Konten dari Pengguna

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Angka Meningkat, Rakyat Makin Tersendat

Nurul susantri
Mahasiswa Universitas Andalas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi
17 Maret 2025 12:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul susantri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi By Pexel
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi By Pexel
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan ekonomi sering kali didefinisikan sebagai peningkatan pendapatan suatu negara tanpa mengaitkan langsung dengan pertumbuhan penduduk. Mengapa? Karena itu artinya kita bisa saja punya pendapatan lebih besar, tapi jumlah orang miskin juga ikut bertambah. Nah, ini yang membuat kita bertanya-tanya, apakah pertumbuhan ekonomi benar-benar mencerminkan kesejahteraan masyarakat? Bisa jadi, di satu sisi ekonomi negara tumbuh pesat, tapi di sisi lain warga negaranya malah semakin banyak yang merasakan “pertumbuhan” biaya hidup.
ADVERTISEMENT
Begitu banyak indikator yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi: PDB per kapita, angka inflasi, tingkat pengangguran, dan sebagainya. Namun, apakah indikator-indikator ini benar-benar mengukur kesejahteraan rakyat? Atau jangan-jangan hanya angka-angka yang disusun rapih di meja menteri, yang dipamerkan sebagai pencapaian luar biasa tanpa pernah menyentuh kehidupan nyata orang-orang di lapangan? Tentu saja, ketika ada yang menyebut "pertumbuhan ekonomi mencapai 5%!", kita hanya bisa berpikir, "Ah, baguslah, kalau itu artinya harga barang-barang makin naik 5%, gaji kita tetap saja stagnan."
Berbicara soal pembangunan ekonomi, kita tahu bahwa ini jauh lebih kompleks. Pembangunan ekonomi adalah upaya yang lebih holistik, di mana negara seharusnya berfokus pada pengurangan kemiskinan, pemerataan, dan pembangunan berkelanjutan. Tapi, kalau kita melihat bagaimana kebijakan pembangunan dijalankan, kita mungkin akan berpikir bahwa definisi "pembangunan" itu sebatas membangun infrastruktur, tanpa memperhitungkan kualitas hidup masyarakat. Di Indonesia, misalnya, ada banyak proyek besar yang mengklaim sebagai bagian dari pembangunan ekonomi dari jalan tol hingga bandara megah. Tapi, apakah itu berarti rakyat bisa langsung menikmati? Atau malah mereka harus terjebak kemacetan lebih lama untuk mencapai jalan tol itu?
ADVERTISEMENT
Diversifikasi ekonomi, misalnya, adalah salah satu solusi yang sering dipromosikan. Mengurangi ketergantungan pada sektor ekstraktif dan mendorong sektor manufaktur dan pariwisata. Tapi, siapa yang sebenarnya diuntungkan dengan diversifikasi ini? Mungkin yang diuntungkan justru para pengusaha besar, bukan masyarakat luas yang berharap lebih banyak lapangan pekerjaan dan fasilitas yang memadai. Lalu, pembangunan infrastruktur? Boleh saja bangun jembatan atau gedung-gedung pencakar langit, tapi kalau harga bahan pangan terus melambung, pengangguran merajalela, dan ketimpangan semakin lebar, apa artinya semua itu?
Dan jangan lupakan tentang "pemberdayaan sumber daya manusia" mungkin ini adalah jargon yang paling sering digunakan oleh para pejabat pemerintah saat mereka berbicara tentang program pendidikan dan pelatihan. Slogan seperti ini terdengar sangat mulia, tapi kenyataannya? Program pelatihan yang dimaksud sering kali hanya menjadi ajang bagi beberapa pihak untuk meraup keuntungan, sementara rakyat yang membutuhkan keterampilan sejati malah terpinggirkan. Sudah lama terdengar bahwa pendidikan adalah kunci untuk keluar dari kemiskinan, tapi apakah pemerintah benar-benar menciptakan sistem pendidikan yang bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat? Atau, apakah mereka justru terus mempertahankan sistem pendidikan yang hanya bisa dijangkau oleh anak-anak para pejabat dan pengusaha kaya?
ADVERTISEMENT
Di luar negeri, kita sering melihat negara-negara dengan sumber daya alam terbatas seperti Singapura dan Swiss, yang berhasil mencapai kemajuan pesat dengan cara yang luar biasa cerdaa dengan mengandalkan inovasi dan keunggulan kompetitif. Mungkin ada baiknya jika kita bertanya, kenapa negara kita yang kaya akan sumber daya alam dari minyak hingga batu bara masih terjebak dalam pola pikir "kita kaya, jadi kita bisa?" Padahal, seharusnya, sumber daya alam bisa dimanfaatkan secara bijak untuk mendorong inovasi, bukan hanya menjadi alat untuk mempertahankan status quo dan memperkaya segelintir orang.
Lihat saja negara-negara seperti Rusia atau Arab Saudi, yang memiliki sumber daya alam melimpah, tapi masih bergulat dengan masalah ketergantungan yang luar biasa pada sektor energi. Sementara itu, pemerintah terus mengumbar janji bahwa mereka akan melakukan diversifikasi ekonomi, tapi saat ditanya langkah konkret, jawabannya selalu tertunda atau malah terjebak dalam persaingan antar korporasi besar yang saling berebut kekayaan alam. Bagaimana mungkin ada pembangunan ekonomi yang inklusif jika yang ada justru ketimpangan ekonomi yang semakin mencolok antara yang kaya dan yang miskin?
ADVERTISEMENT
Yang menarik, bagi negara dengan sumber daya alam terbatas, seperti Singapura dan Switzerland, mereka justru memanfaatkan kekurangan itu sebagai peluang untuk berinovasi. Tentu, Singapura berhasil memanfaatkan posisinya sebagai pusat perdagangan global, dengan mengandalkan sektor-sektor non-sumber daya alam, sementara Swiss mampu menjadikan dirinya sebagai pusat finansial dan inovasi meskipun minim sumber daya alam. Di sisi lain, negara-negara kaya sumber daya alam sering kali terjebak dalam siklus ketergantungan yang membuat mereka lupa bahwa ekonomi masa depan bukan hanya soal “menjual” kekayaan alam, tetapi tentang menciptakan nilai tambah melalui kecerdasan dan inovasi.
Apakah negara kita akan belajar dari contoh-contoh ini, atau tetap terjebak dalam mitos bahwa kita akan selalu kaya karena tanah kita kaya? Jelas, jika kita masih terus bergantung pada sumber daya alam tanpa strategi jangka panjang untuk diversifikasi ekonomi dan pengembangan SDM, kita akan tetap berada di tempat yang sama, melihat negara lain semakin berkembang sementara kita tetap terjebak dalam pencapaian yang lebih suka dilihat dari atas meja kabinet daripada dari kehidupan sehari-hari rakyat.
ADVERTISEMENT
Jika ada satu hal yang pasti dalam cerita ini, mungkin itu adalah kenyataan bahwa pemerintah kita, dalam banyak kasus, lebih suka berbicara tentang pencapaian angka PDB yang meningkat, dari pada menciptakan sistem yang benar-benar menguntungkan rakyat secara merata. Pemerintah mungkin berpikir bahwa pembangunan itu hanya soal proyek besar yang terlihat, padahal yang lebih penting adalah seberapa banyak masyarakat bisa merasakan dampaknya secara langsung. Tapi tentu saja, mungkin kita salah. Pemerintah selalu tahu yang terbaik, bukan?