Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Eksplorasi Budaya Suku Baduy dalam Upaya Meningkatkan Literasi Budaya
30 Juni 2021 17:19 WIB
·
waktu baca 12 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:46 WIB
Tulisan dari Nurul Hidayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia diberkahi dengan kekayaan alam yang melimpah serta wilayah kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Marauke yang memiliki keanekaragaman budaya masing-masing. Jumlah suku yang dimiliki Indonesia adalah lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus BPS tahun 2010. Tiap suku bangsa memiliki ciri khas nya masing-masing. Salah satu suku yang menarik di Indonesia adalah suku Baduy.
ADVERTISEMENT
Suku Baduy adalah suku pedalaman yang bertempat tinggal di dalam lembah pegunungan di wilayah Lebak, Banten. Suku ini dikenal sangat menjaga tradisi leluhur mereka dan hidup menjauh dari perkotaan. Suku Baduy dibagi menjadi dua bagian yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam.
Pada hakikatnya budaya dan adat istiadat keduanya tidaklah berbeda, hanya saja masyarakat Baduy Luar diperbolehkan untuk menggunakan teknologi seperti listrik, handphone, maupun alat digital lainnya, sedangkan masyarakat Baduy Dalam tidak diperbolehkan menggunakannya sama sekali. Hal ini tentunya memiliki maksud tersendiri, Baduy Luar diperbolehkan menggunakan elektronik dan teknologi digital lainnya sebab tugas mereka adalah sebagai perantara antara masyarakat Baduy dengan masyarakat luar dan pemerintah.
Ketika ada tugas yang berhubungan dengan orang luar maka yang akan diperintahkan adalah masyarakat Baduy Luar oleh karena itu untuk memudahkan komunikasi mereka diperbolehkan menggunakannya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Baduy Luar bermukim di bagian luar wilayah Baduy sedangkan masyarakat Baduy Dalam bermukim jauh di dalam wilayah Baduy. Batas wilayah Baduy Dalam dan Luar sudah di tentukan dari dahulu dengan cara musyawarah oleh para tetua adat. Perbatasan antara Baduy Luar dan Dalam ditandai dengan sebuah jembatan.
Dari jembatan tersebut wisatawan tidak diperbolehkan untuk mendokumentasikan apapun mengenai kehidupan di Baduy Dalam. Ketentuan tersebut dilakukan untuk menjaga identitas suku Baduy Dalam dari pengaruh luar.
Baduy Dalam hanya memiliki 3 kampung yaitu kampung Cibeo, Cikertawarna, dan Cikesik. Tiap kampung memiliki peran nya masing-masing seperti kampung Cibeo sebagai pertanian, Cikertawarna sebagai ilmu pengobatan, dan Cikesik sebagai keagamaan. Ketiga kampung ini tidak boleh bertambah, rumah boleh bertambah namun kampung hanya boleh tiga. Sedangkan Baduy Luar memiliki banyak kampung dan boleh bertambah.
ADVERTISEMENT
Bentuk rumah Baduy Dalam dan Baduy Luar pun berbeda, Baduy Dalam hanya memiliki satu pintu di depan sedangkan Baduy Luar biasanya memiliki lebih dari satu pintu. Rumah Baduy Dalam wajib menghadap ke arah selatan atau utara saling berhadapan sedangkan rumah Baduy Luar boleh menghadap mana saja.
Rumah Baduy Dalam tanahnya adalah milik bersama sehingga tidak ada kepemilikan tanah, hanya ada kepemilikan rumah. Dan untuk membangun rumah telah ditetapkan oleh ketua adat pada bulan khusus yaitu bulan kalima, kadalapan, dan kapitu. Warga akan bergotong royong dalam membantu membuat sebuah rumah dalam waktu 2 hari.
Suku Baduy Dalam memiliki seorang ketua adat di masing-masing kampung yang disebut dengan Pu’un. Pu’un merupakan orang yang berada di tingkatan paling tinggi dan paling di hormati oleh masyarakat suku Baduy dan wisatawan tidak dapat bertemu dengan Pu’un sama sekali.
ADVERTISEMENT
Penentuan Pu’un biasanya melalui keturunan dan juga rapat dengan tokoh adat lain karena keturunan Pu’un biasanya banyak sehingga yang dipilih untuk menjadi Pu’un selanjutnya adalah yang paling banyak pengetahuannya. Pu’un haruslah dipilih dari orang asli kampungnya tidak boleh dari orang kampung lain. Untuk masa jabatannya sendiri tidak memiliki batasan, sekiranya sudah sepuh dan tidak mampu lagi maka akan di ganti.
Pu’un kampung Cibeo saat ini bernama Pu’un Jahadi berusia 60 tahun. Pu’un sangat jarang keluar, jika ada keperluan luar maka biasanya yang akan ditunjuk adalah bawahannya. Di bawah Pu’un ada beberapa tokoh adat yaitu Seurat, Jaro, Baresan, dan Parawari. Jika ada pemilu presiden maka yang ikut pemilu hanya sebagian dan Pu’un tidak ikut hanya dari struktur Jaro ke bawah, dan tempat memilihnya adalah di wilayah yang telah ditentukan.
ADVERTISEMENT
Tidak boleh ada kampanye atau unsur-unsur politik yang masuk ke dalam suku Baduy Dalam. Kepemilikan KTP hanya bagi yang mau saja, biasanya orang yang sering keluar ke perkotaan, kalau masyarakat Baduy Luar banyak yang punya KTP. Sedangkan untuk pajak, mereka tetap membayar pajak ke sekdes Baduy Luar.
Suku Baduy khususnya Baduy Dalam meyakini bahwa asal muasal mereka adalah dari turunan nabi Adam AS. Mereka percaya akan adanya malaikat dan Allah SWT. Mereka menyatakan bahwa mereka beragama islam, namun kepercayaan mereka adalah sunda wiwitan dan nabi mereka adalah nabi Adam AS. Ibadah mereka sesuai dengan amanah leluhur. Mereka juga memiliki tanggalan bulan sendiri tidak mengikuti tanggalan masehi.
Bulannya hampir mirip dengan bulan hijriah yaitu Sapar, Kalima, Kaenam, Kapitu, Kadalapan, Kasalapan, Kasapulah, Apit Lemah, Apit Kayu, Kasa, Karo, dan Katiga. Tiga bulan terakhir yaitu Kasa, Karo, dan Katiga merupakan bulan adat, pada bulan ini mereka melakukan puasa 3 hari yaitu satu hari di tiap bulannya di tanggal 18/19. Acara tersebut disebut dengan Kawala atau istilahnya lebaran masyarakat Baduy dan pada bulan ini orang luar atau wisatawan tidak diperbolehkan datang.
ADVERTISEMENT
Kiblat masyarakat suku Baduy menghadap ke arah selatan oleh karena itu rumah dan makam mereka juga wajib mengarah ke selatan ataupun ke utara saling berhadapan. Wilayah suci yang mereka yakini berada di area hutan lindung yaitu sasakadamas.
Suku Baduy Dalam memiliki banyak budaya unik yang membuat suku ini sangat menarik. Beberapa di antaranya adalah keunikan pakaian mereka. Mereka hanya diperbolehkan memakai pakaian berwarna hitam atau putih yang terdiri dari Calekung atau ikat kepala, Baduy Dalam harus menggunakan ikat kepala berwarna putih sedangkan Baduy Luar memakai ikat kepala berwarna biru dari sinilah kita dapat membedakan orang Baduy Dalam dan Luar.
Kemudian Jamang atau baju atasan yang hanya boleh berwarna hitam atau putih. Lalu Samping Aros atau rok pendek sebagai bawahan berwarna hitam dengan pola garis-garis lurus vertikal. Untuk Pu’un dan Seurat pakaian nya harus putih. Untuk kain pakaian mereka membelinya di luar mereka tidak membuatnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Suku Baduy tidak menggunakan alas kaki apapun. Hal ini merupakan hukum adat mereka yang tidak memperbolehkan menggunakan alas kaki, jika melanggar maka akan mendapat sanksi. Biasanya masyarakat Baduy menggunakan semacam tas terbuat dari kain untuk membawa peralatan yang mereka butuhkan jika sedang pergi keluar. Mereka biasanya membawa semacam pisau di pinggang mereka atau yang mereka sebut arit atau kujang atau kored.
Mereka juga tidak diperbolehkan untuk menggunakan perhiasan. Bahasa yang digunakan mereka adalah bahasa sunda kasar dengan logat khas. Mereka dapat mengerti dan berbicara bahasa indonesia karena pengaruh wisatawan yang datang.
Suku Baduy Dalam memiliki kebiasaan ketika masa panen mereka akan keluar ke kota untuk memberikan hasil panen mereka kepada pemerintah Banten, acara ini dikenal dengan Saba’ biasanya diadakan pada bulan Sapar tanggal 1 atau 2. Acara ini sudah ada sejak dulu kala yang bermaksud sebagai hubungan timbal balik kepada pemerintah. Namun tidak semua masyarakat Baduy ikut keluar, hanya yang mau saja.
ADVERTISEMENT
Tidak ada listrik di dalam perkampungan Baduy Dalam, mereka hanya menggunakan api tungku maupun api dari minyak petromax untuk menerangi rumah mereka ketika malam. Mereka juga tidak menggunakan jam sebagai penanda waktu, mereka hanya akan mengira-ngira waktu dengan melihat langit. Kesenian alat musik Suku Baduy adalah angklung, kecapi, dan karimbi. Biasanya ketika acara adat menanam padi menggunakan angklung sebagai pengiring. Tidak ada perayaan besar di suku Baduy, hanya acara syukuran ketika ada sebuah acara seperti pengangkatan Pu’un baru, pernikahan, dsb.
Untuk mata pencaharian, mereka menjual hasil kerajinan maupun hasil pertanian mereka. Suku Baduy Dalam hanya boleh menjual barang yang mereka hasilkan tidak boleh memperdagangkan barang lain. Seluruh lahan wilayah di suku Baduy Dalam adalah tanah adat. Sistemnya menggunakan hak bergilir misalnya tiap dua tahun pemilik tanah akan bergilir bergantian. Sistem pertanian yang digunakan masyarakat suku Baduy Dalam yaitu sistem buka lahan yang terdiri dari Nyacar, Nutuhan, Ngasuk, Ngoret, dan Ngeten. Tanaman yang boleh ditanam juga telah ditentukan seperti padi, keneur, jagung, umbi, dan jahe. Hasil panen tersebut nantinya akan di taruh di dalam lumbung di luar perkampungan, hal ini dimaksudkan agar jika terjadi kebakaran rumah maka persedian makanan mereka tetap aman.
ADVERTISEMENT
Pendidikan bagi masyarakat Baduy Dalam sendiri hanya bergantung kepada orang tua mereka. Orang tua hanya akan mengajarkan anak mereka apa yang mereka ketahui. Tidak ada sekolah namun tiap 3 bulan sekali anak-anak akan di panggil untuk belajar bersama. Orang luar jika ingin mengajar di Baduy Dalam hanya boleh di satu rumah selama satu malam saja jika ingin lebih maka orang tersebut harus keluar terlebih dahulu untuk melapor di Ciboleger baru boleh masuk lagi. Anak-anak Baduy Dalam dari umur 6 tahun sudah boleh diajak untuk keluar ikut ayahnya berjualan atau membantu membawakan barang para wisatawan yang hendak berkunjung. Jika orang Baduy Dalam ingin keluar ke perkotaan maka paling tidak harus izin kepada orang tua mereka.
ADVERTISEMENT
Banyak informasi-informasi yang telah kita dengar mengenai segala larangan yang ada di Baduy Dalam. Yang paling utama adalah larangan menggunakan teknologi maupun digital. Masyarakat Baduy Dalam dilarang menggunakan teknologi seperti listrik, telefon, jam, dan teknologi lainnya bahkan alat pacul. Itu semua sudah hukum adat yang tidak boleh dilanggar jika tidak maka akan ada sanksinya bahkan jika tidak ketahuan oleh tokoh adat mereka percaya adanya sanksi alam karena seluruh alam melihat perbuatan yang dilakukan.
Selain penggunaan teknologi mereka juga tidak diperbolehkan menaiki kendaraan seperti mobil, kereta, motor, sepeda, dsb. Jika mereka sedang pergi ke perkotaan untuk menjual madu atau kerajinan mereka lainnya mereka harus berjalan dan tidak boleh menaiki kendaraan umum. Jika ada yang melihat orang Baduy naik kereta maka pasti itu bukan orang Baduy asli. Selain itu mereka juga tidak diperbolehkan menggunakan sabun atau bahan kimia semacamnya yang dapat mencemari lingkungan mereka karena masyarakat Baduy hidup berdampingan dengan alam sehingga mereka sangat menjaga kelestarian alam sekitar.
ADVERTISEMENT
Bagi para wisatawan yang datang ke Baduy Dalam harus menaati peraturan yang ada sebab jika tidak maka biasanya akan ada sanksi alam. Namun ada yang perlu ditekankan di sini bagi para wisatawan yang datang sesungguhnya tidak masalah jika membuka handphone asalkan tidak mendokumentasikan apapun saat di dalam baik foto, video, maupun suara. Dan wisatawan luar negeri tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam Baduy Dalam mereka hanya boleh sampai Baduy Luar, itu juga sudah menjadi aturan adat.
Baduy Dalam biasanya melakukan razia maksimal 3 kali setahun yang dilakukan oleh Jaro. Semua barang-barang dari luar yang tidak diperbolehkan akan di razia dan jika ketahuan maka akan diberi sanksi peringatan pertama namun jika sudah ketahuan 3 kali maka dapat diusir dari Baduy Dalam. Sebelum itu akan ada masa pengasingan selama 40 hari di tempat pengasingan, mereka akan bekerja tanpa diupah dan hanya makanan saja. Hukuman akan diberikan kepada individu yang melakukan kesalahan. Aturan ini tidak dapat diubah. Dan cara untuk mencegah pelanggaran tersebut biasanya diadakan rapat warga setiap 3 bulan sekali untuk membahas penegasan hukum adat. “Jangan asal lihat dan jangan asal dengar” hal itulah yang selalu disampaikan kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh dengan kehidupan atau perilaku masyarakat luar.
ADVERTISEMENT
Adat pernikahan suku Baduy sangat unik, usia yang sudah diperbolehkan untuk menikah bagi wanita adalah 15 tahun dan pria 18 tahun. Mereka biasanya menjodohkan anak laki-laki dan perempuan mereka sesama Baduy Dalam dan jika sudah menikah mereka tidak boleh cerai ataupun poligami. Namun jika pasangan mereka meninggal maka diperbolehkan untuk istri/suami yang ditinggalkan untuk menikah lagi. Mereka diperbolehkan jika ingin mencari pasangan sendiri di Baduy Luar maupun masyarakat luar, dan jika menikah dengan Baduy Luar maka boleh cerai dan mereka akan ditentukan apakah dapat tinggal di Baduy Dalam atau Luar. Mereka diperbolehkan untuk menikah sesaudara sepupuan namun hal ini jarang terjadi. Upacara pernikahan seperti akad akan dilakukan oleh Pu’un di balai adat. Mereka juga memiliki acara hajatan pernikahan semacam syukuran dengan biaya mencapai puluhan juta rupiah. Ketika seorang wanita sedang datang bulan maka mereka hanya mengguakan kain biasa bukan pembalut.
ADVERTISEMENT
Ketika ada wanita yang akan melahirkan maka akan dibantu oleh paraji atau dukun beranak. Dan yang memberi nama anaknya adalah Pu’un. Anak laki-laki sudah bisa disunat ketika umur 3 tahun ke atas sedangkan wanita dari umur satu tahun ke bawah. Alat yang digunakan adalah pisau kecil.
Untuk adat kematian saat ada salah satu warga meninggal, proses pemakaman nya yaitu dengan mengubur jenazah di dalam tanah menghadap ke selatan. Mereka tidak menggunakan nisan sebagai penanda makam melainkan menggunakan pohon hanjuang merah. Dan mereka tidak menggunakan papan kayu di dalamnya melainkan menggunakan bambu. Sesudah pemakaman akan diadakan tahlilan selama 7 hari atau boleh juga hanya satu atau tiga hari. Ketika sudah lewat dari 7 hari mereka percaya bahwa roh dari orang tersebut telah pergi.
ADVERTISEMENT
Ketika mendengar kata Baduy, maka kita akan teringat akan aturan mereka yang tidak boleh menggunakan teknologi apapun ketika berada di dalam Baduy Dalam. Begitu pula yang terjadi ketika kami semua mulai merencanakan penelitian ini. Banyak kabar burung yang beredar seputar sanksi yang akan diterima jika melanggar hal tersebut. Kami selalu mengingatkan satu sama lain agar tidak lupa untuk mematikan handphone maupun kamera untuk menghindari segala kemungkinan buruk yang dapat terjadi jika kami melanggar hal tersebut sebelum memasuki wilayah Baduy Dalam.
Sepanjang perjalanan kami ditemani oleh masyarakat Baduy Dalam yang juga membantu membawakan barang-barang kami. Sepanjang perjalanan menuju Baduy Dalam kami pun berbincang dengan beberapa orang Baduy Dalam. Ketika saya menanyakan seputar larangan menggunakan Hp di Baduy Dalam, mereka menjelaskan bahwasanya membuka Hp pada dasarnya tidak masalah, yang dipermasalahkan adalah jika mendokumentasikan apapun yang ada di Baduy Dalam. Walau demikian kami tetap mematikan segala benda teknologi digital yang kami bawa.
ADVERTISEMENT
Saat setelah melewati jembatan perbatasan Baduy Dalam kami diingatkan agar mematikan dan tidak menggunakan teknologi digital, saya pun mematikan kamera dan ponsel dan memasukkan nya ke dalam tas. Ketika sampai di rumah Baduy Dalam yang akan kami tempati untuk istirahat kami tepat sebelum petang, kami segera berbenah diri dan barang. Pada malam hari setelah semua berkumpul kami berbincang dengan pemilik rumah yang biasa dipanggil ayah nani.
Saat semua orang sedang tertidur pulas di sinilah kejadian itu terjadi. Terdengar samar-samar sebuah lagu yang membuat sebagian kami terbangun, termasuk saya. Karena terlalu mengantuk saya tidak menghiraukan nya, namun lama kelamaan saya merasa lagu tersebut seperti lagu alarm di ponsel saya, dengan kaget saya segera bangun dan mengecek tas saya dan ternyata benar alarm saya berbunyi kencang saya pun segera mematikannya mengingat bahwa kami sedang berada di dalam Baduy Dalam. Dengan sedikit panik saya bergumam “Gue gak kenapa-kenapa kan?” teman-teman yang lain pun menenagkan saya. Saya ingat betul telah mematikan Hp namun saya tidak mengerti kenapa alarm tersebut tetap menyala.
ADVERTISEMENT
Waktu pun berlalu, keesokan harinya kami melakukan aktivitas biasa dan berbincang dengan Jaro kemudian bersiap pulang. Ada rasa sedikit khawatir dalam diri jikalau saya melanggar peraturan adat sebab bunyi alarm tersebut. Ketika keluar dari Baduy Dalam dan pulang ke rumah syukur saya dapat pulang dengan selamat dan begitu juga hari-hari selanjutnya. Kejadian ini menjadi kenangan yang tidak akan saya lupakan dari Baduy Dalam. Hal ini menunjukkan bahwa bunyi alarm di dalam Baduy Dalam tidak akan memengaruhi apapun.
Nurul Hidayati
Mahasiswi Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta