Konten dari Pengguna

Sejarah Permasalahan Tanah adat di Sabah, Malaysia

Nusuma Tifani
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Jember
20 April 2022 13:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nusuma Tifani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Picture By: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Picture By: Pixabay
ADVERTISEMENT
The North Borneo Chartered Company (Selanjutnya akan di sebut dengan NBCC) merupakan perusaan yang memiliki tugas dalam mengelola wilayah Borneo Utara. NBCC sendiri didirikan pada 1881 ketika asia tenggara masih dibawah pemerintah kolonial.
ADVERTISEMENT
NBCC juga memiliki misi ganda yakni yang pertama adalah bentuk keprihatinannya terhadap pertumbuhan ekonomi melalui eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) wilayah tersebut. Sedangkan yang kedua adalah NBCC memiliki kewajiban untuk menghormati hak-hak yang dimiliki masyarakat asli dan juga adat istiadat masyarakat asli.
Namun berikutnya terdapat konflik yang tidak dapat dipisahkan dari dua pertimbangan tersebut. Seperti hak-hak properti dan juga institusi hukum dari masyarakat asli yang harus dihormati NBCC menyebabkan munculnya hambatan dalam perluasan wilayah pertania. Dan akibat hal tersebutlah NBCC mau tidak mau menerapkan sistem plularisme hukum. Dimana dalam penerapannya beberapa hak masyarakat asli akan tetap di hormati dengan ketentuan tidak menghambat eksploitasi komersial dari NBCC. Sedangkan untuk hukum adat yang dapat menghambat eksploitasi komersial tanah maka akan di gantikan dengan konsep hukum dari Barat.
ADVERTISEMENT
Tumbuhnya Plularisme hukum dalam perundang-undangan Tanah
Gubernur pertama Borneo Utara, Willian Treacher, mencurahkan banyak perhatiannya terhadap penghapusan perbudakan di wilayah tersebut. Adapun perhatian trsebut semata-mata merupakan desakan dari Court of Directors dan lobi anti perbudakan di Inggris. Treacher memberikan sedikit perhatiannya terhadap perumusan undang-undang pertanahan. Adapun 2 buah undang-undang yang di tetapkan oleh Treacher, yakni Proklamasi 23 yang di tetapkan pada 1881 dan Proklamasi Tanah 1885, namun keduanya gagal dalam memahami hak-hak masyarakat asli atas tanah adat.
Undang-undang yang membahas mengenai Hak masyarakat asli atas tanah adat hanya tercantum pada Pasal 26 dan 27 dari dokumen 1885. Treacher disini menempatkan otoritas tertinggi atas tanah di tangan Negara dengan menolak pemberian izin bagi masyarakat asli dalam membeli ataupun menjual tanah kepada orang asing, dengan pengecualian Negara menjadi mediasinya.
ADVERTISEMENT
Proklamasi 1985 dianggap lebih menimbulkan kerusakan terhadap hak masyarakat asli atas tanah bila dibandingkan dengan peraturan berikutnya yang dianggap lebih koprehensif. Proklamasi 1885 merupakan hukum pertama mengatur landasan untuk hukum berikutnya dan menetapkan secara tegas bahwa Negara adalah otoritas tertinggi atas tanah. Berdasarkan proklamasi tersebut, hak masyarakat asli atas tanah secara otomatis harus ditangani oleh Negara dan dibuat sesuai dengan agenda Negara yang lebih luas yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi.
Sumber Bacaan
Colchester, Marcus dan Chao Sopie.2012. Beragam Jalur Menuju Keadilan : Plularisme Hukum dan Hak-Hak Masyarakat adat di Asia Tenggara. Epistema Institute