Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Adat dan Islam di Minangkabau
17 Februari 2021 10:43 WIB
Tulisan dari Nurul Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Awalnya, para sarjana memahami secara lebih doktrinal untuk melihat relasi antara islam dengan adat [tradisi] di masyarakat Melayu-Indonesia, termasuk Minangkabau. Misalnya, Van den Berg dengan konsepnya: “reception in comflexu,” menjelaskan bahwa; "norma-norma adat merupakan penyaringan dari prinsip dan norma-norma syariah, sehingga norma-norma adat adalah resepsi dari norma-norma islam."
ADVERTISEMENT
Konsep ini ditentang oleh berbagai ahli pada masa-masa selanjutnya. Mereka menjelaskan bahwa perkembangan islam di dunia Melayu-Indonesia melahirkan dinamika baru islam, yaitu dinamika yang lahir dari konflik dan akomodasi antara nilai-nilai dan budaya islam dengan adat [budaya lokal], sehingga melahirkan berbagai varian Islam baru di dunia Melayu-Indonesia, yang juga disebut “Islam Lokal,” (Fathurrahman, 2008).
Islam lokal adalah hasil sumbangsih masyarakat setempat dalam memperkaya mozaik budaya islam dan bentuk kreatif dari suatu masyarakat untuk memahami dan menerjemahkan islam sesuai dengan budaya meraka, Fathurrahman (2008).
Islam Lokal
Pembentukan corak islam lokal tidak terlepas dari sejarah penyebaran islam di dunia Melayu-Indonesia yang banyak melibatkan tokoh-takoh sufi dibandingkan fiqh, Lukito (2008).
Faktor sufisme memperkuat penyebaran islam di wilayah ini, disebabkan kemampuan para sufi menyajikan islam dalam kemasan aktraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan islam atau kontuinitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal, Azra (2013).
ADVERTISEMENT
Akibatnya, pandangan dunia sufi menjadi sarana utama memperkenalkan konsep keyakinan islam kepada penduduk asli [masyarakat adat]. Dengan kecenderungan kuat mistisme dalam gagasan sufi mengenai agama, maka pendekatan yang longgar terhadap sistem keyakinan dan tradisi lokal (adat) tersebar, sehingga wajar aktualisasi keberagamaan masyarakat melayu indonesia, lebih merujuk pada tradisi Islam lokal tersebut, yang melahirkan keterjalinan ajaran lokal adat dengan islam sebagai ajaran universal atau dalam kata lain, membentuk domestikasi islam.
Jalinan adat dan islam di kalangan masyarakat minangkabau telah dimulai pula sejak orang minangkabau menerima islam sebagai agamanya, yakni sejak berdirinya kerajaan Pagaruyung pada abad ke-16 M, yang memunculkan sistem tiga raja, Raja Alam (raja dunia), Raja Adat (raja hukum adat), dan Raja Ibadat (raja agama islam), Ricklefs, (2008).
ADVERTISEMENT
Jalinan islam dengan adat ini berjalan bertahap, seiring dengan penyebaran islam di Minangkabau, yaitu dari wilayah pesisir (rantau) ke daerah pedalaman (darek), yang dalam kosakata Minangkabau disebutkan sebagai; “Syara’ Mandaki, Adat Manurun.”
Jalan Menuju Konsensus
Gerakan padri pada abad 19 M adalah fenomena sosial penting bagi masyarakat Minangkabau, terutama tentang bagaimana merespon konflik dan mengakomodasi sisi lainnya pada nilai islam. Gerakan ini sendiri terinspirasi dari penaklukan Mekah (awal 1803) oleh kaum pembaharu pemurniaan islam wahabi yang menggunakan metode kekerasan, Ricklefs (2008).
Konflik ini menggambarkan pergolakan sosial dan inteletual akibat cara pandang generasi pembaharu terhadap agama, dan “penghakiman” pada tradisi dan cara pandang kelompok mayoritas tradisional, Schrieke (1973).
Kritik utama kelompok Padri adalah pada praktek perjudian, sabung ayam, aspek-aspek adat yang berdasarkan garis ibu (matrileneal), penggunaan candu, minuman keras, tembakau, dan buah pinang, dan juga lemahnya ketaatan, umumnya terhadap kewajiban-kewajiban islam formal. Namun, mereka tidak sepenuhnya mengikuti pemurnian gerakan Wahhabi terkait tentang pemujaan terhadap orang-orang suci atau tempat-tempat keramat. Rickles (2008).
ADVERTISEMENT
Akhir dari konflik padri melahirkan akomodasi antara adat dengan islam di masyarakat Minangkabau. Pada konteks ini, padri meninggalkan bekas mendalam dan abadi kepada masyarakat Minangkabau di dalam perimbangan yang berubah-ubah antara adat dan islam, dengan tetap memperhatikan ortodoksi islam, Ricklefs, (2008).
Konsensus antara adat dan islam paska konflik padri dituangkan dalam perjanjian “Bukit Marapalam,” yang fenomenal itu dan termanifestasi dalam adigium ; “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”. Masyarakat minangkabau meyakini bahwa di dalam sistem sosial mereka, islam dan adat telah terjalin dengan baik.
Prinsip ini kemudian diturunkan dalam pepatah; “Syara’ mangato, Adat Mamakai” yang bermakna segala bentuk ajaran agama, khususnya yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis Nabi diterapkan melalui adat; atau pepatah lain; “syara’ batalanjang, adat basisampiang,” yang bermakna apa yang dikatakan agama adalah tegas dan terang, tetapi setelah diterapkan dalam adat, dibuatlah peraturan pelaksananya yang sebaik-baiknya. Atau pepatah lain; “adat yang kawi, syarak yang lazim,” yang bermakna; adat tidak akan tegak jika tidak diteguhkan oleh agama, sedangkan agama sendiri tidak akan berjalan jika tidak dilazimkan (diterapkan) melalui adat, Fathurrahman (2008).
ADVERTISEMENT
Wacana tentang adat dan islam umumnya mencakup konsistensi menjaga sistem kekeluargaan berdasarkan adat yang bersifat matrilineal, yang kontras dengan sistem kekerabatan islam yang bersifat patrilineal. Masyarakat Minangkabau memperlihatkan keteguhan menganut islam di sisi lain dengan tetap mempertahankan sistem kekerabatan adat. Taufik Abdullah menjelaskan hal tersebut sebagai “Tradisi Integrasi” dalam proses islamisasi di dunia melayu, khususnya masyarakat Minangkabau, Abdullah (1989).
Ketegangan relasi antara adat dengan islam tidak berarti memudar paska padri. Ketegangan terjadi terutama pada awal abad ke-20, yang lebih pada pertentangan intelektual, dengan melanjutkan pertentangan antara kelompok pembaharu (kaum muda) dengan kelompok tradisionalis (kaum tua), Fathurrahman (2008) dan Azra (2013).
Namun pada umumnya, kecenderungan tradisi keberagamaan dan pemikiran islam pada masa-masa selanjutnya adalah saling mendekatkan tradisi tasawuf dengan tradisi syariah (Fiqh) yang memperkuat kecenderungan “neo sufisme,” Fazlur Rahman (1997).
ADVERTISEMENT
Ulama-ulama pada generasi ini adalah ulama-ulama ahli syariat (Fuqaha) sekaligus ahli hakikat (sufi), mereka benar-benar menguasai ritual keagaaman dan menghayati realitas mistis atau ketuhanan; mereka percaya bahwa komitmen total pada syariah mampu mengontrol kecenderungan sufisme yang berlebih-lebihan, Azra (1994).
Secara umum, kecenderungan Neo sufisme berlanjut sampai saat ini, terutama pada wilayah-wilayah pedesaan. Neo sufisme memperkuat corak islam lokal yang menghargai tradisi atau adat yang berkontribusi pada tradisi keberagamaan islam masyarakat Minangkabau.