Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Efek Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental: Apakah Kita Semakin Kesepian?
13 November 2024 20:43 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Nurul Qolbi Sofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital, media sosial seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan TikTok telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Platform-platform ini menawarkan konektivitas yang hampir instan, memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan teman, keluarga, bahkan orang asing dari seluruh dunia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Psikologi Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2021, melakukan perbandingan sosial secara teratur di media sosial dapat menyebabkan kecemasan, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Lebih dari 72% remaja Indonesia mengalami kecemasan setelah melihat postingan temannya yang tampak lebih "sukses" atau "bahagia". Ini menunjukkan bahwa media sosial sering membuat orang tidak bahagia dengan kehidupan mereka alih-alih memberikan inspirasi. Di satu sisi, media sosial memungkinkan kita terhubung dengan orang lain secara lebih cepat dan mudah. Namun, di sisi lain, muncul pertanyaan penting: Apakah media sosial benar-benar membuat kita lebih terhubung, atau justru semakin terasing dan kesepian?
ADVERTISEMENT
1. Ilusi Koneksi Sosial: Apakah Kita Benar-Benar Terhubung?
Media sosial memberikan kesan bahwa kita selalu “dekat” dengan orang lain. Kita dapat melihat kehidupan teman atau keluarga dalam waktu nyata melalui unggahan, cerita, atau foto-foto yang dibagikan. Namun, penelitian menunjukkan bahwa meskipun media sosial menciptakan kesan keintiman, hal ini sering kali hanya berupa interaksi permukaan yang kurang bermakna. Media sosial memungkinkan kita untuk “like” atau meninggalkan komentar singkat tanpa perlu benar-benar melibatkan emosi atau waktu. Akibatnya, hubungan yang terbentuk sering kali dangkal dan tidak menggantikan hubungan nyata yang melibatkan kontak fisik atau tatap muka. Studi di bidang psikologi sosial menunjukkan bahwa interaksi tatap muka sangat penting untuk membentuk koneksi emosional yang mendalam. Tanpa kontak fisik atau kehadiran nyata, banyak dari kita merasa bahwa hubungan tersebut hanya “di permukaan” dan tidak menawarkan kenyamanan atau dukungan yang sama.
ADVERTISEMENT
2. Perbandingan Diri dengan Orang Lain dan Pengaruhnya Terhadap Harga Diri
Salah satu efek negatif yang paling umum dari media sosial adalah kecenderungan kita untuk membandingkan diri dengan orang lain. Setiap hari, kita dihadapkan pada unggahan yang memperlihatkan kehidupan “sempurna” orang lain: foto-foto liburan eksotis, prestasi karier, penampilan fisik ideal, dan banyak lagi. Perbandingan ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga pada remaja yang sedang membentuk harga diri dan identitasnya. Psikolog menyebutkan bahwa perbandingan sosial ini dapat mengurangi harga diri, meningkatkan kecemasan, dan bahkan menyebabkan depresi. Fenomena ini terjadi karena kita cenderung membandingkan diri dengan orang-orang yang terlihat “lebih baik” atau “lebih sukses” daripada kita. Tanpa disadari, media sosial menciptakan standar kehidupan yang tidak realistis dan memicu perasaan bahwa kita “kurang.” Penelitian oleh The American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa mereka yang sering membandingkan diri di media sosial lebih rentan mengalami depresi dan gangguan kecemasan.
ADVERTISEMENT
3. Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) dan Tekanan Sosial yang Mengikutinya
Dikutip dari Kompasiana; Studi yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2022 menemukan bahwa isolasi sosial akibat penggunaan media sosial berkaitan dengan masalah kesehatan mental seperti depresi ringan hingga sedang di kalangan pengguna media sosial, khususnya remaja. Hal ini mirip dengan fenomena “Fear of Missing Out” (FOMO), di mana pengguna khawatir akan kehilangan informasi atau aktivitas dari rekan-rekan mereka.
FOMO, atau “Fear of Missing Out,” adalah perasaan takut tertinggal dari pengalaman atau aktivitas menyenangkan yang dimiliki orang lain. FOMO ini sangat umum di media sosial, di mana kita terus-menerus melihat unggahan yang menunjukkan teman atau orang lain menikmati waktu mereka—seperti menghadiri acara spesial, berlibur ke tempat eksotis, atau menjalani momen bahagia dengan pasangan. Menurut psikolog, FOMO dapat meningkatkan rasa kecemasan dan bahkan depresi karena kita merasa tidak mampu “mengikuti” kehidupan orang lain. Bahkan ketika kita tahu bahwa unggahan tersebut tidak selalu mencerminkan kenyataan, tetap ada tekanan sosial untuk “menyesuaikan diri.” Hal ini membuat kita cenderung melakukan apa saja untuk tetap “terlihat menarik” di mata sosial, yang justru sering kali membuat kita merasa terasing atau bahkan kesepian karena hanya fokus pada pencitraan diri di media sosial.
ADVERTISEMENT
4. Hubungan Langsung antara Durasi Penggunaan Media Sosial dan Kesehatan Mental
Penelitian semakin banyak menunjukkan bahwa durasi waktu yang dihabiskan di media sosial berkaitan erat dengan kesehatan mental seseorang. Semakin lama seseorang menghabiskan waktu di media sosial, semakin tinggi kemungkinan mereka mengalami kecemasan atau depresi. Sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Social and Clinical Psychology menemukan bahwa mereka yang membatasi penggunaan media sosial selama tiga minggu mengalami penurunan tingkat kecemasan dan depresi secara signifikan. Sebaliknya, mereka yang terus-menerus terpapar media sosial merasa lebih tertekan dan kurang puas dengan kehidupan mereka sendiri. Psikolog menyarankan untuk membatasi penggunaan media sosial hanya selama 30 menit sehari untuk mengurangi dampak negatifnya terhadap kesehatan mental. Dengan demikian, seseorang akan memiliki lebih banyak waktu untuk berinteraksi di dunia nyata, yang dapat membantu meningkatkan perasaan bahagia dan kepuasan hidup.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Halodoc; Tiga platform media sosial paling populer di kalangan remaja adalah YouTube (digunakan oleh 85 persen remaja, menurut survei 2018 Pew Research Center), Instagram (72 persen) dan SnapChat (69 persen). Menurut laporan 2018 yang dikeluarkan oleh GlobalWebIndex, orang berusia 16–24 tahun menghabiskan rata-rata tiga jam menggunakan media sosial setiap hari. remaja yang menggunakan media sosial lebih dari tiga jam per hari berisiko tinggi terhadap masalah kesehatan mental terutama masalah internalisasi alias citra diri.
5. Kesepian di Tengah Koneksi Digital: Mengapa Media Sosial Membuat Kita Terasa Semakin Jauh?
Salah satu aspek yang paling ironis dari media sosial adalah bahwa meskipun memberikan koneksi instan, platform ini justru sering kali menggantikan interaksi tatap muka yang jauh lebih mendalam. Bahasa tubuh, kontak mata, dan kehadiran fisik memainkan peran penting dalam hubungan sosial yang autentik. Media sosial tidak dapat menggantikan kedalaman emosional yang hanya bisa diperoleh dari interaksi nyata. Ketika kita mengandalkan media sosial sebagai sarana utama untuk bersosialisasi, kita cenderung merasa semakin jauh dari orang lain. Hubungan di media sosial sering kali tidak memiliki kehangatan emosional yang sebenarnya, yang membuat kita merasa lebih terisolasi meskipun terlihat “terhubung.” Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengguna media sosial yang berlebihan justru melaporkan merasa lebih kesepian daripada mereka yang hanya menggunakannya sesekali atau dalam durasi terbatas.
ADVERTISEMENT
6. Strategi Mengatasi Pengaruh Negatif Media Sosial
Berikut adalah beberapa cara untuk tetap menjaga kesehatan mental di tengah penggunaan media sosial yang tinggi:
1. Batasi Durasi Penggunaan: Membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial dapat membantu mengurangi ketergantungan dan dampak negatifnya. Menurut penelitian, orang yang hanya menghabiskan sekitar 30 menit per hari di media sosial lebih bahagia dan kurang mengalami depresi daripada mereka yang menggunakannya lebih lama.
2. Pilih Konten yang Positif: Mengikuti akun yang memberikan inspirasi, edukasi, atau hiburan yang sehat bisa menjadi cara untuk mengurangi dampak negatif. Sebaliknya, cobalah untuk menghindari akun yang memicu perasaan iri, rendah diri, atau marah.
3. Fokus pada Interaksi yang Bermakna: Alih-alih sekadar menekan tombol “like,” cobalah untuk meninggalkan komentar yang bermakna atau bahkan menghubungi teman secara langsung. Langkah ini dapat membantu membangun hubungan yang lebih mendalam dan mengurangi perasaan kesepian. Lebih Banyak Terlibat dalam Aktivitas Nyata: Salah satu cara terbaik untuk mengatasi efek negatif media sosial adalah dengan berinteraksi langsung dengan orang di sekitar kita. Menghabiskan waktu bersama teman, keluarga, atau komunitas di kehidupan nyata dapat memberikan kenyamanan dan dukungan emosional yang jauh lebih kuat.
ADVERTISEMENT
4. Hindari Kebiasaan Membandingkan Diri: Sadari bahwa media sosial sering kali menampilkan versi “terbaik” dari kehidupan seseorang, dan ini tidak selalu mencerminkan kenyataan. Membandingkan diri sendiri dengan gambaran-gambaran yang tidak realistis hanya akan merugikan kesehatan mental kita.
Media sosial, meskipun menawarkan banyak keuntungan dalam hal konektivitas, juga membawa tantangan besar terhadap kesehatan mental kita, khususnya dalam hal rasa kesepian dan kesejahteraan emosional. Menyadari efek negatifnya dan menerapkan langkah-langkah untuk mengatasi pengaruh buruknya sangat penting untuk menjaga kesehatan mental. Dengan menggunakan media sosial secara bijaksana dan seimbang, kita dapat mengambil manfaatnya tanpa mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan kita.