news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Cerita Tukul, Penganut Paguyuban Sumarah di Pasar Minggu

Nurul Nur Azizah
Womenfolk.
Konten dari Pengguna
10 November 2017 6:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Nur Azizah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tukul, penganut kepercayaan Paguyuban Sumarah (Foto: Nurul/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tukul, penganut kepercayaan Paguyuban Sumarah (Foto: Nurul/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tahun 1997 silam, menjadi masa yang tak bisa dilupakan bagi sosok penganut kepercayaan bernama Tukul (56). Untuk pertama kali, Ia merasa 'baru menyaksikan' sebuah kesadaran batin dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
"Pasrah, penyerahan diri," terang Tukul ketika mengartikan maksud Paguyuban Sumarah, Kamis (10/11).
Meski awalnya menolak, lelaki yang lahir pada 1961 tersebut berkenan membagi sedikit kisahnya sebagai penghayat Paguyuban Sumarah kepada kumparan (kumparan.com), di kediaman yang jadi lokasi Paguyuban Sumarah di Jatipadang, Pasar Minggu, Jaksel, Kamis (8/11).
Baginya, pasrah ialah sebentuk penyerahan diri sekaligus perasaan cinta yang mendalam kepada Pencipta. "Gandrung, asmara, kepada Sang Pencipta", katanya.
Tukul muda tidak serta merta bisa menemukan substansi penghayat kepercayaan di dalam jati dirinya. Namun, semua itu adalah proses dari setiap pembersihan jiwa. Meski enggan menyebutkan secara spesifik bagaimana pembersihan jiwa itu, Ia menerangkan bahwa ajaran yang dipegang oleh Sumarah adalah juga gotong royong dan tepo seliro (saling merasakan).
ADVERTISEMENT
Rentan Diskriminasi
Menjadi minoritas memang tidak mudah, salah satunya rentan diskriminasi. Tukul mengaku, tidak jarang mendapat "cibiran" atau penolakan sosial atas kepercayaannya itu. Terlebih ada ketentuan di UU Administrasi Kependudukan untuk mengosongkan kepercayaan di kolom agama selain 6 agama resmi.
Pernah suatu ketika, ia bertandang ke rumah RT tempat tinggalnya, Tangerang Selatan, untuk mencoba berdiskusi tentang penghayat kepercayaan dengan tanpa menunjukkan bahwa ia ialah salah satunya.
"Ini enggak benar nih!!!", ucapnya menirukan reaksi RT kala itu.
Masalah lain, juga acapkali menghampiri Tukul bersama penghayat kepercayaan lain, terkait dengan pemakaman jika ada anggota yang meninggal dan urusan ke penghulu.
"Ada yang akhirnya penghayat dimakamkan di pekarangan rumah, karena tidak diterima (di pemakamam umum - red)", kata lelaki asal Gunung Kidul, Yogyakarta, itu.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk penghulu, sudah mulai terbuka dan penghayat sudah bisa menikah dengan antar bahkan di luar kepercayaan.
Pendidikan anak-anak penghayat, penerimaan sebagai PNS & TNI-Polri dan layanan kependudukan lain juga menjadi masalah yang mengintai, sebagaimana penganut kepercayaan lain di Indonesia yang diperlakukan diskriminatif karena kepercayaan yang berbeda.
Syukuri Keputusan MK
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Pada 7 November 2017 kemarin menjadi angin segar bagi para penganut kepercayaan, termasuk Paguyuban Sumarah. MK telah memutuskan bahwa para penganut/penghayat kepercayaan, seperti Tukul, bisa menulis kepercayaannya di kolom agama.
Artinya, para penghayat tidak perlu lagi "numpang" agama lain untuk bisa diakui identitas kependudukannya, atau mengosongkan kolom agama. "Tidak sesuai hati nurani (numpang agama resmi)," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
MK menegaskan terkait kata "agama" dalam pasal 61 ayat 10 & pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2006 yang intinya kolom agama hanya bisa diisi 6 agama resmi dan mengosongkan kolom itu bagi penanut kepercayaan, bertentangan dengan UUD negara RI 1945. Landasannya adalah keadilan sosial.
Menanggapi hal itu, Tukul tidak berani mengeluarkan statement lebih lanjut. "No comment, ini kesyukuran", ucapnya sembari mengarahkan untuk menghubungi MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia) soal putusan MK itu.
Dalam wawancara itu, Tukul meminta untuk tidak mengabadikan lokasi Paguyuban Samarah, kecuali foto dirinya. Bahkan dia melakukan dengan mengecek bahwa tak ada foto tersimpan di kamera kumparan.
Komentar Ketua RT
Ubaydillah (38), Ketua RT (Foto: Nurul/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ubaydillah (38), Ketua RT (Foto: Nurul/kumparan)
kumparan (kumparan.com) sempat menelusuri keterangan warga setempat terkait Paguyuban Sumarah di Jatipadang, Pasang Minggu. Sampailah di kediaman Ketua RT setempat bernanma Ubaydillah (38).
ADVERTISEMENT
"Dari saya kecil (di sini - red), enggak tahu, tahunya PT (Perseroan Terbatas)", kata Ubaydillah (38), yang ditemui saat sedang bertamu di rumah salah satu warga.
Karena juga merasa penasaran, kemudian Ubay mengantar kumparan kepada RT periode sebelumnya, Usman Abdul Hamid (60) yang mungkin sudah lebih tahu keberadaan penganut kepercayaan tersebut.
"Enggak pernah tahu. Lapornya ya perusahaan gitu," ucapnya senada.
Berbicara soal langkah ke depan, Ubay, sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam rukun tetangga menyampaikan agar masyarakat bisa bijaksana menyikapi Paguyuban Sumarah.
"Kita tidak boleh mengucilkan mereka yang punya keyakinan berbeda. Jangan sampai ada huru hara serta bentrokan yang notabene belum jelas, tanggungjawab saya mencari tahu," pesan Ubay.