Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Mengenal Hak Ulayat
5 Oktober 2020 16:36 WIB
Diperbarui 22 Januari 2021 15:13 WIB
Tulisan dari Nurul Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Persoalan hak ulayat menjadi perhatian sejak lama. Perhatian khusus tentang hak ulayat lahir karena berdampak secara hukum maupun sosial, terutama bagi masyarakat pedesaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada sisi aspek hukum, hak ulayat terkait dengan akomodasi sistem penguasaan agraria masyarakat tradisional Indonesia ke dalam hukum formal. Dengan demikian, soal hak ulayat adalah tentang interaksi antara hukum informal (hukum adat) dengan hukum formal (baca hukum negara).
Dari sisi sejarah hukum, bisa kita lihat bahwa pemberlakuan unifikasi hukum di masa kolonial Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh hukum nasional mengakibatkan terjadinya pelemahan daya berlaku hak ulayat di dalam lalu lintas hukum agraria.
Artikel ini sendiri hendak mendeskripsikan konsep hak ulayat di dalam hukum agraria kita, yang kemudian merujuk pada literatur hukum. Sebelum masuk ke dalam pembahasan konsep hak ulayat, artikel ini terlebih dahulu menjelaskan masyarakat adat sebagai subjek hak untuk menjelaskan siapa sebenarnya pemangku hak ulayat yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Adat sebagai Subyek Hak
Istilah masyarakat hukum adat (disebut juga masyarakat adat) merupakan terjemahan dari istilah recthtsgemeenschap, yang pertama kali diperkenalkan oleh Van Vollenhoven.
Ter Haar sebagai murid van Vollenhoven menyebut masyarakat adat sebagai adatrechtsgemeenschap (persekutuan hukum adat), yaitu sebagai kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan sendiri yang teratur-kekal, dan memiliki pengurus serta kekayaan, baik materiil maupun immateriil.
Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat adat adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Istilah masyarakat adat dan persekutuan hukum adat itu memiliki maksud yang sama.
Di samping itu, Kusumadi Pudjosewojo mengartikan masyarakat adat sebagai masyarakat hukum yang menetap, terikat dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Masyarakat adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, secara alamiah tanpa ditetapkan oleh penguasa lebih tinggi, dengan rasa solidaritas di antara anggotanya, dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan.
ADVERTISEMENT
Kelompok-kelompok masyarakat adat inilah, yang oleh Ter Haar disebut sebagai lapisan paling bawah masyarakat Indonesia, yang terbagi-bagi dalam suku-suku bangsa.
Dalam konteks hubungan masyarakat adat dengan wilayahnya (ulayat), atau dalam konteks hukum yaitu hubungan masyarakat adat sebagai subyek dari pada hak ulayat, maka pemahaman tipelogi masyarakat adat menjadi penting.
Van Vollenhoven menggolongkan masyarakat adat ini berdasarkan karakter penguasaan atas wilayah atau ulayat masyarakat adat. Walaupun penggolongan tersebut kemungkinan tidak semuanya masih dapat dijadikan contoh saat ini, namun cukup dapat memberikan gambaran tentang masyarakat adat.
Penggolongan masyarakat adat oleh Van Vollenhoven dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu secara genealogis dan teritorial. Secara genealogis berarti masyarakat adat terikat dalam hubungan keluarga, suku atau famili. Sedangkan, secara teritorial berarti masyarakat adat terikat dalam suatu wilayah.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, Vollenhoven membagi empat tipe penggolongan persekutuan hukum masyarakat adat yakni; pertama, persekutuan hukum yang berupa genealogis seperti dalam masyarakat adat Mentawai (Uma) dan Dayak.
Kedua, golongan persekutuan hukum berupa kesatuan teritorial dengan di dalamnya terdapat kesatuan-kesatuan genealogis seperti Nagari di Sumatera Barat.
Ketiga, persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial tanpa kesatuan genealogis di dalamnya, melainkan dengan atau tidak dengan kesatuan teritorial yang lebih kecil, seperti marga dan dusun di Sumatera Selatan atau kuria dan huta di Tapanuli.
Dan keempat, persekutuan hukum yang berupa kesatuan teritorial dengan di dalamnya terdapat persekutuan/badan hukum yang sengaja didirikan oleh warganya, seperti desa dengan subak-subak di Bali.
Konsep Hak Ulayat
Setelah mengulas masyarakat adat sebagai subyek hak ulayat, maka pembahasan selanjutnya adalah tentang konsep hak ulayat itu sendiri. Secara yuridis, konsep hak ulayat pertama kali diperkenalkan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
ADVERTISEMENT
UUPA sendiri belum begitu tuntas menjelaskan konsep hak ulayat tersebut. Pasal 3 UUPA dan penjelasannya hanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat dan hak-hak serupa lainnya adalah hak ulayat yang menurut kenyataannya masih ada.
Konsep hak ulayat yang dipakai dalam UUPA adalah apa yang dalam literatur hukum disebut dengan beschikkingsrecht. Artinya, konsep hak ulayat dalam UUPA belum memberikan definisi yuridis yang detil, namun merujuk pada literatur hukum sebagai beschikkingsrecht.
Beschikkingsrecht sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Van vollenhoven menyebutkan bahwa Beschikkingrecht tidak dapat dipisahkan dari hak yang melekat pada suatu masyarakat adat, yang pada dasarnya terarah kepada tanah dalam teritorialnya.
Lebih lanjut, Boedi Harsono menyebutkan bahwa hak ulayat terdiri atas tiga sifat, yaitu; pertama, sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat adat. Kepunyaan Bersama ini merupakan bagian dari keyakinan atas karunia suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang dalam masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Kedua, sifat individual menunjuk pada hak anggota masyarakat adat untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat sementara sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang lazim disebut hak milik.
Ketiga, sifat teritorial dan genealogisnya yaitu kelompok tersebut bisa merupakan masyarakat adat yang territorial dalam artian wilayah, seperti Desa, Marga, Nagari, Huta dan lain-lain; serta bisa juga merupakan masyarakat adat genealogis atau keluarga, seperti suku dan kaum di Minangkabau.
Boedi Harsono sendiri membagi hak ulayat atas tiga aspek, yaitu: pertama, hak ulayat masyarakat adat yang beraspek perdata sekaligus publik.
Kedua, hak kepala adat dan para tetua adat yang bersumber dari hak ulayat yang bersifat publik, dan ketiga, hak-hak atas tanah individual (hak milik) yang baik langsung maupun tidak langsung berasal dari hak ulayat.
ADVERTISEMENT
Soal aspek publik dan perdata dari hak ulayat dijelaskan lebih lanjut oleh Muhammad Bakri sebagai berikut; pertama, aspek keperdataan berarti mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para anggota atau warga masyarakatnya,
Dan kedua, aspek publik berarti mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah bersama.
Aspek-aspek tersebut merupakan bentuk hierarki hak penguasaan atas tanah dalam masyarakat adat. Selain itu, anggota masyarakat adat juga dapat leluasa tanpa diharuskan meminta izin untuk mengambil atau memungut hasil hutan, hasil sungai atau rawa-rawa, berburu dan lain-lain, dengan ukuran hasilnya itu diperuntukkan bagi pemeliharaan kebutuhan sendiri dan keluarganya.
Berbeda halnya apabila hasil pemungutan tersebut diperdagangkan, maka ia diperlakukan sebagai orang asing dan diharuskan menyerahkan sepersepuluhnya kepada masyarakat adat melalui penguasa adat.
ADVERTISEMENT
Demikianlah, hak ulayat dapat disimpulkan sebagai hak yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat adat. Dalam arti, keberadaan hak ulayat bergantung kepada keberadaan masyarakat adat. Hak ulayat merupakan bentuk ikatan socio-magis sekaligus yuridis atas wilayah adat (ulayat), baik yang beraspek publik maupun perdata.