Konten dari Pengguna

Jalan Buntu dalam Pemenuhan Hak Eksil 1965

Nurul Intsan
Nurul Intan merupakan mahasiswi semester ke-6 di Prodi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia.
31 Agustus 2023 16:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Intsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menkopolhukam Mahfud MD dan Tim Reformasi Hukum rampungkan rekomendasi untuk dilaporkan ke Presiden Jokowi, Selasa (22/8). Dok Annisa T Foto: Annisa Thahira Madina/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Menkopolhukam Mahfud MD dan Tim Reformasi Hukum rampungkan rekomendasi untuk dilaporkan ke Presiden Jokowi, Selasa (22/8). Dok Annisa T Foto: Annisa Thahira Madina/kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak era Presiden keempat Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur, upaya pemulihan hak-hak eksil politik 1965 telah dibahas. Namun, selalu gagal mencapai konsensus karena banyaknya perdebatan dan serangan dari berbagai pihak. Hal ini karena pembicaraan terkait eksil, PKI, dan topik-topik yang bernarasi komunis masih sangat tabu di Indonesia. Bahkan, pembahasan topik-topik tersebut pun dinilai sensitif di ranah publik.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1999, ketika Gus Dur menjabat sebagai presiden Indonesia ke-4, ia menyatakan permintaan maaf di depan stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) atas peristiwa masa lalu yang telah menimpa korban eksil 1965. Tidak sampai disitu, ketika perayaan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 1999, Gus Dur pun mengundang para eksil untuk pulang ke Indonesia.
Rencananya, Gus Dur ingin melakukan dialog untuk mengetahui keinginan para eksil agar pemerintah dapat mengambil langkah yang tepat. Hasilnya, Gus Dur mengambil langkah berani dengan menghapus TAP MPRS Nomor XXV/1966 yang dinilai menjadi akar masalah dalam pemenuhan hak-hak eksil politik 1965.
Sayangnya, langkah Gus Dur tersebut mendapatkan penolakan hebat dari berbagai pihak. Bahkan, langkah ini pun dinilai sebagai salah satu penyebab lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan Republik Indonesia (RI).
ADVERTISEMENT
Saat ini, pemerintah kembali membahas upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi hak-hak eksil 1965. Program utama yang ditawarkan oleh pemerintah era Presiden Joko Widodo adalah penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial dan fasilitas kemudahan imigrasi untuk para eksil 1965. Namun, apakah langkah ini sudah cukup?

Pertemuan Mahfud MD dan Yasonna Laoly di Belanda

Menko Polhukam Mahfud MD didampingi Menkumham Yasonna H Laoly memberikan visa multiple entry ke eks Mahid (Mahasiswa Ikatan Dinas) di Ceko, Senin (28/8). Foto: Dok. Istimewa
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly mengadakan pertemuan bersama eks Mahasiswa Ikatan Dinas (MAHID) di Gedung De Schakel, Amsterdam, Belanda. Pertemuan tersebut berlangsung pada Minggu, 27 Agustus 2023 yang dihadiri eks MAHID Belanda, Moskow, Beijing, dan Bulgaria berjumlah sekitar 50 orang secara offline. Sedangkan, beberapa diantaranya mengikuti pertemuan secara online.
ADVERTISEMENT
Pertemuan ini membahas perihal kebijakan keimigrasian, kewarganegaraan, dan repatriasi dari pemerintah Indonesia untuk para eksil yang kesulitan "pulang" ke Indonesia. Dalam pertemuan ini, Mahfud MD menyampaikan bahwa pemerintah telah mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 yang membahas tentang penyelesaian Non-Yudisial atas peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. Selain itu, Yasonna Laoly pun menyatakan bahwa Kemenkumham telah menerbitkan Kepmen Hukum dan Hak Asasi Manusia No M.HH-05.GR.01.01 Tahun 2023 yang memberikan fasilitas berupa kemudahan layanan imigrasi bagi para eksil.
Mahfud MD dan Yasonna Laoly menjelaskan bahwa melalui dua kebijakan tersebut, maka eks MAHID dan eksil politik 1965 mendapatkan layanan pengurusan visa, izin tinggal, dan visa keluar masuk Indonesia berkali-kali (multiple entry) secara gratis. Namun, sebelum mendapatkan fasilitas tersebut, korban 1965 harus mengantongi surat rekomendasi dari Menko Polhukam.
ADVERTISEMENT
Surat rekomendasi yang dimaksud berisi pernyataan bahwa pihak yang bersangkutan merupakan korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Dokumen lainnya yang diperlukan sebagai pelengkap perjalanan adalah Paspor Kebangsaan dan dokumen perjalanan. Apabila dokumen-dokumen tersebut sudah terpenuhi, maka kemudahan fasilitas imigrasi dapat diperoleh oleh korban 1965. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan tarif nol rupiah atas layanan keimigrasian.
Menurut Yasonna Laoly, kemudahan fasilitas keimigrasian inilah yang baru bisa dilakukan sekarang. Melalui fasilitas ini, diharapkan dapat menyembuhkan luka lama para eksil sehingga mereka bersedia kembali dan memberikan kontribusinya untuk Indonesia. Selain itu, Yasonna menyatakan bahwa langkah ini diambil karena banyaknya eksil yang rindu terhadap tanah air dan ingin menghabiskan sisa hidupnya di Indonesia.
ADVERTISEMENT

Langkah Pemenuhan Hak Eksil Masih Menghasilkan Jalan Buntu

Fasilitas layanan imigrasi yang ditawarkan pemerintah, tidak sepenuhnya diterima oleh para eksil korban 1965. Beberapa eksil menilai, langkah yang diambil oleh pemerintah ini adalah "jalan pintas" karena sebagai langkah yang paling mudah dilakukan. Korban 1965 sebenarnya menuntut pemulihan hak-hak kewarganegaraan lebih dari sebatas layanan keimigrasian. Mereka menilai bahwa langkah pertama yang seharusnya diambil oleh pemerintah adalah permintaan maaf kepada korban 1965. Setelah itu, barulah membahas hal-hal yang bersifat teknis.
Salah satu korban 1965 yang mengkritisi kebijakan layanan keimigrasian ini adalah Sungkono eks MAHID yang menetap di Amsterdam. Sungkono menilai bahwa pemerintah berhutang permintaan maaf dan pengungkapan kebenaran atas peristiwa masa lalu.
ADVERTISEMENT
Eksil lainnya yang hadir dalam pertemuan di Amsterdam bersama Menko Polhukam dan Menkumham pun meminta agar pemerintah mencabut TAP MPRS XXV/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. Keberadaan aturan tersebut menyebabkan stigma komunis terus melekat dalam diri mereka. Selain itu, melalui TAP MPRS tersebut menyebabkan kehadiran mereka tetap ditolak di Indonesia meskipun sudah ada kebijakan kemudahan fasilitas imigrasi. Hal ini pernah dialami oleh beberapa eksil yang pulang pada era pemerintahan Joko Widodo, tetapi tetap diinterogasi dan dicurigai membawa ajaran komunis.
Lebih jauh, para eksil meminta pemerintah untuk menuliskan ulang sejarah demi meluruskan peristiwa masa lalu. Langkah ini dinilai penting untuk membersihkan nama-nama mereka yang dicap sebagai bagian dari gerakan G30S/PKI. Di satu sisi, tentu proses penulisan ulang ini pun perlu melibatkan para eksil sebagai saksi sejarah dan key informant.
ADVERTISEMENT

Catatan untuk Pemerintah

Menko Polhukam Mahfud MD, Menkumham Yasonna H Laoly, Dubes RI untuk Ceko Kenssy Dwi Ekaningsih di KBRI Praha, Senin (28/8). Foto: Dok. Istimewa
Pemerintah telah mengambil langkah yang baik untuk melanjutkan proses pemenuhan hak-hak korban 1965 yang masih tertahan di negara lain. Akan tetapi, langkah yang diambil oleh pemerintah ini belum cukup karena belum mampu menebus kesalahan masa lalu. Layanan imigrasi yang ditawarkan pemerintah tentu tidak sebanding dengan perjuangan eksil-eksil politik untuk mencari suaka ke negara-negara lain. Terutama, negara-negara di Eropa. Hal ini pun tidak sesuai dengan kerugian material dan nonmaterial yang dialami. Oleh karena itu, perlu ada langkah yang lebih serius dalam pemenuhan hak-hak eksil 1965.
Langkah tersebut, perlu diambil berdasarkan permintaan dari para eksil korban 1965. Diantaranya berupa permintaan maaf, penghapusan TAP MPRS XXV/1966, penulisan ulang sejarah, dan ganti kerugian yang sifatnya lebih teknis. Sayangnya, sampai saat ini pemerintah masih belum menyatakan kesiapan memenuhi permintaan tersebut. Bahkan, Mahfud MD menilai bahwa pemerintah reformasi tidak perlu meminta maaf karena permintaan maaf adalah tugas dari pemerintah Orde Baru. Pernyataan tersebut, justru menggambarkan ketidakseriusan pemerintah dalam memenuhi hak-hak korban 1965 yang telah dilanggar.
ADVERTISEMENT
Apabila pemerintah memang tidak sanggup memenuhi tuntutan para korban, maka perlu diberikan opsi-opsi kebijakan lainnya yang dapat menjamin keamanan mereka ketika kembali ke Indonesia. Salah satunya berupa sosialisasi kemudahan layanan imigrasi untuk para eksil kepada masyarakat luas bahwa mereka yang dapat kembali ke Indonesia bukanlah komunis, tetapi korban dari gejolak politik masa lalu.
Langkah ini sebagai upaya untuk menghapus stigma yang merugikan kehidupan korban 1965 karena adanya sentimen negatif dari publik. Bahkan, mereka cenderung mendiskriminasi korban 1965 beserta keturunannya dalam banyak sektor. Salah satunya, yaitu sektor pekerjaan.
Dengan demikian, penghapusan stigma oleh pemerintah adalah langkah yang perlu dilakukan dalam waktu dekat ini untuk mendukung program kemudahan fasilitas imigrasi untuk para korban 1965.
ADVERTISEMENT