Konten dari Pengguna

Desa Inklusif dan Pembangunan Berkelanjutan

Nurul Firmansyah
Lawyer and Environment Enthusiast
8 September 2020 10:34 WIB
clock
Diperbarui 25 Januari 2021 15:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sumber foto: https://www.mdgmonitor.org/sdg16-promote-peace-justice-and-inclusive-societies/
zoom-in-whitePerbesar
sumber foto: https://www.mdgmonitor.org/sdg16-promote-peace-justice-and-inclusive-societies/
Desa merupakan institusi sosial, politik dan pemerintahan paling dekat dengan populasi masyarakat adat. Setiap kebijakan yang berkaitan dengan desa dan pedesaan akan mempengaruhi kualitas kesejahteraan masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Desa sebagai institusi formal yang paling dekat dengan masyarakat adat itu mempunyai peran strategis dalam pelaksanaan pembangunan, layanan dasar, sekaligus menciptakan kondisi demokrasi lokal, peningkatan partisipasi masyarakat adat dan inklusi sosial.
Satu kebijakan penting telah terbit tentang desa, yaitu UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (kemudian disebut UU Desa). Beleid ini menyebutkan bahwa desa adalah perpaduan (hibridasi) dari institusi sosial dan pemerintahan yang bersifat otonom (local self-governance). Semangat baru terminologi desa dalam UU Desa ini membuka peluang bagi proses inklusif, terutama bagi masyarakat adat.
Dalam konteks tersebut, artikel ini hendak melihat, pertama; bagaimana institusi desa dan masyarakat adat berelasi secara sosial dan politik, kedua; sejauh mana kemungkinan penerapan prinsip inklusif di dalam UU Desa bisa dilaksanakan, dan ketiga; apa kira-kira kontribusi desa inklusif dalam konteks masyarakat adat ini pada pencapaian pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals).
ADVERTISEMENT
Relasi Dinamik, Masyarakat Adat dan Desa
Setidaknya terdapat dua pola relasi masyarakat adat dengan institusi desa, yaitu; pertama, Pola relasi desa bernuansa adat dengan kecenderungan masyarakat homogen secara sosial dan tradisi. kedua, Pola relasi desa heterogen dengan kecenderungan posisi masyarakat adat yang minoritas.
Pada pola pertama, masyarakat adat mempunyai prasyarat untuk meningkatkan kapasitasnya dalam proses pengambilan keputusan di desa. Pola ini sangat memungkinkan terjadinya perubahan status desa menjadi desa adat. Perubahan status tersebut menjadikan masyarakat adat (dalam arti desa adat) sebagai subjek pemerintahan, sekaligus subjek pembangunan.
Pola relasional antara desa dengan masyarakat adat di atas bisa kita lihat pada konteks masyarakat adat Badui di Banten dan Nagari di Sumatera Barat. Dalam konteks ini, adat menjadi penyeimbang (check and balances) dari institusi formil desa dalam proses pemerintahan dan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, pada pola kedua, dimana masyarakat adat berada pada posisi minoritas, misal komunitas Suku Anak Dalam di desa-desa Jambi, maka relasi desa-masyarakat adat memerlukan adanya perangkat dan tindakan afirmatif untuk membuka ruang-ruang partisipasi masyarakat adat, terutama pada forum-forum pengambilan keputusan.
Pada konteks tersebut, penerapan prinsip demokrasi dan partisipasi menjadi sangat penting. Kewajiban menyertakan kelompok marjinal masyarakat adat dalam musyawarah desa menjadi mutlak diterapkan sebagai bagian dari membangun situasi inklusif.
Selaras dengan itu, proses formal ditingkat desa mesti juga diiringi dengan dialog antar komunitas dengan pendekatan sosial budaya untuk mendorong adanya penerimaan sosial, misal penyertaan masyarakat adat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kebudayaan di desa.
Norma-Norma Inklusif UU Desa
ADVERTISEMENT
UU Desa secara normatif membuka peluang proses inklusif di tingkat desa, baik itu untuk desa administrasi maupun desa adat. Baik dalam hal Penataan Desa, Penyelenggaran Pemerintahan Desa, Pembangunan Desa dan Pembuatan Peraturan Desa.
Pada setiap aspek-aspek tersebut di atas, UU Desa mewajibkan penyelenggara pemerintahan desa untuk bekerja dengan prinsip-prinsip demokratis, keadilan gender dan non diskriminatif, serta menyertakan kelompok marginal (termasuk masyarakat adat) dalam pengambilan keputusan (musyawarah) dan pengawasan (Zakaria dan Simarmata, 2015).
Dalam konteks ini, posisi masyarakat adat di dalam institusi desa tak hanya melulu soal pilihan tentang status desa, apakah memilih desa adat atau desa administratif, namun juga tentang peluang normatif untuk ruang yang demokratis dan partisipatif, termasuk aspirasi pelaksanaan prinsip adat dan tradisi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan dan pembuatan peraturan desa (kebijakan desa).
ADVERTISEMENT
Sisi lainnya, peluang untuk proses inklusif di desa tidaklah efektif tanpa dukungan Pemerintah Daerah. Sebagai unit pemerintahan paling dekat dengan desa dan adanya kewenangan otonomi daerah, maka peran pemerintah daerah menjadi sangat penting untuk memperkuat proses partisipasi dan afirmasi bagi kelompok masyarakat adat ini, baik melalui dukungan kebijakan, asistensi kelembagaan serta dukungan anggaran daerah.
Kontribusi Pembangunan Berkelanjutan
Penguatan desa inklusif, khususnya bagi masyarakat adat berkontribusi pada pencapaian tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs), yang merupakan komitmen global dan nasional. Desa inklusif dalam konteks masyarakat adat ini setidaknya berkontribusi pada pada tujuan 16 SDGs (Promosi Keadilan, Perdamaian dan Masyarakat Inklusi) dan 15 SDGs (Kehidupan atas Tanah).
Untuk tujuan 16 SDGs; konteks hambatan struktural terhadap masyarakat adat, khususnya yang minoritas diakui selama ini sebagai penyebab kemiskinan dan peminggiran masyarakat adat, baik itu dalam proses maupun hasil pembangunan.
ADVERTISEMENT
Penyebab kemiskinan masyarakat adat dinilai secara kualitas, yaitu akibat dari lemahnya akses terhadap hukum (keadilan), kekerasan sosial, dan deskiriminasi, yang tidak semata-mata dinilai secara kuantitatif berbasis pada pendapatan kepala keluarga.
Membangun desa inklusif bagi masyarakat adat akan membuka akses masyarakat adat terhadap sumber daya, baik itu sumber daya alam, anggaran pembangunan dan mendorong pengakuan hak masyarakat adat sebagai bagian dari pemenuhan keadilan.
Selanjutnya, untuk tujuan 15 SDGs; Tanah dan sumber daya alam adalah sumber kehidupan, sekaligus identitas budaya masyarakat adat. Tanah dan sumber daya alam menjadi penting bagi eksistensi ekonomi, budaya dan sosial mereka. Lemahnya pengakuan hak atas tanah dan sumber daya alam menjadi penyebab utama konflik yang mengancam eksistensi masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Konflik sumber daya alam selalu memposisikan masyarakat adat dalam posisi rentan. Kerentanan tersebut penyebab utamanya adalah minimnya pengakuan hak. Dengan kata lain, situasi tersebut menciptakan kondisi pengabaian hukum. Dalam konteks ini, maka tujuan kehidupan atas tanah mempunyai kaitan erat dengan tujuan Promosi Keadilan, Perdamaian dan Masyarakat Inklusi.
Pengakuan masyarakat adat yang dibuka peluangnya dalam UU desa melalui nomenklatur desa adat menjadi semacam ‘pintu pembuka’ untuk melindungi hak atas tanah dan sumber daya alam, termasuk didalamnya perlindungan identitas budayanya.
Pengakuan ini memperkuat kapasitas hukum masyarakat adat dalam mengakses keadilan dan penyelesaian konflik, khususnya konflik tanah. Artinya, pengakuan masyarakat adat via desa adat akan berkontribusi pada dua tujuan SDGs sekaligus, yaitu; tujuan 15; kehidupan atas tanah dan tujuan 16; Promosi Keadilan, Perdamaian dan Masyarakat Inklusi.
ADVERTISEMENT