Kisah Di Balik Layar Para Pegiat Perfilman

Nurul Nur Azizah
Womenfolk.
Konten dari Pengguna
15 November 2017 1:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Nur Azizah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ialah Handoko hendroyono, Fajar Nugros dan Sulung Landung. Ketiga pegiat perfilman yang mempunyai dedikasi tinggi dalam kontribusinya memajukan film tanah air melalui karya dan caranya masing-masing. Berikut, kisah yang mereka ceritakan ketika sesi pematerian di Kumparan on Boarding di Kuningan City Mall, Selasa (14/11).
ADVERTISEMENT
Handoko, Produser Filosofi Kopi dan Surat dari Praha, membuka sesi dengan bercerita terkait caranya menyusun cerita dengan baik. Ia mencontohkan pengalamannya ketika menggarap film Filofosi Kopi yang lahir dari kegelisahannya.
Seorang Handoko juga dikenal sebagai produser yang mempunyai visi ke depan. Salah satunya, mempertimbangkan bagaimana “kekuatan” film mampu mendorong promosi kebudayaan. Seperti halnya yang telah dilakukan negara Korea atau Jepang.
“Berangkat dari kegelisahan, kenapa di Indonesia kalah dengan luar negeri, film-film Korea atau Jepang. Bagaimana create story yang dapat menjadi cultural marketing”, pungkas Handoko.
Lebih lanjut, Handoko juga tidak ingin hanya menyelesaikan film tanpa hasil. Tapi ia berkeinginan untuk membangun sebuah “ekosistem” dalam ruh film itu sendiri.
ADVERTISEMENT
“Bikin ekosistem yang berangkat dari film”, ucap Produser yang pernah berkolaborasi dengan Chicko Jerikho, Angga Dwi Sasongko dan Glen Fredly itu.
Pada film filosofi kopi misalnya, Handoko mencoba membangun ekosistem dan mengembangkan unsur film seperti kedai, musik, danmerchandise. Ia juga memberi perhatian bagi kopi dan petani kopi Indonesia yang terabaikan. Nantinya, masyarakat dapat lebih mencintai kopi dalam negeri dan meningkatkan produktivitas petani kopi Indonesia.
Sementara itu, Fajar, Film Maker, mengaku bahwa hal utama yang ia lakukan untuk bisa membangun cerita secara apik adalah ide ceritanya. Semakin seorang pandai melakukan observasi (observer), maka itu adalah modal yang baik untuk menyusun sebuah cerita.
“Poin yang dipegang ide ceritanya. Observer menjadi modal pencerita”, kata lelaki yang hobi menulis itu.
ADVERTISEMENT
Fajar menceritakan awal mula ketika ia terjun di dunia perfilman. Fajar muda adalah seorang yang mempunyai latar belakang penulis cerpen. Beberapa kali menjuarai kompetisi menulis hingga membuat tulisan sendiri yang dipajang di fakultas-fakultas kampus pernah ia lakoni.
Hingga akhirnya, Ia mendapatkan “kuliah umum” terkait videografer yang selanjutnya mengubah media berkaryanya, yaitu dari tulisan ke video.
“Ternyata ada media lain yang bisa menuangkan ide (film)”, kenangnya.
Ia sempat nekat pergi ke Jakarta untuk menemui Hanung Bramantyo, Sutradara, untuk mengguru dan belajar tentang perfilman.
“Dari enam bulan masakin Indomie sampai tujuh tahun kemudian saya jadi sutradara”, ungkap alumnus Universitas Islam Indonesia yang pernah menjadi Asisten Hanung itu.
ADVERTISEMENT
Baginya, pemunculan karakter dalam setiap cerita juga memegang andil besar bagi kesuksesan film. “Sutradara suka cerita, yang paling menarik adalah karakter”, ucap Fajar.
Sedikit berbeda dengan dua sosok sebelumnya, Sulung merupakan seorang Talent Manager aktor atau aktris yang main dalam film. Salah satu aktris yang pernah ia damping adalah Julia Estel.
Menurutnya salah besar jika selama ini publik figur hanya berkecimpung dengan hal-hal berbau glamor. Ini memberi bocoran tentang bagaimana seorang aktor atau aktris di belakang layar ketika latihan untuk sebuah film.
Contohnya saja, Julia, Ia mengungkapkan bahwa untuk adegan 4 scene adegan action untuk sebuah film dapat memakan waktu selama kurang lebih 6 bulan latihan dan 3 bulan proses ambil gambar. Belum lagi perjuangan ketika latihan hingga badan Julia sampai memar-memar.
ADVERTISEMENT
“20% glamour, sisanya kerja keras, komitmen, konsisten dan passionyang kuat”, seloroh Sulung.
Dilema Industri Film Indonesia  
Handoko bicara blak-blakanmenyoal persoalan di industri perfilman Indonesia. Menurutnya, perfilman di Indonesia belum membentuk sebuah industri yang mapan dan matang.
“Industri belum terbentuk, semuanya serba belum siap”, tuturnya.
Selain itu, Ia juga menyoroti perihal sulitnya distribusi film Indonesia. “Distribusi kita memang sangat buruk”, kata Handoko lagi.
Hal tersebut dibenarkan oleh Fajar. Menurutnya, sulitnya distribusi film Indonesia juga disebabkan oleh minimnya ruang dan waktu untuk mengakses film Indonesia. Misalnya, film Indonesia yang tersaingi oleh film-film Hollywod sehingga semakin menggeser permintaan akan film-film tanah air.
Di samping itu, masalah lain adalah berkaitan dengan minimnya anggaran promo bagi film Indonesia. “Pas buat film budgetnya habis, buat promo sisanya, biasanya juga udah habis”, ungkap Fajar sambil terkekeh.
ADVERTISEMENT