Hal yang Belum Terselesaikan dari Masalah Kemacetan Kota

Nurulitha Andini Susetyo
Urbanist and policy enthusiast. Resilience Strategy Advisor at Resilience Development Initiative. Graduates from Master of Arts in Development Studies of ISS and Bachelor of Science of Urban and Regional Planning of ITB.
Konten dari Pengguna
10 Maret 2023 12:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurulitha Andini Susetyo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemandangan "normal" mobilitas warga kota. Dok: Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan "normal" mobilitas warga kota. Dok: Pribadi.
ADVERTISEMENT
Kemacetan. Tentu sudah menjadi makanan sehari-hari warga kota-kota besar, termasuk di Indonesia. Pada 11 Februari 2023, Kompas Bandung merilis bahwa jumlah kendaraan bermotor di Kota Bandung mendekati populasi penduduk di Ibu Kota Provinsi Jawa Barat tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bandung, menunjukkan bahwa 2,3 juta unit kendaraan bermotor, yang mana 60% di antaranya merupakan kendaraan bermotor roda dua, beredar di ruas-ruas jalan kota.
Persoalan tingginya angka kepemilikan kendaraan bermotor (khususnya roda dua) ini memang bukan permasalahan tunggal yang terjadi di Bandung saja.
Provinsi DKI Jakarta, dengan populasi penduduk mencapai 10,5 juta jiwa, angka kepemilikan kendaraan pribadi di sana menyentuh angka 20 juta unit.
Ilustrasi macet. Foto: Faisal Rahman/kumparan
Apabila seluruh kendaraan tersebut bergerak secara simultan, boleh jadi ancaman kepadatan hingga kemacetan lalu lintas menjadi niscaya. Kondisi tersebut juga berpotensi menjadi penyulut dampak turunan seperti memburuknya kualitas udara hingga mengancam kesehatan penduduk.
Sepintas, isu ini menunjukkan bahwa sistem transportasi dan mobilitas warga kota yang sangat bergantung kepada penggunaan kendaraan pribadi bukan kendaraan umum.
ADVERTISEMENT
Bila ditelisik lebih jauh persoalan struktural hingga spasial juga memberikan pengaruh yang mendasar dalam berkembangnya berbagai permasalahan pada kota-kota di Indonesia.
Persoalan struktural perkotaan yang dimaksud merupakan ketimpangan sosio ekonomi antara warga kota. Penduduk kota dengan tingkat ekonomi lebih baik umumnya bisa memiliki rumah di lokasi strategis atau di pusat kota yang dekat dengan berbagai pusat kegiatan.
Ilustrasi kemacetan. Foto: dok Istimewa
Lain halnya dengan warga berpendapatan menengah ke bawah yang harus tersingkir dari upaya untuk memiliki hunian layak di tempat yang strategis, karena harganya yang semakin tidak terjangkau.
Berdomisili di kawasan pinggiran, jarak tempuh yang tak singkat, akhirnya menjadi menu utama dalam aktivitas harian masyarakat tersebut. Beberapa warga miskin kota juga ada yang memilih untuk tinggal di tengah kota.
ADVERTISEMENT
Namun, hunian tersebut umumnya secara kualitas sosial lingkungan boleh dibilang tidak cukup layak bila diukur dengan kacamata lingkungan hidup yang baik dan sehat dan berada di lahan-lahan ilegal.
Kealpaan sistem transportasi publik yang memadai memperparah persoalan struktural di perkotaan. Pada akhirnya, pilihan masyarakat tersebut akan jatuh pada pilihan mobilitas perkotaan yang paling menguntungkannya secara individu, yaitu kendaraan pribadi terutama sepeda motor.
Ilustrasi Macet. Foto: Antara/Risky Andrianto
Selain untuk mobilitas harian yang terjangkau, sepeda motor juga merupakan aset produktif yang dapat menjadi modal bagi masyarakat untuk terlibat dalam aktivitas perekenomian seperti ojek, kurir pengiriman barang, dan lain-lain.
Di tengah keterbatasan pilihan akibat dari kemiskinan struktural, pilihan untuk menggunakan sepeda motor pribadi menjadi satu-satunya pilihan untuk bertahan hidup dari hari ke hari. Kondisi ini faktanya mendesak ruang kota, menyulut kepadatan lalu lintas yang kemudian berujung pada kemacetan, polusi udara, meningkatkan risiko kecelakaan jalan raya, hingga kerugian materi pun imateril lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, pilihan rasional sebagaimana ilustrasi dimaksud, bukan lah sebuah kondisi untuk dihakimi sepihak dengan nilai-nilai etika pembangunan yang bias. Minimnya intervensi struktural oleh berbagai otoritas untuk mengangkat mereka dari jurang kemiskinan juga merupakan bagian penting dari tata kelola yang perlu dibenahi.
Persoalan kedua adalah tentang spasial perkotaan, di mana berbagai kota di republik ini dibiarkan tumbuh meluas cenderung tidak terkendali ke berbagai arah.
Ilustrasi macet Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Lihat saja Kota Bandung, arah pembangunannya melampaui delineasi wilayah administratifnya. Jamak ditemukan lokasi hunian di pinggiran kota dengan akses yang masih terbatas dan tidak dijangkau oleh transportasi publik.
Wilayah metropolitan Jabodetabek juga mengalami hal yang serupa, namun perkembangan kota-kotanya masih didukung dengan ketersediaan sistem transportasi publik seperti kereta dan bus, sehingga warga pinggiran kota memiliki berbagai alternatif untuk mobilitas harian.
ADVERTISEMENT
Di lain pihak, persoalan spasial ini juga mengacu pada ketimpangan penggunaan lahan perkotaan. Lahan di pusat kota umumnya mahal dan tidak terjangkau bagi sebagian besar warga kota. Selain itu, peruntukan lahan di kawasan perkotaan masih menerapkan guna lahan individu (single land use), yang cenderung kaku dalam merespons permintaan ruang aktivitas masyarakat perkotaan saat ini.
Padahal, agar lahan yang terbatas dapat digunakan seefektif mungkin, penting untuk mendorong pemanfaatan guna lahan campuran (mixed land use) di mana dalam satu plot lahan terdapat beragam fungsi mulai dari residensial, komersial, dan lain-lainnya.
Ilustrasi macet Foto: Antara/Raisan Alfarisi
Upaya konsolidasi lahan ini tentu dapat menjadi alternatif untuk penyediaan lahan untuk hunian yang terjangkau di tengah kota dengan mekanisme subsidi silang.
ADVERTISEMENT
Upaya lain yang kerap luput dalam persoalan spasial perkotaan adalah kebijakan untuk kota kompak (compact city). Berkaca dari kasus kendaraan bermotor di Kota Bandung, banyaknya warga yang menggunakan kendaraan pribadi umumnya disebabkan oleh jauhnya jarak tempuh antara rumah mereka dengan tempat kegiatan sehari-hari, seperti bekerja atau sekolah.
Hal ini menunjukkan perkembangan kota yang semakin meluas, yang ditandai dengan menjamurnya hunian berkepadatan rendah di pinggiran kota meskipun tidak didukung dengan akses transportasi publik yang memadai.
Apabila lahan di pusat kota dapat ditingkatkan kepadatannya, pilihan untuk memukimkan masyarakat pada lokasi strategis yang mendekatkannya dengan tempat aktivitas, boleh jadi dapat diupayakan, sehingga waktu tempuh perjalanan yang relatif panjang dapat direduksi.
Ilustrasi macet di Tol Cikampek. Foto: Antara/Risky Andrianto
Tidak hanya dari sisi kepadatan tinggi saja, kota kompak harus menawarkan lingkungan kota yang dinamis, di mana semua fungsi perkotaan, mulai dari edukasi hingga rekreasi, dapat dijangkau dengan mudah.
ADVERTISEMENT
Fenomena kemacetan tentu saja tidak dapat dilihat dengan sudut pandang transportasi semata. Berbagai faktor yang menjadi penyulut kondisi tersebut, mulai dari sisi teknis seperti ketidakseimbangan ruas jalan dengan pengguna, hingga sisi konseptual yaitu persoalan struktural dan spasial seperti yang sudah menjadi uraian di atas.
Mengatasi kemacetan tanpa mengakui dan memahami permasalahan ketimpangan di masyarakat kita ibarat merumuskan solusi kebijakan tanpa mengetahui akar permasalahannya. Cara berpikir seperti ini, penting untuk dimiliki oleh para pengelola kota dalam merumuskan kebijakan, sehingga penting untuk membahas solusi kebijakan dalam perspektif yang lebih luas (bird eye-view).
---------------------------------------------------------------------
*Ditulis oleh Nurulitha Andini Susetyo (RuangWaktu - Knowledge Hub) dan Ardiles (Institut Teknologi Bandung)