Borosnya Inovasi Digital pada Lembaga Pemerintah

Sofia Nurvita
Seorang ASN di Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang. Saat ini saya sedang menempuh pendidikan pada Magister Psikologi Profesi UGM peminatan bidang Psikologi Industri dan Organisasi. Saya juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan terkait literasi digital.
Konten dari Pengguna
24 Juli 2022 21:30 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofia Nurvita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: penggunaan aplikasi digital. Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: penggunaan aplikasi digital. Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Sore tadi, saya mendapat pemberitahuan bahwa ruang penyimpanan yang ada pada ponsel saya sudah mendekati limit. Saya begitu kaget saat memeriksa ternyata begitu banyak aplikasi yang saya unduh. Pantas saja, selama ini performa kecepatannya sangat tidak maksimal. Kasihan, pasti dia kelelahan, pikir saya.
ADVERTISEMENT
Seketika saya teringat sebuah kabar yang cukup ramai diperbincangkan di media akhir-akhir ini terkait aplikasi. Hampir semua timeline di media sosial, membahas pernyataan Menteri Keuangan, Ibu Sri Mulyani yang menyoroti banyaknya aplikasi pada Kementerian/Lembaga.
Ibu Sri Mulyani menyebutkan, bahwa berdasarkan informasi yang diterimanya, saat ini terdapat 24.000 aplikasi yang dikembangkan oleh Kementerian/Lembaga. Menurut saya, jumlah tersebut memang merupakan angka yang fantastis. Bayangkan saja, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk pembuatan dan perawatan aplikasi sebanyak itu.
Dalam pernyataannya, beliau juga menyampaikan fakta bahwa tidak semua aplikasi tersebut dipergunakan secara benar, atau istilahnya ‘malfungsi’. Sungguh ironis, karena semangat awal pemerintah mulai menggalakkan inovasi digital, adalah untuk efisiensi biaya dan efektivitas kinerja. Sedangkan dengan begitu banyaknya aplikasi ini, malah membuat biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah menjadi semakin boros.
ADVERTISEMENT
Timbul pertanyaan dalam hati saya, sebenarnya apa yang membuat aplikasi ini tumbuh subur bagai jamur dimusim hujan? Lalu saya teringat, bahwa saat ini pemerintah mengembangkan metode baru dalam pendidikan dan pelatihan ASN.
Beberapa teman pernah bercerita, bahwa saat ini penyusunan proyek perubahan adalah syarat mutlak agar bisa lulus diklat yang diikutinya. Sayangnya, paradigma bahwa proyek perubahan harus berbentuk inovasi digital ini sepertinya sudah mengakar dalam mindset peserta diklat. Tak ayal, begitu banyak tercipta sistem aplikasi sebagai keluaran proyek perubahan. Lebih disayangkan lagi, aplikasi yang telah diciptakan ternyata tidak digunakan secara maksimal.
Saya sering menjumpai sebuah aplikasi yang hanya dijadikan sebagai bahan laporan proyek perubahan saja. Tidak dikembangkan lagi, atau bahkan tidak dipergunakan dalam melaksanakan tugas sehari-hari instansi. Akibatnya, jumlah aplikasi yang "nganggur" ini menjadi semakin banyak, dan jelas hal itu merugikan keuangan negara.
ADVERTISEMENT
Semangat transformasi digital sedang hangat-hangatnya digalakan oleh pemerintah. Karena adanya perubahan tatanan kerja saat ini, penggunaan teknologi memang sangat dibutuhkan oleh semua pihak, termasuk di lingkungan pemerintahan. Oleh karenanya, pemerintah mulai menggaungkan transformasi digital pada semua lini.
Padahal, transformasi digital ini tidak bisa hanya melibatkan media teknologi saja. People atau orang yang terlibat di dalamnya lah yang memegang peran kunci. Untuk itulah, perlu adanya perubahan mindset bagi pihak-pihak yang nantinya akan terlibat dalam transformasi digital.
Dalam dua tahun ini, ada sebuah kata yang cukup sering saya temui, baik dari tulisan media, jurnal atau dari webinar yang kini mulai menjamur. Kata sakti itu ialah agile atau agility. Semenjak pandemi berlangsung, kata agility ini cukup populer dikalangan masyarakat. Lalu, apa sebenarnya arti kata tersebut dan mengapa dia disebut sebagai “sesuatu yang harus dimiliki di era ini”?
ADVERTISEMENT
Dari beberapa sumber yang pernah saya baca, disebutkan bahwa agility (kelincahan) merupakan kemampuan seseorang untuk bisa beradaptasi dengan cepat, sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Dengan kemampuan ini, seseorang akan mampu belajar sesuatu yang baru dengan cepat.
Bila menilik pada kasus di atas, saya berpendapat bahwa agility ini sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah pengambil kebijakan yang akan mewarnai iklim kerja dan menentukan arah organisasi. Oleh karenanya, dia memiliki peran yang sangat penting dalam membawa organisasinya kearah yang lebih adaptif terhadap perubahan. Kepemimpinan dengan model seperti inilah, yang oleh sebagian besar pakar disebut sebagai Agile Leadership.
Seseorang yang memiliki agility yang baik, biasanya akan tercermin dari perilaku mereka. Beberapa contoh perilakunya, adalah mereka akan selalu memantau bagaimana kondisi dan situasi terkini yang berkembang pada masyarakat. Baik dari segi perkembangan teknologi maupun pergeseran kebutuhan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, mereka akan mampu mengambil keputusan berdasarkan data dan fakta yang ada. Hal ini sebagai modal mereka untuk dapat mengambil keputusan secara lebih objektif dan sesuai dengan permasalahan yang ada.
Yang terakhir, seorang pemimpin yang agile juga akan mampu mengambil keputusan dan bertindak dengan cepat. Bukan asal bertindak, namun tentunya dengan perhitungan dan analisa yang matang.
Perilaku tersebut dapat tercermin dari sebuah kebijakan yang diterapkan oleh pimpinan yang agile. Dia akan memulai proses transformasi digital dengan perencanaan yang matang. Salah satunya, dengan menggali data dan informasi terkait sistem aplikasi apa saja yang memang menjadi kebutuhan organisasinya.
Dengan bekal perencanaan tersebut, dia akan mempunyai pedoman terkait inovasi digital mana yang perlu dia setujui dan mana yang tidak. Hal ini berguna untuk menghindari adanya pengembangan sistem aplikasi yang akhirnya menjadi "malfungsi" karena tidak dibutuhkan oleh organisasinya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, setelah dia mengambil keputusan, maka dia akan mengerahkan dukungan penuh untuk pengembangan aplikasi. Hal ini dia lakukan, karena dia paham bahwa aplikasi tersebut memang sangat dibutuhkan untuk efisiensi dan efektivitas kinerja organisasinya.
Terakhir, dengan otoritasnya sebagai pengambil keputusan, dia dapat memastikan penggunaan aplikasi tersebut secara optimal. Dengan demikian, inovasi digital yang dikembangkan benar-benar akan membawa dampak yang baik bagi kinerja organisasinya atau bagi masyarakat.
Setelah memahami konsep tersebut, akhirnya saya tersenyum. Senyum getir sebenarnya. Mengingat entah berapa persen dari pimpinan kita yang memiliki kompetensi agility ini. Mungkin saja jumlahnya banyak, hanya saja terselubung dan tidak tampak di permukaan.
Bagaimanapun juga, pengukuran kompetensi ini sangat diperlukan. Baik bagi pimpinan yang sudah menduduki jabatan saat ini, atau para talent yang akan menjadi calon pimpinan.
ADVERTISEMENT
Jangan lagi, jabatan tertinggi organisasi pemerintahan diduduki oleh orang-orang yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan. Tidak mampu bertindak cepat dalam mengakomodir pelaksanaannya. Jangan lagi, uang rakyat terbuang sia-sia demi sebuah inovasi digital yang entah bagaimana pelaksanaannya.