Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Caleg Artis, Bukti Gagalnya Rekrutmen dan Kaderisasi Partai Politik
28 Desember 2023 12:19 WIB
Tulisan dari Nurul Intsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kualitas kader partai dipengaruhi oleh rekrutmen dan kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik. Rekrutmen berkaitan erat dengan pola seleksi, jenjang karir dalam partai, dan pendidikan bagi para anggota. Sedangkan, kaderisasi lebih ditekankan pada pelembagaan atau institusionalisasi ideologi dan prinsip-prinsip dalam partai.
ADVERTISEMENT
Melalui rekrutmen dan kaderisasi partai politik ini, maka akan lahir kader-kader berkualitas yang mampu memahami dinamika politik yang terjadi. Permasalahannya, partai politik saat ini kurang mendalami proses-proses tersebut sehingga adanya ketidaksiapan partai politik dalam menghadapi kontestasi Pemilu.
Kondisi tersebut menyebabkan munculnya “kader instan” yang dipilih karena popularitas, sumber daya, maupun karena hubungan patronase. Menurut Lili Romli yang merupakan peneliti senior BRIN, lemahnya kaderisasi partai politik memunculkan istilah kader partai “loncat pagar” karena banyaknya fenomena perpindahan kader dari satu partai ke partai lain.
PDI-P: Partai yang Memiliki Program Kaderisasi 'Matang'
Aturan dasar yang mengatur tentang partai politik adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Dalam Pasal 29 disebutkan bahwa partai politik melakukan rekrutmen untuk memenuhi kebutuhan anggota, bakal calon legislatif, bakal calon kepada daerah, dan calon presiden maupun wakil presiden.
ADVERTISEMENT
Proses rekrutmen ini dapat disesuaikan oleh masing-masing preferensi partai politik yang dituangkan dalam AD dan ART masing-masing, tetapi disyaratkan bahwa perlu ada keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Misalnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dalam AD dan ART partai tahun 2019 Pasal 87 disebutkan bahwa kaderisasi partai dilaksanakan secara berjenjang (tingkat pertama, madya, dan utama) melalui pengawasan DPP Partai. Dalam kaderisasi ini, PDI-P secara jelas menyebutkan bahwa materi pokok yang diajarkan adalah ideologi partai dari ajaran Bung Karno.
Program sekolah kader dan pendidikan politik PDI-P memang diakui keberhasilannya, salah satunya oleh Direktur Eksekutif Voxpol Center Pangi Syarwi Chaniago. Menurutnya, keberhasilan rekrutmen dan kaderisasi PDI-P dibuktikan oleh output kader-kader yang memiliki kinerja baik dan militan. Diantaranya, Hasto Kristiyanto, Panda Nababan, Andreas Pareira, Sidarto Danusubroto, Yasonna Laoly, dan juga Joko Widodo (Jokowi) yang saat ini menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Melalui sekolah kader ini, PDIP ingin nilai-nilai Bung Karno dan guidelines kepartaian dapat terinstitusionalisasi dengan baik pada kader-kader PDI-P. PDI-P adalah partai yang tidak terlalu mementingkan figur, tetapi partai yang mengusung kader-kader terbaiknya untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Dalam hal ini, pola rekrutmen PDI-P memang lebih condong pada meritokrasi, yakni berdasarkan kapabilitas kader, bukan karena kepentingan tertentu maupun kesepakatan yang bersifat transaksional.
PAN: Mementingkan Figur, Melewatkan Kaderisasi Partai
Sudah bukan rahasia umum bahwa Partai Amanat Nasional (PAN) adalah partai yang memiliki kader-kader artis dan influencer dengan jumlah yang cukup banyak. Pada konteks ini, PAN justru lebih mengutamakan figur dan sumber daya yang dimiliki demi mendapatkan keuntungan elektoral.
Dalam Pemilu 2024, PAN mengusung 17 kader dengan latar belakang aktor/aktris, musisi, selebgram, influencer, dan lain sebagainya yang berasal dari dunia entertainment. Fenomena ini merupakan bentuk gagalnya kaderisasi partai sehingga ketika mendekati Pemilu tidak ada kader yang benar-benar capable untuk dicalonkan. Oleh karena itu, PAN justru mengambil publik figur untuk dijadikan kader dan calon legislatif (Caleg).
ADVERTISEMENT
Setidaknya, melalui pencalonan public figure ini PAN akan mendapatkan keuntungan kapabilitas karena tokoh-tokoh yang dicalonkan bukanlah tokoh yang asing di masyarakat. Namun, celakanya kader-kader yang tidak memiliki background politik maupun pengalaman karir dalam partai, justru berpotensi gagal memahami dinamika politik yang ada.
Kondisi tersebut, berpotensi mengakibatkan deadlock dalam pemerintahannya. Selain itu, membentuk dinamika politik yang minim gagasan. Hal ini dapat dilihat dari jargon-jargon dan gimik politik yang digunakan oleh PAN menuju Pemilu 2024 mendatang.
Perdebatan Hak Politik
Hak politik (political rights) seseorang tentu tidak dapat dibatasi, terlepas dia adalah artis, musisi, selebgram, dan lain sebagainya yang tidak memiliki background politik. Hal ini karena hak politik merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) sesuai yang terlampir dalam Pasal 43 Ayat (1 dan 2) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum. Namun, permasalahannya kader-kader yang tidak memiliki background politik ini tidak melalui tahapan fit and proper test.
ADVERTISEMENT
Kader-kader ini, tidak mendapatkan kaderisasi yang masif sehingga cenderung menjadi ‘kader instan’ atau ‘kader karbitan’. Tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya public figure ke politik secara instan pun sering mendapatkan dugaan transaksional dari publik. Terutama, dalam penetapan nomor urut dan Daerah Pemilihan (Dapil) pada pencalonan legislatif.
PR Serius Partai Politik Indonesia
Kegagalan rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tentu harus menjadi prioritas pembahasan dan pembenahan. Hal ini karena rekrutmen dan kaderisasi, lekat kaitannya dengan re-generasi kepemimpinan, baik pada tingkat internal Parpol maupun pada tingkat daerah, provinsi, dan nasional dalam pergantian pejabat-pejabat publik.
Dalam jangka panjang, kegagalan Parpol untuk melakukan kaderisasi tentu akan berdampak pada arah pembangunan sosial-politik Indonesia ke depan. Sudah seharusnya mereka yang menjadi nahkoda Indonesia adalah orang yang memiliki pengalaman mumpuni dibuktikan dengan track records kerja yang konkrit, serta jenjang karir yang jelas.
ADVERTISEMENT
Partai politik sebagai gatekeeper dan kendaraan untuk mengisi jabatan publik perlu mempertegas mekanisme rekrutmen dan kaderisasi anggota agar terciptanya kader-kader berkualitas.