Konten dari Pengguna

Ketidaksetaraan Gender dalam Dunia Pendidikan di Jepang dan di Indonesia

NURUL AZIZAH
Mahasiswa Matkul Kajian Gender dan Perempuan Jepang Studi Kejepangan FIB UNAIR S1 Studi Kejepangan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga
14 Desember 2022 13:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NURUL AZIZAH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : https://www.pexels.com/photo/newly-graduated-people-wearing-black-academy-gowns-throwing-hats-up-in-the-air-267885/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : https://www.pexels.com/photo/newly-graduated-people-wearing-black-academy-gowns-throwing-hats-up-in-the-air-267885/
ADVERTISEMENT
Jepang merupakan negara maju yang terletak di benua Asia dan mempunyai kemajuan dalam bidang pendidikan. Hal ini dikarenakan bahwa masyarakat Jepang sangatlah pekerja keras dan sangat menghargai waktu. Dalam bidang pendidikan, negara Jepang mempunyai sistem pendidikan yang terbaik karena pendidikan dasar di Jepang dapat menyempurnakan karakter mulai dari usia dini. Tak heran bila Jepang mampu melahirkan banyak orang-orang hebat karena telah menempuh pendidikan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Pendidikan di Jepang bersifat wajib hanya selama sembilan tahun yang meliputi sekolah dasar (enam tahun), sekolah menengah pertama (tiga tahun). Sebanyak 97 persen dari mereka melanjutkan ke jenjang sekolah menengah atas (tiga tahun) dan perguruan tinggi (empat tahun). Baik laki-laki maupun perempuan mendambakan untuk memperoleh karir yang baik dengan menempuh pendidikan tinggi. Namun, pada tahun tahun 2017 World Economy Forum telah merilis The Global Gender Gap Report yang menyatakan bahwa negara Jepang mendapatkan peringkat 114 dalam indeks global kesenjangan gender dari 140 negara. Kesenjangan gender (ketidaksetaraan gender) inipun terjadi dalam dunia pendidikan, salah satunya yakni fenomena kasus kecurangan yang dilakukan oleh pihak universitas terhadap nilai mahasiswi perempuan Jepang yang dilansir dari berita di tirto.id.
ADVERTISEMENT
Kasus manipulasi skor ini terjadi dan mulai terbongkar pada awal Agustus 2018 oleh beberapa media di Jepang salah satunya Koran Yomiuri. Dalam Koran tersebut mereka menemukan bahwa Tokyo Medical University telah terbukti mengurangi skor tes dari para pelamar di ujian fase pertama sebanyak 20 persen, kemudian menambah sebanyak 20 poin untuk pelamar laki-laki. Diketahui bahwa alasan universitas melakukan hal tersebut agar jumlah mahasiswa perempuan bisa ditekan sesedikit mungkin. Selain itu juga beredar rumor bahwa universitas sengaja membuat pelajar perempuan gagal agar mereka bisa membatasi pelajar perempuan dan memastikan lebih banyak dokter laki-laki saja.
Kecurangan ini sudah berlangsung cukup lama sejak tahun 2006 yang mana terjadi problem calon mahasiswa yang terlalu banyak perempuan. Hal ini juga didukung oleh kekhawatiran pihak universitas yang mengklaim bahwa dibandingkan dengan laki-laki, perempuan akan meninggalkan pekerjaannya setelah mereka sudah bersuami dan beranak. Kekhawatiran ini semakin terguncang ketika tahun 2010 jumlah pelamar yang berhasil lolos mencapai 38 persen perempuan. Dimasa inilah manipulasi skor tes akhirnya mulai dijalankan dan berhasil.
ADVERTISEMENT
Setelah melalui berbagai penyelidikan, Manipulasi ini kemudian terungkap atas dugaan adanya “pintu belakang” seorang anak dari birokrat pendidikan kementerian (Futoshi Sano) agar masuk universitas dengan menawarkan imbalan bantuan untuk universitas dalam memperoleh dana penelitian. Sumber lain juga mengatakan adanya bentuk penyuapan sebesar 35 yen dalam bentuk subsidi pemerintah yang akan diberikan pada universitas. Melalui kasus tersebut telah mencerminkan adanya ketidaksetaraan gender yang terjadi di Jepang dalam dunia pendidikan dengan mendiskriminasi perempuan di Jepang.
Ketidaksetaraan gender dan diskriminasi perempuan tersebut terjadi karena adanya pandangan masyarakat Jepang yang masih menganut budaya patriarki. Budaya patriarki ini didefinisikan sebagai sistem laki-laki yang lebih berkuasa dalam menentukan segala sesuatu. Masyarakat yang masih terpaku dengan budaya patriarki menganggap perempuan lemah dan berada dibawah laki-laki. Dalam kasus tersebut menyebabkan adanya pandangan masyarakat bahwa laki-laki lebih pantas untuk menjadi seorang dokter daripada perempuan karena perempuan dinilai tidak akan bisa bekerja dengan baik karena harus mengurus kehidupan rumah tangga dan anaknya kelak. Karena itulah terjadi kasus manipulasi skor ujian bagi pelajar perempuan di Jepang.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan negara Indonesia. Dalam dunia pendidikan Indonesia membuka seluas mungkin dan tidak membatasi perempuan untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Artinya, tidak terjadi diskriminasi gender dalam dunia pendidikan di Indonesia karena sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Namun disisi lain, sebagian dari masyarakat Indonesia masih mempunyai persepsi yang mengakar dari budaya patriarki bahwa perempuan dan laki-laki berbeda sehingga masih terdapat batasan bagi perempuan dalam melakukan tindakan seperti dalam dunia pendidikan. Perempuan dianggap tidak perlu menempuh pendidikan tinggi karena pada akhirnya mereka nanti akan menjadi ibu rumah tangga. Bahkan dalam pandangan masyarakat hal ini sudah menjadi kodrat perempuan. Hal ini menyebabkan tingginya angka putus sekolah pada perempuan di Indonesia akibat adanya diskriminasi perempuan dalam sektor pendidikan.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya terjadi di Madura, masyarakat Madura menganggap bahwa posisi perempuan berada di bawah laki-laki karena itulah para orang tua berasumsi bahwa tidak ada gunanya bila perempuan sekolah hingga ke perguruan tinggi karena mereka hanya perlu mengurus kebutuhan rumah dan anak. Karena itulah banyak terjadi pernikahan dini pada perempuan di daerah sana yang berasal dari keluarga kurang mampu. Contoh lain terjadi pada masyarakat Sasak NTB yang menganut sistem kekerabatan patrilineal yang merupakan sebuah sistem kekeluargaan dengan menarik garis keturunan pihak laki-laki. Dengan adanya pandangan patriarki yang masih melekat di masyarakat membuat kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi laki-laki yang menjadi prioritas utama. Hal ini dapat dilihat dari data rata-rata lamanya penduduk yang sekolah menurut jenis kelamin di provinsi NTB tahun 2018 yaitu laki-laki 8,21 dan perempuan 7,13 (Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat, 2018). Dari data ini menunjukkan masih adanya hambatan bagi perempuan dalam menempuh pendidikan. Lagi-lagi ketidaksetaraan gender ini terjadi dalam dunia pendidikan karena adanya pandangan masyarakat yang disebabkan masih kentalnya budaya patriarki.
ADVERTISEMENT
Menanggapi kasus tersebut, dapat dikatakan bahwa adanya kesenjangan dan ketidaksetaraan gender ini sebenarnya berasal dari kondisi sosial budaya yang ada dalam lingkungan masyarakat dengan memberikan pandangan bahwa laki-laki adalah yang utama dalam melakukan segala hal sedangkan perempuan tidak. Laki-laki dapat memegang kendali penuh terhadap wanita karena dianggap kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Meskipun di tengah modernisasi masyarakat masih memegang kuat pandangan lama yang menyatakan kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan. Hal ini yang menyebabkan adanya ketidakadilan gender (gender inequalities) akibat dari pengaruh budaya patriarki yang masih kental dalam masyarakat sehingga kesetaraan gender masih belum tercapai dengan sempurna. Dalam kasus ini budaya patriarki di masyarakat menjadikan adanya batasan bagi perempuan dalam pendidikan.
ADVERTISEMENT
Pada beberapa contoh kasus di Indonesia yang telah dibahas di atas, masyarakat masih memegang teguh budaya patriarki sehingga kasus diskriminasi perempuan dalam dunia pendidikan masih terus saja terjadi di daerah-daerah tertentu. Mayoritas dari mereka kebanyakan kurang memahami pentingnya pendidikan bagi setiap orang yang seharusnya tanpa memandang gender. Beberapa penjelasan dari mereka menganggap bahwa perempuan tidak perlu menempuh pendidikan tinggi karena ujung-ujungnya akan menjadi ibu rumah tangga, adanya pandangan bahwa laki-laki merupakan yang utama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini mengakibatkan rendahnya kualitas pendidikan bagi perempuan.
Sama halnya dengan kasus kecurangan bagi pelajar perempuan pada skor tes masuk perguruan tinggi kedokteran di Jepang. Dalam kasus ini masih terdapat pandangan patriarki dalam masyarakat Jepang yang didukung oleh kekhawatiran dari pihak universitas yang menganggap bahwa perempuan jika sudah menikah nantinya tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai dokter dengan maksimal. Alhasil mereka melakukan tindakan kecurangan dengan memanipulasi skor tes bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meskipun isu kesetaraan gender sudah banyak dilakukan dan disosialisasikan oleh pemerintah sejak lama, namun sangat disayangkan masih banyak ketidaksetaraan gender yang terjadi dalam dunia pendidikan. Pandangan bahwa laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai subordinat menyebabkan adanya ketidakadilan yang berakar dari ketidaksetaraan gender. Di Indonesia ketidaksetaraan gender bagi perempuan dalam dunia pendidikan disebabkan oleh pandangan masyarakat yang lebih mengutamakan pendidikan laki-laki daripada anak perempuan, mereka menganggap perempuan tidak sepantasnya berpendidikan tinggi karena pada akhirnya berurusan dengan rumah tangga. Ketika ketidaksetaraan dalam menempuh pendidikan terjadi, perempuan dengan terpaksa putus sekolah karena adanya persepsi laki-laki yang lebih utama dalam segala hal. Karena anggapan derajat perempuan yang masih berlaku di masyarakat berimplikasi terhadap rendahnya pendidikan yang diperoleh perempuan dan mengakibatkan banyak terjadinya pernikahan dini pada perempuan.
ADVERTISEMENT
Sama halnya dengan Jepang yang mana masyarakatnya juga mengutamakan pendidikan tinggi bagi laki-laki karena masih dipengaruhi oleh budaya patriarki. Namun yang membedakan disini adalah negara Indonesia tidak melakukan tindakan kecurangan bagi masyarakat perempuan yang ingin menempuh pendidikan tinggi, adanya ketidaksetaraan gender di Indonesia ini diakibatkan oleh pengaruh kultural dalam sebagian masyarakat. Sedangkan di Jepang mereka sengaja melakukan tindakan kecurangan bagi perempuan yang ingin menempuh pendidikan dalam hal ini di bidang kedokteran. Hal ini dipengaruhi oleh budaya patriarki yang masih dianut masyarakat jepang secara luas. Selain itu juga didominasi sistem ie yang dianut oleh Jepang dengan menganggap bahwa laki-laki memiliki posisi sebagai figur publik dan perempuan sebagai figur privat. Oleh karena itu hal ini kemudian mempengaruhi adanya ketidaksetaraan gender.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu sangat diperlukan adanya upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap isu gender sehingga masyarakat baik di Indonesia maupun di Jepang bisa menghargai dan menganggap bahwa setiap perempuan juga memiliki hak yang setara di berbagai hal khususnya dalam menempuh pendidikan. Sangat diperlukan peran dari pemerintah maupun masyarakat untuk membentuk pandangan yang setara antara laki-laki dan perempuan sehingga kesetaraan gender dapat tercapai.
Referensi
“Diskriminasi Perempuan Dalam Bidang Pendidikan”. 2022.
https://yoursay.suara.com/kolom/2022/01/15/090000/diskriminasi-perempuan-dalam-bidang-pendidikan diakses pada tanggal 13 Desember 2022 pada pukul 19. 35 WIB
“Kehidupan Sekolah di Jepang”. 2013.
http://sukajepang.com/kehidupan-sekolah-di-jepang/ diakses pada tanggal 13 Desember 2022 pada pukul 19.05 WIB
Nursaptini, M. S., Sutisna, D., Syazali, M., & Widodo, A. (2019). Budaya patriarki dan akses perempuan dalam pendidikan. Jurnal Al-Maiyyah, 12(2), 16-26.
ADVERTISEMENT
“Problem Perempuan Jepang : Dilarang Punya Karier Tinggi”. 2018.
https://tirto.id/problem-perempuan-jepang-dilarang-punya-karier-tinggi-cR6l diakses pada tanggal 13 Desember 2022 pada pukul 20.14 WIB
“Universitas Kedokteran Tokyo Akui Manipulasi Pelamar Perempuan”. 2018.
https://dunia.tempo.co/read/1115002/universitas-kedokteran-tokyo-akui-manipulasi-pelamar-perempuan diakses pada tanggal 13 Desember 2022 pada pukul 20.30 WIB
Sari, A. Y., & Pattipeilohy, S. C. H. (2020). Ketidaksetaraan Gender sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan di Jepang. Journal of International Relations, 6(2), 358-367.