Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
3 Hal Penting terkait Peradilan Desa Adat
15 Maret 2021 16:33 WIB
Tulisan dari Nurul Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sistem peradilan nasional hanya mengakui keberadaan pengadilan negeri dan pengadilan agama, yang berlaku sejak lahirnya UU Darurat No. 1/1951, yang kemudian diperkuat oleh Pasal 3 ayat (1) UU No.14/1970 tentang Pokok-Pokok kekuasaan kehakiman. Sejak saat itu, peradilan (desa) adat dan praktiknya tidak lagi diakui dan berada pada posisi marjinal (di luar sistem formal).
ADVERTISEMENT
Marjinalisasi peradilan (desa) adat selaras dengan kebijakan penyeragaman desa pada masa Orde Baru melalui pemberlakuan UU No.5 /1979 tentang Pemerintahan Desa. Kebijakan ini berdampak bukan hanya pada peradilan (desa) adat, namun juga eksistensi masyarakat adat. Sejak saat itu, masyarakat adat tidak ada lagi memiliki saluran untuk menegakkan hak dan hukum adatnya.
Dalam situasi tersebut, masyarakat adat dipaksa belajar tentang peradilan negara dengan sistem dan tata cara yang cenderung asing bagi mereka, dengan basis budaya (kesadaran) hukum yang berbeda pula. Hukum negara cenderung pada orientasi (hak) individual, formal dan menitikberatkan pada sanksi. Sedangkan hukum adat berorientasi komunal dan menjaga berfungsinya keseimbangan sosial.
Hukum adat kemudian melemah dan perlahan-lahan ditinggalkan dari perkembangan pembangunan hukum nasional.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya, negara melakukan koreksi untuk memulihkan kembali hak masyarakat adat dan hukum adatnya melalui UU No.6/2014 tentang Desa (UU Desa). Salah satu pengaturan di dalam UU Desa ini adalah tentang Peradilan Desa Adat.
Peradilan Desa Adat sendiri adalah bagian dari kewenangan Desa Adat, yakni nomenklatur baru desa yang mengakomodasi hak dan kewenangan masyarakat adat di dalam struktur desa.
Ada tiga (3) hal penting terkait Peradilan Desa Adat, yakni tentang dasar kewenangan; fungsi; dan kelembagaan. Tiga hal ini dijabarkan sebagai berikut;
1. Dasar kewenangan penyelenggaraan Peradilan Desa Adat
Pasal 103 huruf d dan e UU Desa menyebutkan bahwa desa adat memiliki kewenangan menyelenggarakan penyelesaian sengketa adat dan sidang perdamaian peradilan desa adat. Huruf d menyebutkan “penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat.” Dengan kata lain, negara mengakui model-model penyelesaian sengketa adat dan hukum adat sebagai sumber hukum dalam penyelesaian sengketa adat.
ADVERTISEMENT
Hal ini berarti pula pengakuan atas segala hal terkait penyelesaian sengketa adat berdasar hukum adat, baik itu terkait jenis sengketa, tata cara penyelesaian, dan kelembagaan penyelesaian sengketa adat.
Frasa berikutnya dalam Pasal 103 huruf d yakni; “yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah” mengandung makna bahwa; penyelenggaraan peradilan desa adat mengutamakan musyawarah sebagai metoda penyelesaian. Sedangkan selaras dengan prinsip Hak Asasi Manusia adalah bahwa peradilan desa adat itu sebangun dengan nilai-nilai universal.
2. Fungsi Peradilan Desa Adat
Dalam tataran praktik peradilan (desa) adat, sebagai contoh adalah praktik peradilan adat nagari di Provinsi Sumatera Barat yang berorientasikan pada upaya mendamaikan pihak bersengketa dan memiliki proses berjenjang (bertingkat). Prosesnya dimulai dari tingkat kaum, suku, dan terakhir pada tingkat nagari. Tingkatan tersebut berbasis pada tingkat unit-unit sosial dalam suatu masyarakat adat, dalam konteks ini adalah nagari.
ADVERTISEMENT
Penanganan sengketa di tingkat kaum mengandalkan cara penyelesaian secara damai lewat musyawarah dan mufakat dengan menghadirkan pihak-pihak bersengketa dan pemangku adat kaum (ninik mamak kaum). Sengketa yang tidak selesai di tingkat kaum ini akan naik ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu suku dan nagari.
Musyawarah dan mufakat tetap menjadi cara utama di kedua tingkat ini. Bila perdamaian tidak terwujud maka pemangku adat di tingkat nagari dapat memutus perkara dengan menggunakan norma-norma hukum adat.
Praktik peradilan adat nagari di Sumatera Barat ini selaras dengan rumusan pasal 103 huruf d dan e UU Desa, yang memberikan ruang untuk fungsi: “penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat”, dalam artian kewenangan untuk memutus berdasarkan hukum adat, selain juga memberikan ruang untuk fungsi mendamaikan.
ADVERTISEMENT
3. Kelembagaan Peradilan Desa Adat
Desa adat adalah perpaduan sistem pemerintahan modern dengan tradisional yang memberikan ruang pada kelembagaan tradisional (adat). Dalam konteks ini maka kelembagaan pengadilan adat sejatinya adalah lembaga pengadilan yang hidup dalam praktik sehari-hari di masyarakat adat.
Pasal 103 huruf a menyebutkan“pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan oleh desa adat berdasarkan susunan asli”. Dalam penjelasannya, susunan asli sama dengan sistem organisasi kehidupan desa adat yang dikenal di wilayah-wilayah masing-masing. Kaitan huruf a, d dan e adalah merupakan penegasan bahwa kelembagaan peradilan desa adat adalah pengadilan adat yang dikenal oleh masyarakat adat bersangkutan, baik yang berfungsi memutus maupun mendamaikan sengketa.
Artinya, Pengadilan-pengadilan adat yang dikenal oleh masyarakat adat itulah yang kemudian diadopsi menjadi pengadilan desa adat dalam rumusan UU ini, bukan menciptakan kelembagaan yang baru.