Palestina: Afrika Selatan Kedua

Nur Umar Akashi
Seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada program studi Sastra Arab yang mencoba bermain kata. Berharap gubahan tulisannya bermanfaat bagi masyarakat.
Konten dari Pengguna
4 Desember 2021 14:12 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Umar Akashi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber gambar: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber gambar: Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Konflik Israel-Palestina tak jua kunjung reda hingga saat ini. Berita-berita terkait aksi kekejaman yang dilakukan para Zionis maupun sejumlah sepak juang rakyat Palestina menggemparkan setiap media sosial. Awal mula dari konflik berdarah ini adalah Deklarasi Balfour yang terjadi pada tahun 1917 dan ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour. Deklarasi tersebut berisikan pernyataan yang isinya menyatakan dukungan Inggris bagi kaum Zionis untuk mengambil alih wilayah Palestina dan menjadikannya negara mereka sendiri dengan syarat tidak adanya tindakan merugikan yang dilakukan terhadap warga Palestina—meskipun pada praktiknya berlainan sekali.
ADVERTISEMENT
Sejak dikeluarkannya Deklarasi Balfour dan juga kemenangan Inggris beserta sekutunya pada Perang Dunia I, banyak imigran Yahudi yang berdatangan ke Palestina sebagai tanah air yang dijanjikan. Terlebih saat Perang Dunia II, semakin banyak warga Yahudi yang berpindah lantaran ketakutan akan dibinasakan oleh Nazi Jerman yang saat itu sedang melakukan gerakan pembersihan Yahudi atau Holocaust. Sejak saat itu, Israel telah bertindak sewenang-wenang dengan merampas 80% wilayah Palestina.
Kondisi terkini adalah Israel menguasai seluruh bekas wilayah Palestina kecuali daerah yang disebut West Bank dan Gaza. Selain itu, Israel juga menerapkan praktik rasisme atau Apartheid di Palestina. Hal ini adalah salah satu bentuk kejahatan yang harus segera diakhiri lantaran tidak sesuai dengan norma-norma kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, Apartheid adalah politik diskriminasi warna kulit yang diterapkan (dahulu) oleh negara Afrika Selatan antara keturunan dari Eropa (kulit putih) terhadap penduduk kulit berwarna. Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sistem ini adalah pengaplikasian rasisme pada tingkatan yang paling parah. Sistem politik ini sudah terlebih dahulu eksis di Afrika Selatan dan berlangsung puluhan tahun lamanya.
Salah satu bukti penerapan politik Apartheid di Palestina adalah pembangunan tembok atau pagar yang membatasi ruang gerak warga Palestina. Padahal pada hakikatnya tanah tersebut adalah tanah asli kepunyaan bangsa Palestina: Bagaimana mungkin seorang “pendatang” malah membuat aturan yang merugikan pemilik. Bukti lainnya yang menunjukkan bahwa Israel melakukan diskriminasi adalah ketika terjadi kerusuhan yang diakibatkan tentara Israel, polisi-polisi Israel hanya berpangku tangan dan duduk dengan manis sembari menyaksikan hal mengerikan tersebut. Bukti lebih lanjut contohnya pada undang-undang “Law of Return” pada tahun 1950 yang menyatakan bahwa semua Yahudi bebas datang dan menetap di tanah milik bangsa lain. Hal ini tentu saja diartikan sebagai diskriminasi terhadap pemilik asli tanah tersebut.
ADVERTISEMENT
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejauh ini Israel telah menerapkan sistem Apartheid yang dilarang di Palestina. Hal ini juga diungkapkan Jean H. Mearsheimer yang termaktub dalam buku After Zionisme. Jean mengungkapkan bahwa di Palestina terjadi perbedaan hukum, jalan, dan pemukiman antara orang Israel dan Palestina.
Hal ini sudah seharusnya menjadi urusan seluruh dunia dan terkhusus negara-negara besar dalam Dewan Keamanan Tetap PBB untuk segera menindaklanjutinya. Amerika, salah satu negara yang memiliki power dalam menertibkan dunia, malah menjadi pendukung Israel yang notabenenya sangat bertentangan dengan prinsip Amerika sendiri. Amerika adalah sebuah negara yang begitu keras menentang segala macam bentuk rasisme dan segregasi seharusnya bertindak konsisten dengan prinsipnya. Salah satu alasan Amerika tunduk di bawah kemauan keras Israel adalah lantaran keuangan Israel yang selalu membantu Amerika dalam membiayai kampanye Timur Tengahnya.
ADVERTISEMENT
Masalah Apartheid yang terjadi di Palestina tidak terlalu tersebar secara luas. Hal ini terjadi disebabkan kekuatan lobi Israel yang kuat berhasil membungkam negara maupun media-media yang seharusnya menampilkan berita secara jujur dan apa adanya. Meski ditutup-tutupi, keburukan pada akhirnya juga akan menyeruak kembali pada cahaya. Human Rights Watch atau Badan Pemantau Hak Asasi manusia menyatakan bahwa Israel melakukan kejahatan Apartheid pada teritorinya. Laporan ini dibuat dengan judul “Sebuah Ambang Batas Persimpangan”. Meski pihak Israel menyatakan bahwa hal ini tidak lebih dari sekadar kebencian dari HRW terhadap Israel, dunia tentunya secara logika maupun empiris dapat menilai bahwa praktik Apartheid benar-benar dilangsungkan di Palestina.
Apartheid yang sudah ditegaskan sebagai sistem kriminal oleh dunia internasional justru dipraktikkan di depan mata dunia oleh bangsa Israel. Dunia seolah-olah menutup mata terhadap praktik tidak berperikemanusiaan ini. Israel harus segera mengganti sistem pemerintahannya lantaran sistem Apartheid ini sangat bertentangan dengan norma-norma maupun hati nurani manusia. Dunia harus bersikap tegas dan keras dalam menindaklanjuti perbuatan Israel yang semena-mena. Diharapkan ke depannya, negara-negara superpower mengakhiri permainan politik kotor mereka dan segera berkecimpung dalam menciptakan tatanan dunia yang penuh perdamaian.
ADVERTISEMENT