Mengenal Masyarakat Adat dan Konflik Agraria yang Menyertainya

Nurul Firmansyah
Lawyer and Environment Enthusiast
Konten dari Pengguna
31 Agustus 2020 10:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buruh tani. Foto: ANTARA FOTO/Yusran Uccang
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buruh tani. Foto: ANTARA FOTO/Yusran Uccang
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, konflik-konflik agraria seputar masyarakat adat muncul dalam pelbagai pemberitaan di media. Misal kasus hutan adat Laman Kinipan di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
ADVERTISEMENT
Setidaknya kasus tersebut menunjukkan dua hal; Pertama, masih adanya pemahaman yang minim tentang masyarakat adat dan hak-haknya vis a vis dengan pemahaman sempit hukum formal oleh para pihak. Kedua, masih adanya persoalan pelaksanaan hak dalam tataran konkret.
Artikel ini ingin melihat lebih jauh, apa sebenarnya masyarakat adat itu secara konsep dan bagaimana kedudukannya secara hukum.
Apa itu masyarakat adat?
Konsep masyarakat adat (juga disebut masyarakat hukum adat) telah berkembang sebagai subjek studi sejak masa Kolonial Belanda. Studi ini terkait dengan telaah atas komunitas-komunitas organis suku bangsa di Hindia Belanda pada masa itu. Dalam konteks ini, masyarakat adat disebutkan dalam terma adat rechtsgemeenschappen.
Ilmu antropologi dan sosiologi berkontribusi besar membangun konsep masyarakat adat di Indonesia. Dua bidang disiplin ilmu tersebut menjelaskan bahwa adat rechtsgemeenschappen berakar dari konsep gemeinschaft (komunitas), yang membedakannya dengan Gesellschaft (masyarakat) dalam artian society.
ADVERTISEMENT
Gemeinschaft sendiri adalah komunitas alamiah yang tumbuh dari hubungan organis antara manusia dengan lingkungannya, yang mempunyai ikatan sukarela antar manusia dan kelompok. Sedangkan Gesellschaft adalah kelompok masyarakat artifisial yang terikat dengan kesadaran dan persamaan tujuan.(Sasmita, 2016).
Ter Haar menyebutkan Gemeinschaft tidak serta merta otomatis menjadi persekutuan hukum (rechtsgemeenschappen), jika belum memenuhi kriteria sebagai entitas hukum. Persekutuan hukum sendiri disebutkan sebagai “golongan-golongan yang mempunyai tata-susunan yang tetap dan kekal, dan orang yang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam.”
Selanjutnya, Ter Haar menjelaskan bahwa; “tidak sekalipun dari mereka yang mempunyai pikiran akan memungkinkan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan harta benda, milik keduniaan dan alam gaib.” (Sasmita, 2016). Dalam hal ini, Persekutuan Hukum adalah konsep untuk membantu menjelaskan masyarakat hukum adat (adat rechtsgemeenscappen), yaitu persekutuan-persekutuan hukum yang berbasis pada adat.
ADVERTISEMENT
Seturut itu, J.F. Holleman menyebutkan bahwa persekutuan-persekutuan tersebut sebagai unit sosial terorganisir dari masyarakat pribumi yang mempunyai pengaturan khusus dan otonom atas kehidupan masyarakatnya, karena adanya dua faktor; Pertama, Representasi otoritas lokal (kepemimpinan adat) yang khusus. Kedua, kekayaan komunal, utamanya tanah, yang memungkinkan komunitas tersebut menjalankan pengaturannya, (Savitri dan Uliyah, 2014).
Ciri Pokok Masyarakat Adat
Kekayaan komunal dan otoritas khusus yang otonom adalah ciri pokok persekutuan masyarakat adat, yaitu semacam kedaulatan atas wilayah adat, atau disebut dengan beschikkingsrecht, yang juga dikenal dengan hak ulayat. Kedaulatan atas wilayah adat ini berlaku atas sumber kekayaan komunal yang hanya bisa dinikmati oleh anggota persekutuannya, (Sasmita ,2016; Warman, 2006).
Dengan kedaulatan yang dimiliki masyarakat adat tersebut menyebabkan mereka memungkinkan sebagai pengampu hukum adat. Cornelis Van Vallenhoven menyebutkan masyarakat adat memproduksi dan menjalankan hukum adat. Van Vallenhoven mengklasifikasi wilayah berlakunya hukum adat ke dalam sembilan belas wilayah (rechtskringen).
ADVERTISEMENT
Wilayah berlakunya hukum adat yang digambarkan Vallenhoven ini bukanlah wilayah persekutuan hukum masyarakat adat, namun wilayah kebudayaan, yang identik dengan wilayah sebaran etnis.
Oleh sebab itu, terma Rechtskrigen tidak memiliki unsur sebagai adat rechtsgemeenscappen, namun mirip dengan pemaknaan Kulturkreise, sehingga Rechtskringen tidak mempunyai suatu sistem pengaturan yang memiliki otoritas wilayah adat. misal komunitas masyarakat adat nagari yang mempunyai hak ulayat, bukan pada wilayah lingkaran hukum adat Minangkabau di Sumatera Barat (Zakaria, 2016).
Selain itu, Masyarakat adat secara khusus mempunyai susunan dan corak yang terbagi dari tiga kelompok; geneologis, teritorial dan campuran (geneologis-teritorial). Selain tiga corak diatas, Mahmakah Konstitusi dalam Putusan MK N0.35/PUU-X/2012 juga menyebutkan corak lain, yaitu golongan masyarakat adat yang bersifat fungsional, yaitu; golongan masyarakat adat yang tidak digolongkan dalam tiga golongan klasik di atas.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Adat bersifat fungsional belum mempunyai definisi baku dan detil, namun dianalogikan seperti sistem irigasi subak di Bali, yaitu komunitas yang terikat pada fungsi-fungsi khusus sekaligus tradisional. Fungsi-fungsi khusus ini menyangkut kepentingan bersama yang mempersatukan, dan tidak bergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah (Savitri dan Uliyah, 2014).
Demikianlah, masyarakat adat adalah konsep yang menjelaskan unit-unit sosial masyarakat adat sebagai persatuan hukum. Unit-unit sosial ini semacam elemen dasar struktur budaya, hukum, dan sosial masyarakat adat dalam konteks etnisitas, budaya dan hukum.
Subjek Hukum Penyandang Hak
Masyarakat adat telah dikonstruksikan sebagai subjek hukum. Konstitusi kita mengkonstruksikan masyarakat adat tersebut dalam Pasal 18 b ayat (2), 28 i dan 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Pasal 18 b ayat (2) menyebutkan; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
ADVERTISEMENT
Pengakuan keberadaan masyarakat adat tersebut mempunyai persyaratan pemberlakuan (conditionalities), yaitu; pertama, masyarakat adat bisa dibuktikan masih hidup (actual existing); kedua, keberadaan masyarakat adat berkesesuian dengan perkembangan masyarakat; dan ketiga, masyarakat adat berkesesuaian dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selanjutnya, Pasal 28 i dan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menjelaskan aspek hak masyarakat adat secara spesifik. Pasal 28 i menyebutkan bahwa ikatan masyarakat adat dengan tanah dan sumber daya alamnya adalah salah satu unsur pembentuk ‘identitas budaya’ masyarakat adat.
Ikatan masyarakat adat dengan tanah dan sumber daya alamnya itu dirumuskan lebih lanjut sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 6 (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyebutkan; “Identitas masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.”
ADVERTISEMENT
Sedangkan, Pasal 32 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menerangkan secara implisit tentang tanggung jawab Negara untuk menghormati nilai-nilai budaya masyarakat (adat) dan bahasa daerahnya sebagai bagian dari hak konstitusional.
Dalam konteks ini, konstitusi kita secara gamblang menempatkan hak masyarakat adat bersifat khusus, karena terkait dengan identitas dan kebutuhan khusus masyarakat adat sebagai suatu kelompok sosial organik berbasis tradisi.
Istilah yang digunakan konstitusi kita untuk mengidentifikasi hak masyarakat adat itu disebut dengan ‘hak tradisional’ atau ‘hak asal usul.’ Hak masyarakat adat ini sendiri bersifat “hak bawaan” yang melekat dan tak terpisahkan dengan identitas masyarakat adat.
Selanjutnya dalam peraturan lebih operasional, hukum kita telah menjabarkan masyarakat adat sebagai subjek hukum penyandang hak. Hal ini terlihat pada penyebutan secara eksplisit di dalam pelbagai peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan, khususnya Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan masyarakat adat sebagai subjek hukum (Arizona; 2103, Firmansyah; 2012, Savitri; 2014, Simarmata; 2015, Rachman; 2014, Zakaria;2016 ).
ADVERTISEMENT
Soal Teknis Hukum
Dari penjabaran diatas, bisa kita simpulkan bahwa komunitas masyarakat adat beserta hak-haknya hidup secara sosial dan diakui secara hukum. Persoalannya kemudian adalah bagaimana pengakuan hak itu bisa dijalankan secara konkrit ?
Salah satu persoalan pelaksanaan hak masyarakat adat adalah adanya fragmentasi pengakuan hak masyarakat adat. pengakuan hak masyarakat adat diatur dalam rezim-rezim hukum, ada di rezim hukum kehutanan, agraria, desa dan seterusnya. Masing-masing pengaturan pengakuan ini dilaksanakan secara sektoral yang saling bertumpang tindih, dan pada derajat tertentu saling meniadakan, sehingga menghambat pengakuan hak secara meyeluruh.
Dalam konteks ini, persoalan implementasi pengakuan hak masyarakat adat adalah persoalan teknis hukum, bukan persoalan filosofis, karena konstitusi kita telah menyebutkan secara tegas tentang perlindungan, penghormatan dan pengakuan hak. Sebenarnya, Untuk mengatasi persoalan ini, telah ada pelbagai inisiatif kebijakan untuk mengurai persoalan pelaksanaan hak masyarakat adat, misal TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan RUU masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
RUU masyarakat adat misalnya adalah instrumen hukum yang bertujuan untuk menjadi dasar (lex generali) dalam pelaksanaan pemenuhan hak pada masing-masing sektor yang terintegrasi. Saat ini, RUU ini sedang dibahas di Parlemen dan menjadi penting untuk kita dukung bersama.
Selain itu, pada tataran lebih praktis, perlu kiranya membangun inisiatif mekanisme penyelesaian konflik agraria terkait masyarakat adat, yang merujuk pada kenyataan sosial, bukan hanya pada kacamata sempit hukum formal saja, sehingga menghasilkan penyelesaian yang dapat diterima secara sosial. Dengan hal ini, maka diharapkan masing-masing sektor yang mengurus masyarakat adat dapat menyelesaikan persoalan konflik agraria secara adil dalam makna yang substansial.