Peradilan Desa Adat

Nurul Firmansyah
Lawyer and Environment Enthusiast
Konten dari Pengguna
23 Juli 2021 17:12 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber photo: rmol.id
zoom-in-whitePerbesar
Sumber photo: rmol.id
ADVERTISEMENT
UU Darurat 1/1951 dan UU 19/1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman menghapus pengadilan swapraja (Zelfbesturrrechtspraak), pengadilan adat (Inheemsche rechtspraak) dan pengadilan desa (Dorpjustitie).
ADVERTISEMENT
Sejak diberlakukan dua UU tersebut, maka hanya pengadilan Gubernemen (Gubernemen-rechtspraak) dan pengadilan agama (Godsdientige Rechtspraak) yang diwarisi dalam sistem peradilan Indonesia, Pengadilan Gubernemen menjadi pengadilan negeri dan pengadilan agama (Godsdientige Rechtspraak) mejadi pengadilan agama.
Pengaturan penghapusan pengadilan swapraja, pengadilan adat, dan pengadilan desa diperkuat lagi dengan UU 14/1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. Pasal 3 ayat (1) UU 14/1970 menyebutkan bahwa semua peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan melalui UU, Laudjeng (2003).
Penghapusan pengadilan adat dan pengadilan desa jelas menghilangkan saluran ekspresi pelaksanaan hukum adat oleh masyarakat adat. Situasi tersebut memaksa masyarakat adat mempertahankan kepentingan-kepentingan hukumnya ke Pengadilan Negara dengan tata cara dan bahkan penalaran hukum yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Pada lapangan sosial, hukum adat sendiri berkembang di dalam institusi tradisional. Peradilan adat pada derajat tertentu masih bertahan di praktik kehidupan masyarakat adat, yang dalam kerangka formal dimasukkan ke dalam mekanisme penyelesaian sengketa (PPS) di luar peradilan.
Dalam hal ini, peradilan adat dianggap sebagai sebuah mekanisme penyelesaian sengketa bersifat informal, yang tidak mempunyai kekuatan hukum layaknya peradilan formal. Akibatnya, Hukum adatpun melemah dan tertinggal dari perkembangan pembangunan hukum nasional.
Kondisi di atas diperparah lagi dengan pemberlakukan penyeragaman desa oleh rezim Orde Baru melalui pemberlakuan UU 5/79 tentang Pemerintahan Desa. Dengan pemberlakukan beleid ini, maka Desa adat dengan seperangkat institusi tradisionalnya, termasuk peradilan adat berada diluar arena pemerintahan dan termarjinalkan.
ADVERTISEMENT
Namun, mengeluarkan peradilan adat dari sistem hukum nasional ternyata tidak juga mampu menghapus secara keseluruhan praktik peradilan adat dan hukum adat dalam kehidupan sosial. Peradilan adat masih hidup dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat. Di Lombok misalnya, hukuman“makurung”, yaitu hukuman “dianggap mati” bagi seseorang yang melanggar hukum adat masih berlaku.
Selain itu, hukuman “dibuang sepanjang adat” pada nagari-nagari di Sumatera Barat dengan menghukum secara sosial bagi pelanggara adat masih efektif dilaksanakan. Dalam konteks ini, terjadi kesenjangan (gap) antara realitas hukum dengan realitas berhukum masyarakat. Akibatnya konflik hukumpun terjadi, masyarakat hukum adat dihadapkan secara vis-à-vis dengan (hukum) Negara terkait kepentingan hukum mereka.
Sengketa pertanahan adalah contoh paling baik untuk menyebutkan realitas jurang hukum di atas. Dalam pengertian formal hukum, sengketa-sengketa tanah (termasuk tanah adat) hanya bisa diselesaikan melalui Pengadilan Negeri dalam rumpun perkara perdata. Pada satu sisi, banyak putusan-putusan pengadilan negeri yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat adat. Banyak kasus memperlihatkan bahwa putusan-putusan pengadilan negeri tentang sengketa tanah adat acapkali ditolak secara sosial oleh masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
Adapun penyebab belum efektifnya peradilan negara dalam memenuhi keadilan masyarakat adat pada sengketa-sengketa tanah adat ini terkait pada dua hal, yakni Pertama, Pengadilan negeri dalam menangani sengketa tanah adat berdasarkan sistem hukum perdata barat, sehingga mengarusutamakan bukti formal hak atas tanah. Di sisi lain, basis hak tanah-tanah adat masih banyak dalam bukti-bukti oral yang hanya dapat ditemukan dalam pengetahuan hukum masyarakat hukum adat itu sendiri.
Kedua, Hakim-hakim Pengadilan Negeri tidak banyak memahami hukum adat yang beragam sehingga hakim-hakim tersebut memutus berdasarkan bukti tertulis. Dengan kata lain, penanganan perkara tanah adat berada pada rumah yang asing bagi masyarakat hukum adat, sehingga sengketa tanah-tanah adat bersifat menahun dan kronis. Akibatnya, disharmonis sosial terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
ADVERTISEMENT
Peradilan Desa Adat
UU Desa (UU No.6/2014) memberikan pengakuan terhadap keberadaan peradilan adat dan membuka ruang untuk pelaksanaannya. UU Desa ini sendiri lahir sebagai koreksi terhadap kebijakan tentang desa di masa rezim orde baru yang membunuh eksistensi hak masyarakat adat, termasuk peradilan adat. Hal ini terlihat dari diakuinya Nomenklatur Desa adat sebagai kategori desa yang mempunyai kewenangan berdasarkan hak asal usul, termasuk kewenangan menyelenggarakan peradilan desa adat.
Kewenangan desa adat untuk menyelenggarakan peradilan desa adat sendiri masuk dalam tujuh kewenangan desa adat berdasarkan hak asal usul yang dijabarkan dalam pasal 103. Pasal 103 yang berbunyi : Kewenangan desa adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf a meliputi: Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli; Pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah atau wilayah adat; Pelestarian nilai sosial budaya desa adat; Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; Penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai dengan ketentuan peraturan perudangan-undangan; Pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat, dan; Pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat.
ADVERTISEMENT
Pasal 103 di atas memberikan ruang eksistensi peradilan adat atau peradilan desa adat dalam pengertian UU ini, terutama jika kita melihat lagi rumusan pasal 103 huruf a, d, dan e dari UU Desa. Lebih lanjut, dalam konteks peradilan desa adat ini, maka dapat dijelaskan tentang; dasar kewenangan penyelenggaran peradilan desa adat dan fungsi pengadilan desa adat :
Dasar Penyelenggaraan Peradilan Desa Adat
Dengan melihat Pasal 103 huruf d & e; desa adat melekat kewenangan untuk; Pertama,menyelenggarakan penyelesaian sengketa adat; dan Kedua, sidang perdamaian peradilan desa adat. Pasal tersebut tidak menjelaskan dengan jelas, kapan penyelesaian sengketa adat dan perdamaian peradilan desa adat bisa dilakukan. Bila dilihat lagi dalam Pasal 103 huruf d yang menyebutkan Klausul :“penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat,” maka bisa ditafsirkan bahwa model-model penyelesaian sengketa adat yang ada di desa adat mendapatkan pengakuan dan hukum adat adalah sumber hukum dalam penyelesaian sengketa adat tersebut, sehingga segala hal yang terkait dengan penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat; baik itu terkait jenis-jenis sengketa adat, tata cara penyelesaian sengketa adat, dan kelembagaan penyelesaian sengketa adat.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, pasal 103 huruf d menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat “dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dan dengan mengutamakan musyawarah,” sehingga, pertama, tata cara penyelesaian sengketa adat mesti mengutamakan musyawarah dan kedua, jenis-jenis sengketa adat, tata cara penyelesaian sengketa adat dan hukum adat sebagai sumber penyelesaian sengketa adat tidak boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Pasal ini memberikan kerangka bahwa peradilan adat mesti berada pada prinsip universal Hak Asasi Manusia.
Fungsi Peradilan Desa Adat
Dalam praktik, penyelesaian sengketa adat dilaksanakan oleh pemangku adat. Di nagari-nagari Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat misalnya, penyelesaian sengketa adat dilaksanakan secara bertingkat, seperti dalam pepatah; bajanjang naik, batanggo turun. Penyelesaian sengketa tersebut dimulai secara berjenjang dari tingkat kaum, suku dan terakhir nagari.
ADVERTISEMENT
Dalam penanganan sengketa adat ditingkat kaum dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat, yang dihadari oleh pihak-pihak bersengketa dan pemangku adat kaum (ninik mamak kaum), sehingga cara penyelesaian sengketanya mencari perdamaian.
Apabila tidak ada kata mufakat terhadap sengketa di tingkat kaum, maka para pesengketa dapat mengajukan sengketanya pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu ke tingkat suku dan nagari. Baik ditingkat suku maupun di tingkat nagari; tata cara penyelesaian sengketa adat tetap mengutamakan cara mencari perdamaian kedua belah pihak melalui musyawarah untuk mufakat, namun apabila perdamaian tidak dapat dihasilkan, maka pemangku adat (panghulu) tingkat nagari dapat memutus perkara tersebut berdasarkan norma-norma hukum adat.
Dari praktik pengadilan nagari (desa adat) diatas terlihat bahwa; berdasarkan hukum adat, pengadilan desa adat bersifat mendamaikan dan juga memutus sengketa-sengketa adat. Bila dikaitkan dengan rumusan Pasal 103 huruf d, maka klausul yang menyebutkan“ penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat adalah” dapat dijelaskan sebagai: pertama, kewenangan untuk memutus sengketa adat berdasarkan hukum adat dan kedua, kewenangan mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat. Selanjutnya, kewenangan mendamaikan sengketa adat selaras dengan pasal 103 huruf e tentang pengaturan kewenangan desa adat dalam melaksanakan sidang perdamaian peradilan adat.
ADVERTISEMENT
Kelembagaan Peradilan Desa Adat
Desa adat adalah quasi – Negara yang menjalankan kewenangan pemerintahan desa, sekaligus menjalankan kewenangan berdasarkan hak asal usul. Desa adat adalah perpaduan sistem pemerintahan modern dengan tradisional, sehingga dalam konteks tersebut, kelembagaan desa adat dalam derajat tertentu dapat mengadopsi kelembagaan tradisional.
Terkait dengan kelembagaan pengadilan adat adalah bagian dari kelembagaan tradisional desa adat yang dalam definisi hukum disebut dengan “susunan asli. ”Maka kelembagaan pengadilan adat merupakan pengadilan yang hidup dalam praktek sehari-hari di desa adat (masyarakat hukum adat).
Posisi UU Desa adalah mengakui keberadaan kelembagaan pengadilan desa adat tersebut. Hal ini sesuai dengan pasal 103 huruf a yang menyebutkan bahwa ; pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan oleh desa adat berdasarkan susunan asli. Susunan asli sendiri dalam penjelasan pasal 103 huruf a adalah: sistem organisasi kehidupan desa adat yang dikenal di wilayah-wilayah masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dengan merujuk rumusan pasal 103 huruf a dan dikaitkan dengan pasal 103 d & e, maka kelembagaan pengadilan desa adat adalah pengadilan adat yang dikenal oleh masyarakat adat, baik itu yang berfungsi memutus, maupun yang berfungsi mendamaikan. Artinya, Pengadilan-pengadilan yang dikenal oleh masyarakat adat itulah yang kemudian diakui menjadi pengadilan desa adat dalam rumusan UU Desa.