Konten dari Pengguna

Pemeliharaan Budaya dan Perlindungan Anak: Paradoks Pariwisata Lokal

NURYANI
MAHASISWA PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
30 Mei 2024 18:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NURYANI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Joki memacu kuda pada Pacuan Kuda Cibogo, Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat, Minggu (2/10/2022). Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Joki memacu kuda pada Pacuan Kuda Cibogo, Tanjungsari, Sumedang, Jawa Barat, Minggu (2/10/2022). Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pariwisata lokal sering kali menjadi panggung bagi keberagaman budaya yang kaya dan warisan tradisional yang tak ternilai. Dalam konteks ini, praktik tradisional seperti pacuan kuda telah menjadi salah satu ikon yang tak terpisahkan dari identitas budaya di banyak komunitas pedesaan.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik megahnya pacuan kuda dan gemerlapnya festival tradisional, tersembunyi sebuah paradoks yang mendalam: bagaimana menjaga keseimbangan antara pemeliharaan nilai-nilai budaya dan perlindungan anak-anak dari eksploitasi?
Praktik penggunaan anak-anak sebagai joki dalam pacuan kuda telah menjadi subjek perdebatan yang kompleks. Sebagian melihatnya sebagai pembelajaran budaya yang tak ternilai, di mana anak-anak mewarisi keterampilan dan pengetahuan dari generasi sebelumnya.
Namun, realitas di lapangan seringkali jauh dari citra idilis tersebut. Anak-anak yang menjadi joki pacuan kuda seringkali terpapar risiko cedera fisik yang signifikan akibat tekanan kompetisi yang tinggi dan kondisi kerja yang keras.
Studi dan laporan lapangan telah secara konsisten mengungkapkan kondisi kerja yang tidak manusiawi bagi anak-anak joki. Mereka terpaksa menghadapi tekanan fisik yang berlebihan, seperti berlari cepat, berputar, dan bergerak dengan cepat di atas kuda yang kuat, yang berpotensi menyebabkan cedera tulang, otot, dan bahkan dampak psikologis seperti stres dan depresi.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, perlu diakui bahwa praktik tradisional seperti pacuan kuda juga memiliki potensi untuk memberikan manfaat bagi anak-anak. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa permainan tradisional dapat meningkatkan kemampuan fisik motorik anak-anak dan motivasi mereka dalam belajar, terutama dalam konteks pendidikan jasmani. Ini menimbulkan dilema moral yang kompleks: bagaimana kita dapat menyeimbangkan perlindungan anak dengan pemeliharaan nilai-nilai budaya?
Tantangan terbesar dihadapi ketika kita menyadari bahwa pemeliharaan warisan budaya sering kali berjalan seiring dengan eksploitasi anak. Dalam menghadapi paradoks ini, perlu adanya pendekatan yang holistik dan berkelanjutan.
Pertama, diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak anak dan bahaya eksploitasi yang terkait dengan praktik seperti pacuan kuda. Ini melibatkan edukasi masyarakat, kampanye kesadaran, dan pelaksanaan kebijakan yang efektif.
ADVERTISEMENT
Kedua, penting untuk mengembangkan alternatif yang aman dan bermartabat bagi anak-anak yang terlibat dalam pacuan kuda. Ini dapat melibatkan program pelatihan yang memungkinkan anak-anak untuk tetap terlibat dalam kegiatan budaya tanpa mengorbankan kesejahteraan mereka. Pengawasan yang ketat dan perlindungan hukum yang kuat juga diperlukan untuk memastikan keselamatan anak-anak dalam setiap aspek praktik pacuan kuda.
Selain itu, partisipasi aktif anak-anak dalam pengelolaan warisan budaya mereka sendiri juga merupakan langkah penting dalam menjaga keseimbangan antara pemeliharaan nilai-nilai budaya dan perlindungan anak. Dengan memberikan mereka kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan terkait seperti kerajinan tradisional atau program edukasi budaya, kita dapat memperkuat rasa identitas dan kebanggaan mereka terhadap budaya lokal mereka tanpa mengorbankan kesejahteraan mereka.
ADVERTISEMENT
Hal di atas juga telah di jelaskan diUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menjamin perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi joki pacuan kuda. Pasal 20 dari Undang-Undang ini menjabarkan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, dan keluarga memiliki tanggung jawab untuk melindungi anak dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan ini mencakup upaya perlindungan anak dari tindak kekerasan dan diskriminasi, serta memberikan bantuan hukum kepada anak yang menjadi korban tindak kekerasan dan diskriminasi.
Berdasarkan terhadap Undang-undang di atas, dalam konteks pembangunan berkelanjutan, penting untuk diingat bahwa hak asasi manusia, termasuk hak anak-anak, harus menjadi pusat dari segala kebijakan dan praktik. Perlindungan anak dan pemeliharaan nilai-nilai budaya tidak boleh dipisahkan, tetapi harus diintegrasikan secara holistik untuk mencapai keseimbangan yang berkelanjutan dalam pariwisata lokal.
ADVERTISEMENT
Hanya dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa pacuan kuda dan praktik tradisional lainnya tetap hidup sementara anak-anak dilindungi dan diberdayakan untuk masa depan yang lebih baik.