Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kini Aku Percaya Mereka Ada
19 Oktober 2022 14:24 WIB
Tulisan dari Nurwahiddatur Rohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kalian tahu pohon nangka di pertigaan sana, kan?” Joko membuka obrolan, setelah kami saling diam karena capai bermain kartu. Wajah kami juga sudah penuh dengan coretan tepung. Kami pun asyik menyantap tempe goreng dan martabak yang tersedia.
ADVERTISEMENT
Aku malas dengan arah pembicaraan ini. Aku melihat jam di ponselku yang baterainya sudah merah.
Setiap malam Minggu, aku bersama teman-teman pemuda RW selalu kumpul di rumah Nanda, karena rumahnya yang paling strategis, berada di tengah-tengah antara rumah kami semua.
“Iya, kenapa, Jok?” Nanda antusias menuntut penjelasan lanjut, dari tubuhnya yang mulanya bersandar, seketika terangkat lalu condong ke arah Joko duduk.
Joko berusaha menghabiskan tempe goreng di mulutnya. “Dua hari yang lalu, ketika bapakku ronda, katanya dia melihat Mr. P di pohon itu.”
Begitu memang kami menyebutnya sebagai pengganti sosok pocong. Tante K untuk kuntilanak. Om Wowo untuk genderuwo. Bocah T untuk tuyul. Konon, kalau kita menyebut jenis dari mereka secara terang-terangan, mereka akan merasa terpanggil, dan ikut hadir dalam pembicaraan kita. Entahlah.
ADVERTISEMENT
“Ah, karung yang bungkus nangka kali,” ucapku yang tidak pernah percaya dengan hal-hal seperti itu. “Kan, udah ada tuh buah nangkanya, dikarungin biar enggak diserang ulat.”
“Mana ada karung melayang, dan tingginya tiga meteran!” Joko sedikit menekan nada bicaranya. “Bapakku sampai demam itu di rumah.”
“Terus-terus …,” ucap yang lain sambil mengibaskan tangannya ke arahku. Perintah untukku diam, dan tanda supaya Joko mengabaikanku.
“Bentar, itu berarti pas malam Jumat enggak, sih?” tanya Nanda.
Joko mengangguk. “Jadi, begitu bapakku lewat di pertigaan sana, dia mencium bau amis banget, sampai-sampai menutup hidungnya, sambil bertanya ke temannya yang justru heran karena enggak mencium bau apa-apa.”
Nanda mengusap leher belakangnya. “Merinding aku, Woy!”
Joko pula menunjukkan bulu-bulu tangannya yang berdiri. “Nah, bodohnya bapakku itu, dia malah mencari sumber bau itu,” Joko merendahkan intonasinya bercerita, “sampai akhirnya bapakku mendongak ke atas pohon nangka, di sana dia melihat Mr. P melayang, wajahnya, iiiih hitam kemerahan gosong gitu, terus matanya si Mr. P ini ... menggantung satu di pi—“
ADVERTISEMENT
Cekrek! Pintu terbuka lalu menyembul gadis dengan masker putih di wajahnya, berhasil membuat Joko bersama pendengar horornya menjerit.
“Aaargh!”
Aku terbahak sendiri melihat ekspresi kaget sekaligus takut mereka ketika berteriak. Terpingkal-pingkal sampai perutku keram.
“Uci sialan!” Nanda melempar kartu remi ke arah adiknya yang hanya mau mengambil sepatunya yang tertinggal di teras. Lalu kembali masuk rumah.
Mereka semua mengatur napas, dadanya naik-turun, aku yakin jantung-jantung mereka terasa mau pecah. Sedangkan aku memegangi perut dan rahang yang kejang karena gelak.
Joko ternyata tidak sanggup melanjutkan ceritanya. Justru memutuskan untuk pamit. Kami juga menyusul pulang, setelah membersihkan wajah. Kami bersamaan meninggalkan teras, dan menuju motor masing-masing.
“Hati-hati, Men,” ucap Joko dengan suara diberat-beratkan.
ADVERTISEMENT
“Eh, iya, cuma kamu, Men, arah pulangnya melewati pohon nangka itu.” Nanda memperjelas sesuatu yang sama sekali tidak aku butuhkan.
Aku menghela napas. “Aman,” jawabku malas. Mereka kira aku takut apa, ya.
Motor kubawa dengan kecepatan 60 km per jam, kebetulan jalanan saat itu sangat sepi, tidak seperti biasanya. Padahal malam minggu. Apa karena memang sudah terlalu larut malam. Terakhir aku lihat jam ketika Joko masih bercerita sudah pukul sebelas lewat empat puluh.
Beberapa meter ke depan, aku akan sampai di pertigaan yang tadi diceritakan. Sudah terlihat pohon nangka beserta karung-karung yang membungkus buah-buahnya. Entah kenapa bagian leher belakangku terasa berdesir.
Aku kembali mengalihkan pandangan ke depan. Sepersekian detik kemudian, ada kucing hitam berlari menyeberang dari sebelah kanan, di mana pohon nangka itu berdiri. “Allahu akbar!” Aku melihat kucing itu terlindas olehku, jantung sudah berdegub tak karuan. Aku menghentikan laju motor, lalu melihat ke belakang memastikan kondisi kucing tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun, hewan yang jelas-jelas tertabrak, bahkan aku melihatnya terlindas itu justru berguling-guling masuk ke parit. Lutut bergetar hebat. Aku mengeluarkan ponsel, mati. Asem! Kenapa enggak ada kendaraan yang lewat, sih? Aku sudah mulai cemas.
Huh! Aku menghembuskan napas kuat-kuat, kemudian turun dari motor menuju di mana lokasi kucing itu jatuh. “Pus … pus ….” Harapku bisa mendengar suara kucing. Pandanganku awas melihat ke dalam parit yang ditumbui banyak rerumputan. “Pus ….”
Aku kembali melihat ke jalan, benar-benar tidak ada tanda-tanda kendaraan yang melintas. Tubuhku sudah basah dengan peluh. Aku mengecek kembali ke parit. Nihil. Seketika itu juga, aku berlari menuju motor, dan pulang dengan buru-buru.
Dalam benakku terputar kembali bagaimana dengan jelas kucing hitam itu terlindas, kemudian berguling-guling masuk ke parit yang kering.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di rumah, aku mengetuk pintu dengan cepat dan keras, lalu mengetuk jendela kamar nenek, yang ruangannya sebelahan dengan ruang tamu.
Terdengar suara gerutu nenek sedikit melegakanku. Begitu pintu terbuka bersamaan omelan nenek, aku langsung menarik tangannya untuk ikut. Pintu terkunci. Nenek pasrah duduk di jok belakang.
Tangan nenek memukul punggungku. “Ada apa, sih?”
Aku menceritakan apa yang terjadi dengan sedikit berteriak.
“Ada-ada saja! Makanya kalau nyetir hati-hati!” Kali ini kepalaku yang ditoyor olehnya.
Begitu sampai di pertigaan. Aku menghindari untuk melihat pohon nangka yang berdiri di sudut tikungan. Langsung turun ke parit, lalu menyibak-nyibak rerumputan dengan kaki, tetap tidak ada. Saking prustasinya aku, tanganku ikut bekerja memastikan adanya kucing hitam yang beberapa menit yang lalu aku tabrak.
ADVERTISEMENT
Aku menyerah, berusaha meluruskan pinggang sambil membersihkan tangan. Namun, bulu kudukku seketika berdiri, begitu melihat bayangan pohon nangka yang berada di belakang tubuh nenek.
Aku langsung keluar dari parit. Mengajak nenek untuk pulang. Kembali ocehan nenek yang kuterima sepanjang pulang, tapi itu sama sekali tidak bisa mengalihkan kejanggalan-kejanggalan di pikiranku.
Sesampainya di rumah, setelah aku membersihkan diri. Aku rebahkan tubuh di kasur dengan perasaan lebih cemas. Mengingat ada mitos kalau menabrak kucing, terlebih kucing hitam kalau tidak bertanggung jawab dengan menguburnya akan datang kesialan. Aku mencoba memejamkan mata, berusaha untuk tidur.
Kejadian semalam benar-benar membuat susah tidur. Tubuhku terasa pegal-pegal dan kaku. Setelah langit mulai terang, aku kembali menuju ke pertigaan. Terlihat hanya ada satu buah yang terbungkus karung. Aku bergidik mengingat semalam ada sekitar tiga karung di pohon itu.
ADVERTISEMENT
Jalanan mulai ramai. Aku turun lagi ke parit. Kakiku sibuk menyibak rumput-rumput. Tidak lama kemudian ada seorang berhenti.
“Nyari apa, Men?”
Aku menengok. Ternyata Pak Eri, sepertinya dari pasar terlihat banyak belanjaan tergantung di motornya. “Nyari kucing yang semalam aku tabrak, Pak.”
Pak Eri menghela napas. “Warna hitam kucingnya?”
Aku berhenti, lalu keluar dari parit. “Di mana, Pak, kucingnya?”
Pak Eri justru melihat ke arah pohon nangka. Mulutnya terlihat komat-kamit. Seketika bulu-bulu halus di tubuhku meremang. Pak Eri ini memang dikenal memiliki kemampuan yang tidak dimiliki manusia pada umumnya.
Pak Eri kemudian memandangiku, menatap cukup lama tepat di kedua mataku. Aku merasakan leher bagian belakangku meremang. Kemudian dia mengusap wajahnya.
ADVERTISEMENT
“Syukur kamu semalam begitu menabrak kucing itu, kamu ingat Tuhanmu. Kalau enggak, kamu yang masuk ke dalam parit.”
Aku terdiam setelah mendengar penjelasannya. Masuk ke parit dengan kecepatan 60 km per jam, ditambah semalam keadaan benar-benar sepi, apa jadinya aku.
“Sudah, enggak usah dipikir. Udah dulu, bapak mau pulang,” ucap Pak Eri menyadarkan lamunanku memandang parit yang dalamnya kira-kira tujuh puluh sentimeter, sepahaku.
“Eh, iya, Pak. Terima kasih banyak ya, Pak.” Aku sedikit menangguk begitu Pak Eri menarik tuas gas meninggalkanku.
Aku menoleh sejenak ke pohon nangka, melihat daunnya yang sangat rimbun. Bibirku pun mengembang secara otomatis. Sekarang aku percaya, kalau yang hidup di bumi ini tidak hanya yang tampak. Ada “mereka” yang tak kasat mata, hanya saja dalam dimensi yang berbeda. Aku pulang dengan rasa penasaran akan kucing hitam itu, sampai sekarang. []
ADVERTISEMENT