Review Film: Kritis Menonton Film Bumi Manusia

Nurul Hasfi
Dosen Ilmu Komunikasi Undip
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2019 20:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Hasfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gala premier Film 'Bumi Manusia' di Jakarta, Senin (12/8). Foto: Alfadillah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gala premier Film 'Bumi Manusia' di Jakarta, Senin (12/8). Foto: Alfadillah/kumparan
ADVERTISEMENT
Film ini tentang nasionalisme, namun di sisi lain ditemukan beberapa elemen film yang secara implisit justru sedang menormalisasi dominasi Barat. Jika tidak cermat dan kritis saat menontonnya, alih-alih meningkatkan nasionalismemu, kamu justru akan terseret dalam simbol-simbol yang melanggengkan nilai-nilai Barat.
ADVERTISEMENT
Lepas dari itu, ada situasi yang tidak biasa saat menonton film Bumi Manusia karya Hanung Bramantyo yang diambil dari buku karya penulis legendaris, Pramoedya Ananta Toer. Tapi itu muncul bukan di akhir cerita yang menyedihkan, namun justru di awal cerita, saat penonton bioskop berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagaimana perintah yang muncul di layar.
Itu, yang berhasil 'membangunkanku', yang sebelumnya berpikir bahwa film ini sebatas film percintaan dalam bingkai nasionalisme yg dibintangi remaja milenial pemeran film Dilan yang sedang naik daun, Iqbaal Ramadhan. Saya yang awalnya ke bioskop sekadar ingin mencari hiburan karena kepenatan bekerja atau sekadar penasaran membuktikan review para pembaca buku Pramoedya, seketika bertekad ingin pasang mata dan telinga selama tiga jam ke depan.
ADVERTISEMENT
Di sini, saya tidak ingin membuat sinopsis karena sudah banyak yang melakukan, semua bisa menontonnya atau membaca buku karya Pramoedya. Tanpa mengurangi rasa hormat pada dua tokoh hebat Hanung dan Pramoedya, saya ingin menyampaikan beberapa pikiran kritis tentang film ini. Bukan ingin mengkritik namun lebih ingin agar para penonton kritis membaca teks-teks dan simbol-simbol yang ada dalam film ini dengan lebih hati-hati agar tujuan membangkitkan nasionalisme film ini tidak meleset.
Tapi sebelumnya kita bahas lebih dalam, artikel ini akan dibuka dengan sebuah rasa penasaran. Kenapa Bumi Manusia ini yang dijadikan film? Ada banyak karya Pramoedya yang lain. Mungkinkah karena jengah dengan masyarakat kita yang merdeka sejak 72 tahun yang lalu, namun hingga kini masih didominasi Eropa? Apa yang kita tidak suka dari Belanda? Budaya, bangunan, tempat wisata, pendidikan bahkan hingga jodoh menjadi kemewahan bagi pribumi hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Lucu, padahal kita sendiri sejak dari SD sudah belajar sejarah bahwa Belanda telah menjajah nenek moyang kita selama 350 tahun. Dalam sejarah, mereka membunuh serta memperbudak bangsa kita dan mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Tanpa bermaksud untuk menumbuhkan kebencian kepada Belanda, aku heran betapa sungguh hebatnya mereka, bahkan saat ini tak mendapatkan sedikitpun kebencian dan kemarahan dari masyarakat kita. Sebaliknya, hingga detik ini bangsa Eropa (Belanda) tetap menjadi pusat sanjungan dan kiblat masyarakat kita tentang peradaban. Saya pun mengakui memiliki perasaan inferior itu.
Ritual menyanyikan lagu Indonesia Raya di bagian awal film, memberi asumsi film ini dibuat untuk menggugah nasionalisme Indonesia terutama para generasi milenial. Aku simpulkan demikian karena pemeran utamanya Iqbaal Ramadhan, remaja yang sukses membintangi film Dilan 1990 dan Dilan 1991.
ADVERTISEMENT
Film Bumi Manusia sedang mengkritik dan menyadarkan kita bahwa saat ini kita masih di bawah dominasi Barat, dalam segala hal. Namun sadarkah penonton, jika tidak hati-hati menontonnya, film ini masih di bawah bayang-bayang nilai-nilai Barat?
Pertama, film pemberontakan terhadap ketidakadilan hukum Belanda, tapi sadar atau tidak sadar film ini masih menggunakan definisi, nilai, dan ukuran yang dianggap baik oleh orang Belanda sendiri? (mungkin ini terkait dengan tuntutan film untuk memenuhi selera pasar).
Itu bisa dilihat dari pemeran utamanya (pribumi) yang memiliki tipikal wajah Indo. Minke kecil memang kental wajah pribumi, tapi saat dewasa sutradara ‘tidak berani’ memasang pemeran berwajah pribumi. Iqbal Ramadhan berwajah coklat cenderung putih bersih, hidung mancung, dan bibir tipis sebagaimana ciri native.
ADVERTISEMENT
Ine Febriyanti yang memerankan Nyai Ontosoroh juga demikian. Ia yang memerankan gundik pribumi, memiliki garis-garis wajah Indo seperti berkulit putih, mancung, dan perawakan tinggi. Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh memang berkulit kuning langsat namun tidak ada deskripsi tentang hidung mancung. Sanikem atau Nyai Ontosoroh muda diperankan Amanda Khairunisa yang juga berparas Indo.
Jan Dapperste alias Panji Darman, teman sekelas Minke di H.B.S pribumi yang diangkat menjadi anak oleh orang Belanda. Diperankan oleh pemuda berhidung mancung berkulit putih, padahal dalam film ini dia pribumi lho.
Lalu siapa pemeran yang berwajah pribumi dalam film ini? Mereka adalah yang berperan sebagai pembantu Annelis, pekerja di tanah pertanian Nyai Ontosoroh, pendemo, warga yang bergunjing, pekerja di percetakan dan yang mencolok adalah kakak Minke yang kontras dengan wajah Minke. Kakak Minke berparas bulat, bibir tebal, dan berperawakan pendek, itulah pribumi. Ibu Minke berwajah pribumi, namun pikirannya sangat terbuka seperti orang Barat (berbeda sekali dengan ayah Minke yg otoriter).
ADVERTISEMENT
Hanung sukses memilih para pemeran pembantu pribumi namun gagal memilih pemeran utama pribumi. Jika demikian, bukannya film ini secara implisit sedang meminggirkan 'Jawa'? Apa yang anda rasakan saat itu? Jika hal ini adalah kewajaran maka nilai-nilai Barat telah sukses ternormalisasi di benak anda.
Kedua, setting di era pra-kemerdekaan menyebabkan penonton membutuhkan energi lebih untuk menerjemahkan teks-teks Pramoedya yang diejawantahkan dalam film. Terpaksa film menyuguhkan adegan-adegan yang masih mencerminkan kuatnya dominasi Belanda dalam kehidupan sosial Minke. Hasilnya adalah sikap pribumi yang setengah-setengah dalam melawan hegemoni Belanda.
Ini yang dikhawatirkan melanggengkan dominasi Barat dalam film ini. Namun ketika penonton kritis dan tahu memposisikan diri saat ini sebagai generasi muda maka hal ini bisa diatasi.
ADVERTISEMENT
Misalnya, percakapan di kereta saat Minke dengan tegas menolak permintaan Annelis kembali meneruskan pendidikan ke sekolah Belanda H.B.S dengan alasan Belanda telah sewenang-wenang terhadapnya, Annelis, dan Nyai Ontosoroh. Aku pikir adegan itu awal bagaimana film ini memperlihatkan perjuangan Minke melawan Belanda.
Namun ternyata saya salah karena Minke (dengan mudah tanpa banyak pertimbangan) dan berakhir dengan kecewa karena sekolah menolaknya kembali. Kembalinya Minke dijawab dengan penolakan pihak sekolah, meski beberapa saat kemudian ia bisa bersekolah lagi karena tuntutan alumni yang melihat Minke siswa cerdas.
Minke yang dianggap cerdas membuktikan dia lulus ranking 1 dan terbaik nomor dua di Surabaya. Dan ini dianggap sebagai pencapaian luar biasa. Sekali lagi ini membuktikan tentang keberhasilan Minke diukur dari nilai-nilai pendidikan Belanda. Nilai ini hingga saat ini masih erat di masyarakat kita yang selalu menggunakan nilai-nilai Barat untuk menentukan kesuksesan dan kebahagiaan masyarakat kita.
Pemain Film "Bumi Manusia" saat berkunjung ke kantor kumparan, Selasa (16/7). Foto: Faisal Rahman/kumparan
Ketiga, detail adegan lain yang mendukung argumen tentang perlawanan setengah-setengah terhadap Belanda yaitu saat Nyai berbicara berapi-api membenci Belanda, dan menolak hukum Belanda dengan keras, namun pada saat bersamaan kamera mengarahkan pada makanan yang sedang dimakan yakni kentang dan daging yang merupakan makanan pokok orang Belanda. Dalam beberapa adegan lain mereka juga menyuguhkan susu dan roti.
ADVERTISEMENT
Keempat, film Hanung ini tidak menggambarkan intelektual Minke sehingga menyederhanakan definisi kehebatan Minke hanya dari sudut pandang orang Belanda yang menganggapnya hebat dan ranking 1 di H.B.S. Saya melihat hanya ada satu kecerdikan yang ditunjukan dengan jelas yakni saat ia menerjemahkan pidato ayahnya di hadapan Belanda yang semula menyanjung Belanda kemudian merubah isinya menjadi mengangkat harkat pribumi.
Saya menganggap ini adalah upaya perlawanan dominasi oleh pribumi yang sempurna, namun sayang adegan ini seolah berhenti begitu tanpa ada relasi jelas dengan adegan lain. Sementara itu, kecerdikan tulisan Minke tidak secara gamblang didefinisikan, hingga pada akhirnya nilai kebaikan hanya ditentukan dengan sanjungan orang Belanda saja.
Terakhir, tulisan ini saya tutup dengan pertanyaan yang hingga saat ini masih bergelayut di benak saya, bahkan setelah saya mencoba membaca naskah Bumi Manusia. Mengapa Annelis seolah tidak sedih sebagaimana Nyai Ontosoroh dan Minke saat mereka berpamitan di akhir film? Kenapa tidak menengok saat Minke memanggil? Apa cinta Annelis sudah hilang pada ibunda dan Minke karena mereka pribumi? Apakah dia sudah menyadari bahwa dia memang memiliki kasta yang lebih tinggi dibanding Minke dan ibunya sehingga rela berpisah dan pulang ke Belanda?
ADVERTISEMENT
Jika demikian, film ini sedang mengatakan bahwa pribumi hingga saat ini kalah melawan Belanda. Pramoedya telah berhasil menghasilkan teori tentang kekalahan pribumi oleh Belanda dan ramalan itu masih berlaku hingga saat ini. Yang kita bisa hanyalah berusaha untuk melawan dominasi, seperti kata Nyai Ontosoroh “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Penulis: Nurul Hasfi, peneliti teks media.