Beban Bertubi-tubi Perempuan Maritim: Melawan Diskriminasi dan Kekerasan Seksual

Nurul Intsan
Nurul Intan merupakan mahasiswi semester ke-6 di Prodi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
19 Desember 2023 14:22 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Intsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi diskriminasi dan kekerasan seksual yang dialami perempuan di kapal (FOTO: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi diskriminasi dan kekerasan seksual yang dialami perempuan di kapal (FOTO: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kehidupan perempuan yang memilih berkarir pada bidang maritim (woman in maritime) diwarnai oleh berbagai ancaman. Selain risiko bahaya dari pekerjaan, perempuan pun harus melawan perlakuan diskriminatif dan kekerasan seksual yang berpotensi besar dialami olehnya sebagai pelaut.
ADVERTISEMENT
Lingkungan kapal adalah lingkungan yang masih kental dengan budaya patriarki. Hal tersebut telah membangun suatu persepsi bahwa ada perbedaan status sosial antara laki-laki dan perempuan sehingga mendorong perlakuan yang berbeda. Misalnya, dalam hal pekerjaan perempuan lebih banyak diarahkan pada urusan domestik, seperti pelayan restoran, pelayan bar, petugas kebersihan, dan yang cukup strategis adalah juru masak. Sedangkan, sulit bagi perempuan untuk mengisi posisi-posisi penting seperti kapten, asisten kapten, navigator, engineer, dan posisi-posisi yang dianggap maskulin lainnya.
Oleh karena itu, publik saat ini seringkali menilai bahwa profesi sebagai pelaut adalah profesi eksklusif untuk laki-laki. Pekerjaan pelaut dianggap pekerjaan maskulin karena seragam kerja yang digunakan dinilai memiliki prestise tersendiri bagi laki-laki. Selain itu, pekerjaan sebagai pelaut pun dinilai cocok untuk laki-laki karena menjanjikan pendapatan yang besar.
ADVERTISEMENT

Beban Bertubi-tubi Perempuan di Sektor Maritim

Data jumlah pekerja perempuan di sektor maritim (FOTO: safety4sea.com)
Berdasarkan data dari International Maritime Organization (IMO) jumlah pelaut perempuan hanya 2% dari angkatan kerja maritim di dunia. Bahkan, hanya 0,12 persen perempuan yang ditempatkan di bidang operasional, yaitu sebagai engineer dan deck officers.
Rendahnya jumlah pekerja perempuan di kapal menjadikan perempuan sebagai kelompok minoritas yang rentan mendapatkan perlakuan diskriminatif. Selain itu, perempuan pun rentan menjadi korban kekerasan seksual, khususnya pelecehan dan pemerkosaan.
Kondisi ini semakin menyulitkan bagi perempuan karena posisi pekerjaan yang didapatkan hanyalah berada pada sektor domestik sehingga tidak memiliki power untuk melakukan perlawanan.
Diskriminasi terhadap perempuan ditandai oleh terbatasnya akses terhadap fasilitas pelatihan atau pengembangan sektor kelautan. Selain itu, diskriminasi juga dapat terjadi pada pembatasan jenjang karir perempuan di sektor maritim.
ADVERTISEMENT
Laporan dari ITF Seafarers menunjukkan bahwa di beberapa negara, lembaga pendidikan dan pelatihan maritim membatasi perempuan untuk mengikuti kursus kelautan. ITF pun menemukan bahwa beberapa pelaut perempuan mengalami diskriminasi upah karena upah yang diterima untuk posisi yang sama lebih rendah dari laki-laki.
Selanjutnya, sebagai kelompok minoritas, perempuan menjadi lebih rentan mengalami kekerasan seksual. Mereka sering dijadikan sebagai objek pemuas hasrat crew-crew yang ada di kapal.
Kekerasan seksual ini terjadi karena sulitnya akses pertolongan perempuan di kapal yang sedang berlayar, semakin memperbesar peluang terjadinya kekerasan seksual. Ditambah, lemahnya payung hukum yang melindungi perempuan pada bidang pelayaran menjadikan kekerasan seksual banyak dialami oleh pelaut perempuan.
Fakta tersebut didukung oleh hasil kajian dari Institute of Development Studies (IDS) menyatakan bahwa hampir sebagian besar pelaut perempuan pernah mengalami kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT

Kapten Jasmine, Satu Dari Sekian Banyak Peristiwa Kekerasan Seksual di Kapal

Pada liputan Vice yang berjudul, "The Hidden Sexual Harassment of Female Seafarers" yang published pada 1 Oktober 2020, Kapten Jasmine dari Association of Marine Officers and Seafarers’ Union of the Philippines (AMOSUP) menceritakan pengalamannya sebagai pelaut dalam rangka peringatan Hari Perempuan Internasional 2019.
Ketika berusia 17 tahun, Kapten Jasmine masuk taruna pelayaran. Sesuai saran dari ayahnya, Kapten Jasmine harus berteman baik dengan semua crew kapal. Terutama, juru masak di dapur agar tidak kekurangan makanan. Namun, juru masak yang dipercayainya justru melakukan kekerasan seksual kepada dirinya. Saat ia sedang tidur, juru masak mencoba memasukkan jari tangannya pada selangkangan. Kapten Jasmine hanya bisa terdiam karena tidak tahu harus melakukan apa.
Selama hidup di kapal, Kapten Jasmine pun sering menyaksikan dan mendapatkan perlakuan cat calling dari para pekerja lain. Bahkan, beberapa pekerja secara terang-terangan mengajak untuk berhubungan seks.
ADVERTISEMENT
Dalam kegiatan tersebut, Kapten Jasmine pun bercerita bahwa teknisi perempuan di kapal pernah secara terpaksa menyaksikan rekan kerjanya masturbasi. Ketika dilaporkan, kapten justru menormalisasi hal tersebut karena menurutnya itu wajar bagi laki-laki.

ILO dan IMO Harus Mengambil Langkah Strategis

Logo IMO dan ILO sebagai organisasi yang berhubungan dengan pekerja maritim (FOTO: independent.ng)
Cerita dari Kapten Jasmine hanya satu dari sekian banyak cerita diskriminasi dan kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan di kapal. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka perempuan akan terus berada pada kelompok marginal. Selain itu, eksistensi perempuan hanya sebagai peran pengganti (second options).
Sebagai organisasi yang berkaitan erat dengan pekerja sektor maritim, International Maritime Organization (IMO) dan International Labour Organization (ILO) harus memberikan kebijakan afirmatif (affirmative action) untuk mendorong partisipasi dan keamanan perempuan pada industri maritim. Melalui kebijakan afirmatif ini, perempuan diharapkan mendapatkan akses yang sama atas asuransi pekerjaan, pelatihan, jenjang karir, maupun fasilitas-fasilitas yang ramah perempuan di kapal. Seperti, toilet khusus perempuan, ruang khusus perempuan, ruang laktasi, fasilitas kesehatan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
ILO dan IMO pun harus mendorong negara-negara agar selalu berpedoman pada Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dalam membuat regulasi agar terciptanya lingkungan yang aman bagi perempuan.