Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Ambisi Menjadi Juara
23 Maret 2023 17:10 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Nuryum Saidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Ayo, kamu bisa!"
Kalimat bermantera itu diteriakkan keras-keras oleh seorang coach rugby kepada salah satu anak didiknya.
ADVERTISEMENT
Itu adalah adegan film yang diputarkan oleh seorang pembicara untuk mengawali pelatihan yang dihadiri oleh para guru di sekolah tempat saya mengajar. Sang pembicara tidak menyebutkan apa judul film itu. Cuplikan film itu menceritakan saat sesi latihan fisik, seorang anak menertawakan kemampuan temannya yang masih belum kuat menahan beban.
Mendengar itu, sang coach bersegera meminta anak yang ditertawakan temannya itu untuk berjalan merangkak sambil menggendong temannya di atas punggungnya dengan mata tertutup. Dia diminta untuk terus dan terus merangkak. Ketika dia mulai kelelahan dan ingin menyerah, Sang coach terus berteriak menyemangatinya agar tidak berhenti.
Sampai di satu titik yang diinginkan sang coach, dia diminta untuk berhenti. Menyaksikan pemandangan itu, semua temannya takjub. Ketika dia membuka penutup matanya, dia menyaksikan bahwa ternyata dia bisa melampaui apa yang teman-temannya kira dia tidak bisa menjangkaunya.
ADVERTISEMENT
Setelah diputarkan adegan film di ruangan pelatihan itu, hampir semua guru bertepuk tangan. Adegan itu seperti menohok para guru yang juga adalah seorang coach bagi murid-muridnya di kelas. Coach handal akan mengoptimalkan energinya untuk membentuk karakter anak didiknya menjadi sosok yang luar biasa.
Adegan dalam film itu kembali berputar di kepala. Sayangnya, saya dan suami bukan mengalami kejadian serupa. Berjumpa dengan seorang coach yang luar biasa. Kejadian ini sangat bertolak belakang dengan film itu.
***
Bermain atau menonton pertandingan sepak bola menjadi kegemaran tersendiri bagi anak laki-laki dan suami. Sedangkan bagi saya, itu adalah sesuatu yang membosankan. Jika diajak mengantar anak laki-laki untuk bertanding, saya meluncurkan berbagai alasan. Mulai dari harus mencuci, menyetrika, masak atau karena pengen selonjoran plus tiduran. Sehingga, saya pun terbebas dari aktivitas menonton pertandingan yang memperebutkan si bundar.
ADVERTISEMENT
Kali ini pertandingan swaliga yang digelar antar SSB (Sekolah Sepak Bola) yang ada di wilayah selatan kota, kembali dimulai. Jika tahun lalu SSB tempat anak laki-laki berlatih bola menjadi juara. Maka, kali ini mereka harus lebih ekstra tenaga, strategi dan kepiawaian bermain bola. Pasalnya, SSB lainnya sangat mempersiapkan diri agar menjadi juara.
Sepulang dari pertandingan, suami bercerita kejadian saat swaliga putaran pertama. Tim anak laki-laki kami berhadapan dengan tim dari SSB (sebut saja SSB Meteor). Beberapa menit pertandingan berlangsung, gawang tim lawan sudah jebol dua kali. Harapan untuk bisa membalas kekalahan sangat tipis. Sudah injury time.
Sumpah serapah para suporter terdengar nyaring hingga ke tengah lapangan. Bukan semakin menggelontorkan semangat kepada anak-anak yang sudah berkucuran keringat. Malahan tambah menyiutkan nyali anak-anak.
ADVERTISEMENT
Peluit tanda pertandingan usai pun berbunyi. Tim lawan harus menelan kekalahan. Bukankah memang ada yang kalah dan ada yang menang. Hal biasa dalam setiap pertandingan. Meski tim yang kalah pasti merasakan kecewa.
Namun, kekecewaan anak-anak itu semakin berlipat saat mereka mengetahui pelatih dan official manajemen dari SSB mereka sudah tidak ada lagi di arena pertandingan. Mereka sudah meninggalkan anak-anak didiknya sebelum pluit berbunyi. Rupanya, sang coach tidak tahan untuk menerima kekalahan tim binaannya.
Yang masih setia mendampingi anak-anak adalah orang tua mereka sendiri. Meski para orang tua mengeluhkan kekalahan anak-anaknya dengan menghujani berbagai nasihat "mlayune kurang banter, makane kalah"(larinya kurang cepat, makanya kalah). Ada juga bapak-bapak yang menyodorkan minuman ke anaknya sambil sedikit mengomel, "ojo wedi karo bal, bal iku gak langsung diumpanno, polene kalah"(jangan takut sama bola, bola jangan langsung diumpankan, makanya kalah) Dan berbagai pernyataan yang membuat mereka seperti sebuah peribahasa, "Sudah jatuh, tertimpa tangga".
ADVERTISEMENT
"Sebegitukah keinginan untuk menang? Ini pertandingan anak-anak. Anak-anak pasti sedih dan bisa-bisa takut ikut kompetisi lagi. Anak-anak belajar bermain sepak bola bukan untuk langsung jadi juara," omel saya pada suami setelah dia selesai bercerita. Kekesalan yang sama juga dirasakannya, meski tanpa mengomel seperti saya.
Kejadian mengenaskan dan memilukan terjadi kembali di swaliga tahun ini juga. Sepulang dari pertandingan, anak laki-laki agak bersedih. Di putaran kedua swaliga ini timnya mendapatkan kekalahan. Memang, tim lawan sama usianya. Hanya saja, SSB tim lawan tidak diisi oleh anak-anak didiknya sendiri. Manajemen dan pelatih SSB itu menggunakan strategi dengan mengambil pemain luar yang sudah berpengalaman dan lebih terlatih. Tentu saja, agar probabilitas menjadi juara menjadi lebih besar. Nama baik SSB merekapun akan menjadi bersinar.
ADVERTISEMENT
Strategi mereka berhasil. Di putaran kedua ini tim SSB mereka mendapatkan poin kemenangan. Meski mendapatkan kemenangan, anak didik mereka mendapatkan kekecewaan. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk bertanding.
"Diadakan swaliga itu biar anak didik tiap SSB punya pengalaman bertanding setelah mereka berlatih di SSB nya" jelas suami lagi.
Alih-alih, mengajarkan teknik bertanding yang baik dan cara bermain yang sportif, sang coach hanya mengejar gengsi dan ambisi. Maka, tak heran di beberapa SSB, banyak anak didik mereka yang tidak mau melanjutkan latihannya lagi. Mereka, anak-anak yang sebenarnya memiliki potensi besar itu menjadi ngambek. Mereka lebih memilih mengalihkan energi dan potensi mereka pada aktivitas lain yang kurang bermanfaat.
Meski saya bukan penghobi bola, melihat kondisi demikian, sungguh eman-eman rasanya. Bisa jadi anak-anak yang dianggap belum mahir itu dan anak-anak yang telah kalah dalam satu pertandingan itu adalah anak-anak yang akan membawa nama baik persepakbolaan Indonesia, jika mereka dilatih dengan baik oleh pelatih yang tepat.
ADVERTISEMENT
Hanya karena berada di tangan pelatih dan iklim yang tidak mendukung, anak-anak itu seperti bunga yang layu sebelum berkembang.
Bagaimana dengan iklim pesepakbola an Indonesia keseluruhan? Tentu lebih kompleks dan mengerikan pastinya. Itulah mengapa Indonesia masih belum bisa bangkit persepakbolaannya bahkan jika dibandingkan dengan negara tetangga.
Akankah ini semua berubah. Kita tunggu saja sambil berdoa.