Piye Kabare? Penak Zaman Saiki Tho...

Nurul Hidayati
editor di kumparan ^menulislah, karena setiap orang punya cerita untuk dibagikan^ 😍 *komentar di story adl pendapat pribadi
Konten dari Pengguna
23 Mei 2017 12:18 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Hidayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bulan-bulan awal tahun 1998 saat Jakarta sedang ramai-ramainya, saya sedang di kampung, 700 km dari Jakarta. Sesekali saya ke Solo, untuk mengurus persiapan wisuda saya.
ADVERTISEMENT
Hingga suatu ketika saya melihat demo-demo di depan kampus, ada teman seangkatan, adik kelas dan kakak tingkat. Kala itu saya memang tidak terlalu memperhatikan demo-demo di kampus saya karena saya lebih suka segera memegang ijazah dan melamar pekerjaan.
(Beberapa teman peserta demo itu kini menjadi pejabat, atau orang berpengaruh di media sosial).
Selama saya sekolah di Solo, sering saya mendengar jargon politik yang menyebutkan bahwa Solo memiliki “energi mistis” yang menjadi barometer politik nasional. Jika Solo membara, maka itu pertanda bangsa ini terjadi goro-goro.
Entah benar tidak jargon tersebut atau memang situasi politik sudah sedemikian panas, demo di Solo itu kemudian disusul atau berbarengan dengan hura-hara di Jakarta. Pak Harto — yang selalu saya lihat di acara Dari Desa ke Desa TVRI — kemudian lengser. Saya menyaksikan dia mundur di TVRI, tapi saya lupa perasaan saya kala itu.
ADVERTISEMENT
Saya kemudian lulus disertai pesimisme, mengingat situasi bangsa ketika itu. Saat itu yang ada di benak saya, apa pun pekerjaan yang ada, akan saya sabet.
Saya kemudian merantau ke Jakarta, karena bagi saya pekerjaan itu memang terpusat di Jakarta. Saya tidak melihat ada peluang di kota-kota yang lebih kecil, apalagi di kampung halaman saya.
Lengsernya Pak Harto membawa berkah pada saya. Saat itu semua orang berani berteriak. Setiap orang berani bicara, sekasar apa pun itu. Berani memaki, seburuk apa pun itu.
Dan itu membuat media-media non-SIUP bermunculan. Tabloid dan koran berebutan judul saling heboh.
Dan yang utama, internet juga mulai dikenal. Media (massa) di internet (yang gratis) mulai menorehkan sejarah.
ADVERTISEMENT
Dan saya kemudian — akibat euforia yang menjadi tren dan atas jasa seorang kakak kelas serta bos yang baik hati — mendapat pekerjaan di sebuah kantor yang kemudian dikenal sebagai media online pertama di Tanah Air.
Saya selalu berpikir bahwa saya bisa menganggur lebih lama jika Orba masih berkuasa. Saya merasa, saya sedikit mudah mendapat pekerjaan karena pergantian rezim membuat semua orang bebas berkreasi, bersuara, dan berinovasi, termasuk membuka celah bisnis baru di internet.
Tak dapat disangkal, Pak Harto telah menciptakan prestasi-prestasi. Tapi saya lebih memilih salam “Piye kabare? Penak zaman saiki tho" (Apa kabar? Enak zaman sekarang kan).