Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Satu Negara Diacak-Acak Satu Keluarga
29 Juni 2024 12:05 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Nyimas Ratu Intan Harleysha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada November 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat lain yang dipilih melalui pemilu dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu.
ADVERTISEMENT
Hal ini memudahkan Gibran Rakabuming Raka yang pada saat itu belum berusia 40 tahun menjadi calon wakil presiden melalui jalur Walikota Surakarta. Belum selesai huru-hara terkait MK yang mengubah ketentuan calon wakil presiden pada Pilpres 2024 kemarin agar Gibran memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri, lembaga negara lain ikut berulah.
Mahkamah Agung (MA) mengubah kebijakan batas usia calon kepala daerah paling rendah menjadi 30 tahun. Hal ini mencurigakan sebab Pilkada Serentak 2024 tinggal 6 bulan lagi. Kebetulan, Budi Djiwandono, keponakan Prabowo Subianto, dan Kaesang Pangarep, putra Joko Widodo, akan maju sebagai paslon gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
Perlu diingat bahwa artikel ini dibuat pada bulan Juni dan Kaesang masih berusia 29 tahun. Saya mencurigai adanya indikasi permainan politik dinasti melalui jalur nepotisme. Jika memang benar ini yang sedang terjadi, masa depan pemerintahan Indonesia akan bermasalah.
ADVERTISEMENT
Menurut KBBI, “nepotisme” diartikan sebagai kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah, Keputusan oleh MA dan MK yang kontroversial ini membuat masyarakat bertanya-tanya: apakah negara kami hanya menjadi permainan bagi mereka?
Pemerintah sepertinya mudah sekali mengotak-atik ketentuan menjabat demi anak presiden. Dengan adanya indikasi nepotisme, tidak mengejutkan kalau praktik demokrasi di Indonesia akan semakin dikekang.
Praktik demokrasi senantiasa dipengaruhi oleh pemegang kekuasaan. Mereka memiliki hak khusus (privilege) dalam menentukan arah kebebasan berpendapat di era yang sedang dijalankan. Melalui putusan MA, ini akan membuka peluang bagi semua anak muda yang terafiliasi kuat dengan politik dinasti dan hubungan keluarga.
Elit politik dengan mudah menjadikan hukum sebagai alat kuasa. Ini pun menjadi ketidakadilan bagi masyarakat Indonesia yang semakin hari semakin tersiksa dengan kebijakan-kebijakan yang terus mempersulit hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Sepertinya melalui keputusan kontroversial ini, sebutan masyarakat bagi MA dan MK sangat cocok: Mahkamah Adik dan Mahkamah Kakak (atau bisa juga Mahkamah Keluarga). Penting bagi kita sebagai rakyat Indonesia untuk terus menyuarakan kekecewaan terhadap pemerintah. Suara kita tidak dapat dibungkam.
Suara kita tidak dapat dibeli. Setiap individu memiliki hak untuk berpendapat. Dengan menulis, karya kita dapat menjadi arsip tentang bagaimana rusaknya pemerintahan saat ini.