Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bicara tentang Kegagalan
10 Juli 2023 11:00 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Nurul Jasmine Fathia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang upaya perwujudan mimpi saya rasa penting rasanya untuk memadukan antara harapan dan persentase kesiapan untuk ikhlas atau meridhoi sesuatu. Upaya seperti ini saya alami dengan erat ketika saya memiliki mimpi dalam urusan pendidikan walau akhirnya saya tidak dapat mencapai mimpi utamanya, namun ada pelajaran dibalik itu.
ADVERTISEMENT
Sesekali saya tertegun tiap kali memasuki gerbang kampus atau saat memasuki ruang kelas menjelang perkuliahan. Banyak perasaan yang berkecamuk di hati dan pikiran, terlebih saat menyadari waktu saya menimba ilmu di kampus ini sudah tak lama lagi. Rasanya masih tak percaya ternyata saya bisa bertahan dengan baik di kampus yang sama sekali bukan tujuan utama saya kala itu.
Setiap siswa SMA, termasuk saya pastinya menginginkan kuliah di kampus yang bergengsi, berakreditasi baik, dan dikenal masyarakat. Namun, sayangnya tak semua siswa, termasuk saya bisa dengan mudah mewujudkan impian tersebut.
Saya tak lahir dari keluarga kaya, hanya keluarga sederhana yang berkali-kali diterjang badai perekonomian. Masa-masa sekolah dasar pernah saya habiskan dengan melihat tangis Ibu yang tak bisa membeli beras. Saya kira hal tersebut sudah cukup menyakitkan, tetapi ternyata harus mengubur mimpi karena masalah finansial adalah sesuatu yang lebih menyakitkan.
Saya punya mimpi untuk berkuliah di program studi ilmu politik di salah satu kampus bergengsi di Indonesia. Di tengah keterbatasan saya tetap berjuang demi mewujudkan impian itu. Belajar siang dan malam tanpa les tambahan seperti kebanyakan teman, tak jadi masalah bagi saya. Bermodal video pembelajaran gratis dari Youtube saya yakin bahwa mimpi tersebut pasti tercapai.
ADVERTISEMENT
Namun, saya lupa bahwa saya adalah manusia yang hanya bisa menyusun rencana. Saya lupa bahwa kuasa tuhan memegang peran penting dibalik cita-cita dan impian saya. Maka, ketika impian itu terpaksa kandas hancur leburlah saya bagaikan es yang meleleh saat terkena panasnya matahari.
Dalam fase-fase kehancuran itu saya banyak menangis, banyak merenung, juga banyak menyalahkan semesta atas semua yang terjadi. Isi kepala berkecamuk melontarkan pertanyaan yang sesekali disisipi kalimat protes kepada pemilik alam.
“Kenapa harus saya?”
Setelah beberapa waktu tenggelam dalam kesedihan saya mulai bangkit kembali dengan semangat yang belum sepenuhnya pulih. Mulai mengubur mimpi lama dan mulai menerima takdir yang ada di depan mata meski terpaksa. Tak banyak yang saya lakukan setiap harinya, hanya menjalani kehidupan di opsi lain yang tuhan tawarkan.
Kampus tempat saya menimba ilmu saat ini bukanlah kampus yang bergengsi. Bahkan tak banyak juga orang yang tau keberadaan kampus ini. Nama kampus ini seolah redup karena berada dalam lingkungan salah satu kampus ternama di Indonesia. Di tempat ini lah saya berpijak, berusaha menyelesaikan apa yang harus diselesaikan.
ADVERTISEMENT
Meski di awal rasanya berat perlahan saya menyadari terdapat pelajaran berharga dari apa yang menimpa saya kala itu, salah satunya perihal keikhlasan.
Perlahan saya pun menyadari popularitas kampus bukan yang utama, ternyata rasa ikhlas untuk menerima segala pemberian tuhan lah yang bisa mempermudah saya menjalani hari. Seolah dari satu kegagalan yang menimpa, tuhan mencoba memberi saya banyak pelajaran berarti.