Ketika Keadilan Adalah Dongeng

Nurul Firmansyah
Lawyer and Environment Enthusiast
Konten dari Pengguna
2 September 2022 19:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: jendelahukum.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: jendelahukum.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Keadilan itu Utopia!!,” teriakan itu hadir di otakku beriringan dengan hempasan angin malam.
ADVERTISEMENT
Pikiranku pun berkelana tentang makna keadilan. Sebuah kata dengan dua cabang, pertama, Ia itu abstrak! Keadilan itu imajinasi belaka. Pada wujudnya yang konkrit, keadilan sebatas tafsir. Tafsirlah yang memberi muatan material. Ketika menafsir keadilan, maka ia pun bergantung pada siapa yang menafsirkan.
Kedua, penafsir keadilan adalah sentral, bukan pinggiran. Ia dan seluruh atribut yang melekat padanya menentukan sahih atau tidaknya keadilan itu.
Sejatinya, imajinasi tentang Keadilan adalah bayang-bayang penafsir, bayang-bayang atributnya, bayang-bayang kuasanya. Ia tidak sama sekali netral, tidak pula suci. Naif, jika penafsir hanya sebatas corong dari keadilan. Namun sebaliknya, keadilanlah corong dari penafsir.
kenyataan ini selalu berada tepat di depan hidung kita. Tepat berada pada lalu lintas kehidupan kita. Ia mengatur kita, menentukan cara kita berhubungan, cara kita menjalankan hidup, bahkan menentukan kapan kita pantas untuk mengakhiri hidup. sejatinya ia alat pengendali saja.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah masih ada rasa Keadilan? Rasa yang seolah-olah terpisah dari kenyataan hidup yang dhaif, hidup yang saling menyikut, hidup yang dibatasi oleh kuasa penafsir. Mungkin saja rasa keadilan adalah penawar dari pahitnya ketidakadilan, sebuah imajinasi tentang kepedihan dan ketidakberdayaan. Sebuah dongeng untuk orang-orang yang terpinggirkan. Yang pasti, kita semua adalah kerak dari hirarki sosial, tiada lebih, tiada kurang...
Namun, kenapa suara melawan ketidakadilan itu selalu bergaung dan bergema? Seperti panggilan suci dari lubuk nan jauh. Apakah suara ini benar-benar suci ?
Tidak, ketidakadilan itulah realitas yang memenuhi setiap relung kehidupanmu sehari-hari. Ia adalah ekspresi pengekangan, pemenjaraan tubuh dan jiwamu. Sebelum kau bebas, maka rasa itu selalu bersamamu.
Maka bersuka citalah "utopia"
ADVERTISEMENT
Nyatanya, kita selalu dalam bayang keterasingan. Seperti ruang kosong tanpa batas. Kita semuanya berada dalam keputusasaan. Bahkan waktupun terasa tak lagi bergerak.
Masih adakah harapan??
Mungkin ada selama bumi masih berputar pada sumbunya.
*
Sejarah peradaban manusia telah menyajikan pelbagai kemungkinan itu. Ia muncul dalam denyut perubahaan sosial. Ada dalam bentuk revolusi, ada dalam bentuk evolusi. Semuanya mengalir bagai air, dari hulu ke hilir. Hulu adalah cita, semua asal, mungkin saja ia suci bagaikan mata air yang memuncratkan kearifan. Air yang bertugas melintasi rintangan, tanpa lelah, tanpa pamrih. Untuk satu tujuan ke samudera luas peradaban.
Meskipun ada yang menafikkan, membalikkan tubuh pada hukum alam ini, meludahi sosok gerak perubahaan. Tetap saja, air kearifan menunaikan tugasnya itu. Ia dengan halus dan cair telah melubagi batu, membelah tebing, membentuk daratan.
ADVERTISEMENT
*
Themis yang bijaksana mulai membuka selubung matanya. Dari puncak piramida yang angkuh. Ia mencoba menengok lagi kenyataan. Terlihat baginya kenyataan itu begitu miris, penuh luka, penuh duka, penuh amarah. Ia mulai pun mempertanyakan, kenapa pedang yang dipegang tangan kanannya itu begitu tajam ke bawah, namun tumpul ke atas ? apakah ini disebabkan karena ia selama ini menutup matanya? ataukah selubung itu begitu kuasa? Sehingga iapun tak berdaya menyibaknya?
Nyatanya, ia masih berdiri tegak di atas puncak piramida itu. Ia masih jauh dari tanah, apalagi kerak paling bawah di bawah tanah. Kerak yang rakyat jelata hidup dan melata. Mereka meronta dan mulai memikirkan imajinasi tentang Keadilan.
Mata nanar rakyat jelata membusung ke atas, melawan pedihnya sinar matahari. Mereka tak kuat. Sinar itu seperti pisau belati yang menusuk serat mata mereka yang merah. Pedih tiada tara.
ADVERTISEMENT
Themis sadar bahwa banyak mata dari tanah gersang dibawahnya itu yang menatapnya. Ia pun sadar, banyak mata tersebut penuh pengharapan. Dalam sel darahnya, ada semacam energi yang mengajaknya untuk ke bawah, ke tapak piramida yang gersang itu. Kakinya mulai beranjak melangkah...
Namun, kakinya telah terkunci, kakinya telah terpasung oleh rantai yang kuat, menancap tegas di pucuk piramida. Ia tak kuasa...
*
Hong menaruh harapan pada sebuah kotak. Pada kotak itulah, ia akan mampu menjawab semua teka teki, rahasia-rahasia dan misteri.
kotak itu begitu indah, siapapun yang melihatnya akan terpesona. Kotak yang dihadiahkan dari seorang sahabat. Si pemberi hadiah adalah manusia aneh. Ia berpesan untuk tidak membuka kotak itu. "Jika kau buka, maka segala rahasia akan terungkap, kau tak akan mampu menerimanya." Begitu si pemberi kotak berpesan..
ADVERTISEMENT
Kotak ini sebenarnya indah. Ia mampu berfungsi sebagai hiasan yang mempercantik rumah, kontras dengan segala sudut dan tekstur benda apapun. Kotak itu selalu indah dimanapun diletakkan.
Hong sangat tidak puas melihat kotak itu berfungsi hanya sebatas hiasan semata. Ia ingin sekali membuka isi kotak itu. Ia pun digiring rasa penasaran dari pesan aneh sahabatnya tentang isi kotak itu..
Dalam pikirannya, jika kotak itu begitu cantik, pastinya isinya juga, bahkan mungkin saja isinya bisa lebih indah. Hong pun tak sabar lagi untuk membukanya, rasa penasarannya telah mengingkari pesan sahabatnya.
Saat itupun tiba, kotaknya pun terbuka!!
Seketika segala isi kotak keluar dalam bentuk kesedihan, penistaan, penderitaan dan rasa sakit paling perih yang pernah ada. Isi kotak itu adalah kutukan!!
ADVERTISEMENT
Hong histeris, trans dan menghilang. Ia tidak bisa merasakan kakinya berpijak pada bumi. Ia lepas!! Misteri itu telah terbongkar, teka teki telah terpecahkan, namun jiwanya tak lagi sama.
Kotak itu bernama keadilan....