang menyatukan laki-laki dan perempuan dengan campur tangan pihak ketiga, biasanya adalah orang tua. Tidak sedikit orang tua yang merasa berhak dan berkewajiban untuk ikut andil dalam proses pemilihan pasangan bagi anaknya dengan alasan-alasannya tersendiri. Sistem perjodohan di Indonesia paling banyak terjadi karena tiga alasan, yaitu perjodohan untuk meneruskan kekuasaan atau mempertahankan keningratan, perjodohan karena tuntutan ekonomi, dan perjodohan dalam agama Islam atau lebih dikenal dengan istilah ta’aruf.
ADVERTISEMENT
Sistem perjodohan ini juga kerap terjadi karena kekhawatiran orang tua kepada anaknya, terutama anak perempuan yang telah memasuki umur yang cukup untuk menikah, namun masih belum menemukan jodohnya atau belum berniat untuk menikah. Untuk menghindari stigma ‘perawan tua’ terhadap anak perempuannya, akhirnya orang tua pun mengupayakan untuk mencari pasangan yang dinilai cocok untuk anaknya dengan embel-embel bahwa pilihan orang tua adalah pilihan terbaik untuk anak tanpa mempedulikan apakah sang anak telah siap secara fisik, mental, dan sosial untuk menikah.
Fenomena perjodohan juga dialami oleh Euis, seorang kembang desa di Srimanganti yang dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang Juragan kaya raya tua bernama Jarot dalam film pendek Alak Paul karya Jamuga Cinema.
ADVERTISEMENT
Juragan Jarot adalah seorang juragan kaya di desa yang memiliki banyak sawah dan kebun, sehingga Abah ingin menikahkan dengan Euis untuk memperbaiki hidup mereka. Abah juga mempertimbangkan teman-teman Euis yang sudah memiliki anak, sedangkan Euis masih saja belum menikah. Yang ditakutkan Abah adalah Euis akan menjadi perawan tua. Namun, Euis menolak. Euis tidak mau menikahi lelaki tua, meskipun ia kaya. Penolakan Euis tentu saja tidak diamini oleh Abah dan Ambu. Abah memaksa Euis untuk menerima Juragan Jarot, berkata bahwa mau tidak mau, suka tidak suka, Euis harus menerimanya, Juragan Jarot tidak akan menelantarkannya. Euis sudah tidak dapat menolak perkataan Abahnya lagi ketika mengetahui bahwa Juragan Jarot telah bersiap untuk mendatangi Euis.
ADVERTISEMENT
Juragan Jarot berniat untuk langsung melamar Euis dengan membawa banyak seserahan seperti makanan, bahkan domba adu. Mendengar banyaknya seserahan yang dibawa oleh Juragan Jarot tersebut, anak buah dari Bojeg Borejeg, sang pendekar begal, langsung mendatangi bosnya dan berniat untuk membegal Juragan Jarot. Bersamaan dengan dibegalnya Juragan Jarot oleh Bojeg Borejeg, ternyata Euis dibawa kabur oleh Kartaji, pacar Euis. Juragan Jarot yang tidak terima wanita idamannya dibawa kabur langsung mengejar Kartaji. Abah, Ambu, dan Asih ikut mengejar Kartaji dan Euis.
Bojeg Borejeg yang masih belum menyelesaikan pertarungannya dengan Juragan Jarot ikut mengejarnya. Di pinggir sungai, Bojeg Borejeg kembali memulai pertarungannya dengan Juragan Jarot hingga pada akhirnya Juragan Jarot tercebur ke dalam sungai yang dalam. Sedangkan nasib Euis, ia dibawa oleh Kartaji ke Alak Paul, yaitu tempat yang sangat jauh dan tidak bisa didatangi oleh siapapun. Pada akhirnya, Abah, Ambu, dan Asih merelakan kepergian Euis agar ia dapat menemukan kebahagiaannya sendiri dengan Kartaji.
ADVERTISEMENT
Film pendek Alak Paul ini adalah hasil ekranisasi dari buku Parbung Lalakon – Kumpulan Carita Tina Paribasa karya Ari Kpin, film ini juga disutradarai oleh Ari Kpin sendiri. Dalam produksinya, Ari Kpin dibantu oleh Mang Oephy dan Agung S. Assiroj sebagai kameramen. Para aktor dan aktris yang berperan dalam film Alak Paul ini merupakan anggota Jamuga Cinema dan beberapa masyarakat setempat di Desa Sukamurni, beberapa di antaranya adalah Shela Salpa sebagai Euis, Dado Bima sebagai Bojeg Borejeg, Wa Ratno sebagai Juragan Jarot, dan Apung S. Lukman sebagai Kartaji.
Jamuga Cinema adalah sebuah komunitas yang berdiri pada tahun 2020 dan membahas mengenai segala bentuk kesenian seperti musik, film, teater, dan karya sastra. Komunitas Jamuga ini diketuai oleh Ari Kpin yang telah menekuni bidang seni sejak di bangku sekolah. Ari Kpin telah sukses menjadi sastrawan utama dalam program Kemendikbud Sastrawan Bicara Siswa Bertanya di seluruh provinsi di Indonesia, hingga telah merilis 15 album musikalisasi puisi yang dijadikan sebagai media pembelajaran di berbagai sekolah di Indonesia. Dengan memimpin Komunitas Jamuga, Ari Kpin bersama dengan anggota-anggota lainnya mempunyai tujuan untuk mengangkat budaya agar diterima di masyarakat. Film pendek Alak Paul adalah salah satunya. Budaya yang diangkat dalam film ini diambil dari peribahasa Alak Paul. Jamuga ingin membuktikan bahwa hal sepele seperti peribahasa yang sudah jarang dipakai bahkan dilupakan oleh masyarakat dapat diubah menjadi sebuah karya sastra.
ADVERTISEMENT
Dalam proses produksinya, film pendek Alak Paul ini ditulis tanpa menggunakan skenario sehingga interaksi yang dilakukan oleh para pemain merupakan hasil spontanitas dengan tetap mengacu pada gagasan yang ada di buku Parbung Lalakon karya Ari Kpin. Meskipun film tanpa skenario dapat mempermudah para pemainnya untuk dapat berperan dan berimprovisasi, namun dalam film Alak Paul, beberapa pemain masih terlihat tidak luwes dan tidak terlihat adanya penghayatan peran. Selain karena tidak adanya skenario, hal ini juga terjadi karena banyaknya adegan tambahan secara dadakan. Ditambah dengan pengambilan gambar yang hanya membutuhkan waktu selama satu hari memberikan kesan terburu-buru pada alurnya hingga menimbulkan banyak pertanyaan. Dalam film pendek Alak Paul, tidak dijelaskan siapa itu tokoh Kartaji, tidak ditunjukkan ketika Bojeg Borejeg membegal Juragan Jarot, dan pertengkaran antara Bojeg Borejeg dengan Juragan Jarot terasa sangat singkat dan kurang mencapai klimaks.
ADVERTISEMENT
Dalam aspek visual yang ditunjukkan dalam film Alak Paul pun terlihat seadanya. Dengan bermodalkan kamera handphone, beberapa scene terlihat tidak stabil dan camera focus yang terus menerus berubah, salah satunya terdapat di adegan ketika beberapa anak sedang menyebrangi jembatan di atas sungai. Padahal, salah seorang anggota Jamuga mengatakan bahwa mereka membawa kamera digital ke lokasi syuting, tetapi mereka memutuskan untuk mengandalkan tiga kamera dari handphone sebagai pembuktian kepada masyarakat setempat bahwa hanya dengan kamera biasa, kita juga bisa berkarya. Meskipun hanya bermodalkan kamera handphone, tentunya hal-hal kecil dalam pengambilan gambar seperti kestabilan kamera dan fokus tetap harus diperhatikan karena dapat mengurangi fokus penonton dalam menikmati film pendek Alak Paul.
Tata musik dalam film pendek Alak Paul pun tak jarang terdengar suara noise yang lumayan kencang sehingga di beberapa adegan terdapat suara dari para pemain yang kurang jelas terdengar. Salah satu contohnya terdapat dalam adegan Ceu Empat dan Ceu Nining sedang menyuci baju di sungai, suara air yang mengalir terdengar lebih keras dibandingkan percakapan dari para pemain. Untuk menghindari hal tersebut, para pemain dapat menggunakan clip on atau merekam dari perekam suara yang diletakkan di dekat para pemain yang sedang berperan sehingga suara noise dari lingkungan dapat diatasi dengan menggunakan rekaman tersebut.
ADVERTISEMENT
Alur yang diceritakan oleh film pendek Alak Paul ini tentunya tidak terlepas dari realita dunia. Perjodohan, perkelahian, serta pembegalan masih banyak terjadi di sekitar kita. Bahkan seserahan yang dibawa oleh Juragan Jarot merupakan makanan-makanan khas di daerah Cilawu, seperti cemprus dan opak, juga dengan membawa domba adu yang sudah tidak aneh lagi di daerah Garut. Hal ini tentunya memenuhi ciri sastra sebagai cerminan dari kehidupan.
Di zaman modern ini, perjodohan masih lazim terjadi. Abah dan Ambu berpikir bahwa dengan menjodohkan Euis dan Juragan Jarot yang kaya raya, Euis akan hidup bahagia dan makmur hingga membuat hidupnya tidak akan sengsara. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Euis menolak dengan keras, ia tidak ingin hidup dengan orang yang tidak Euis cintai, bahkan umur Euis dan Juragan Jarot terpaut cukup jauh. Sayangnya, Abah tetap memaksa Euis. Euis merasa dilema, apakah harus mengikuti perkataan orang tuanya atau menuruti kata hatinya untuk pergi mengikuti jejak Kartaji, lelaki yang ia cinta.
ADVERTISEMENT
Perjodohan seharusnya bukan hal yang harus dipaksakan. Dalam film pendek Alak Paul, Euis sebagai perempuan dewasa berhak untuk menolak perjodohan yang dilakukan oleh Abah, tetapi kekhawatiran Abah atas stigma ‘perawan tua’ yang akan melekat pada Euis jika ia tidak kunjung menikah membuat Euis akhirnya pasrah. Padahal, stigma tersebutlah yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan di usia muda, bahkan pernikahan di bawah umur.
Adanya stigma yang telah mengakar ini membuat para perempuan menjadi takut jika mereka telat untuk menikah. Faktanya, menyebut perempuan dengan istilah ‘perawan tua’ sama saja dengan merendahkan perempuan. Istilah ini seakan-akan mengatakan bahwa tujuan hidup seorang perempuan hanya untuk menikah. Sedangkan laki-laki tidak mengenal batasan umur untuk menikah, itulah mengapa tidak ada istilah ‘perjaka tua’. Padahal, menikah adalah hak setiap individu yang seharusnya diputuskan ketika memang telah siap dari segi fisik, mental, materi, maupun sosial.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari proses produksinya yang sederhana dan alurnya sebagai cerminan kehidupan nyata, film pendek Alak Paul berhasil menjalankan misinya untuk melestarikan budaya paribasa Sunda buhun dengan sinema. Melalui film pendek ini, masyarakat dapat mengetahui dan mempelajari tentang makna yang terkandung dari sebuah peribahasa. Jamuga Cinema juga mengangkat potensi-potensi dan sumber daya manusia yang ada di tiap desa. Dalam sebuah film, tentu yang menjadi penilaian utama adalah segi visualnya. Jika saja Jamuga Cinema menggunakan peralatan yang lebih memadai, film pendek ini akan lebih terasa lebih sedap untuk dinikmati.