Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perempuan Pekerja Industri Kreatif di Indonesia dan Orange Economy
27 Desember 2022 19:40 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Clara Listya Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jika Anda pernah mendengar nama Nia Dinata, Anne Avantie, dan Ni Luh Djelantik, mereka adalah contoh perempuan Indonesia yang aktif berkarya lewat sektor industri kreatif dan telah turut serta dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Contohnya adalah sepatu karya Ni Luh yang telah merambah pasar internasional dan pernah dipakai oleh artis Julia Roberts dalam film Eat, Pray and Love.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti yang lumrah kita dengar dengan blue dan green economy, istilah orange economy merujuk pada sektor ekonomi kreatif yang mencakup beberapa bidang seperti seperti industri per-film-an, musik, kerajinan/kriya, hingga industri fesyen. Isu ini menjadi penting karena menurut data yang dihimpun oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), industri dan ekonomi kreatif di Indonesia saat ini didominasi oleh tenaga kerja perempuan sebesar 53,86%.
Namun, di balik kesuksesan dan kerja keras ketiga nama tersebut, dan banyak perempuan lainnya, mereka justru adalah kaum yang paling rentan di sektor ini. Penulis memahami bahwa para perempuan dalam sektor industri kreatif menghadapi berbagai tantangan baik teknis maupun kultural, termasuk kesenjangan gender. Untuk itu, dalam tulisan ini akan memusatkan fokus pada tiga argumen, yaitu dampak pandemi COVID-19, adanya fenomena glass ceiling, dan prevalensi stereotip gender.
ADVERTISEMENT
Pertama, dampak pandemi. Satu tahun berjalan, pandemi COVID-19 telah meruntuhkan sektor perekonomian global, termasuk sektor industri kreatif. Kebijakan lock down wilayah, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan melemahnya ekonomi nasional berdampak pada bergesernya pola kerja industri kreatif, dari pekerja kantoran ke pekerjaan lepas dan mandiri. Terlebih lagi bagi para perempuan yang bekerja di sektor ini.
Perempuan memiliki peran ganda sebagai istri atau ibu dalam rumah tangga dan menjalani karier di luar rumah sebagai pekerja di sektor industri kreatif. Uniknya, dampak krisis akibat pandemi COVID-19 memiliki karakteristik yang berbeda dengan dampak akibat krisis ekonomi global lainnya.
Pada tahun 2008, resesi ekonomi yang pernah melanda dunia telah menyebabkan laki-laki kehilangan pekerjaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Alasannya bahwa ketika itu, sektor industri manufaktur dan kontruksi mengalami krisis yang cukup parah, di mana kebanyakan laki-laki bekerja pada dua sektor tersebut. Sementara perempuan terkonsentrasi di sektor-sektor kesehatan dan pendidikan, yang ketika itu tidak mengalami banyak permasalahan ekonomi. Namun sebaliknya, pandemi COVID-19 justru berdampak besar pada pekerjaan jasa pangsa pekerja perempuan yang tinggi, seperti restoran dan rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Keputusan pemerintah untuk menutup sekolah, tempat penitipan anak, hingga restoran telah memaksa para pekerja yang didominasi oleh perempuan untuk bekerja dari rumah atau terpaksa kehilangan pekerjaannya.
Pandemi yang tidak pernah terprediksikan sebelumnya memaksa keadaan untuk cepat berubah dan semua orang mulai beradaptasi dengan hal baru. Secara tidak langsung, pandemi telah menyebabkan beban pekerjaan bagi perempuan menjadi bertambah.
Selain berkutat dengan karirnya sebagai pelaku industri kreatif, kewajiban di tingkat domestik sebagai istri dan ibu rumah tangga justru tidak berkurang. Kebijakan untuk ‘diam di rumah,’ menjadikan perempuan harus menanggung beban ganda. Misalnya, bagi perempuan yang sudah menikah, selain berkarier untuk meningkatkan kapasitas diri dan pendapatan keluarganya, perempuan juga memiliki tanggung jawab lebih dalam mengawasi anak-anaknya yang belajar di rumah, membimbing sekaligus menjadi guru pengganti selama pandemi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, tidak semua orang memahami beban ganda yang dialami perempuan. Hal ini dikarenakan masyarakat kita yang masih erat dengan sistem yang patriarki. Artinya perempuan masih disematkan sebagai kaum yang paling cocok melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik seperti mencuci, memasak, menjaga anak hingga bersih-bersih. Sayangnya, urusan pekerjaan juga ikut dilabelkan. Seolah-olah kini pekerjaan memiliki jenis kelaminnya. Perempuan kerap diasosiasikan dengan pekerjaan seperti menjaga warung, menjual makanan, usaha laundry dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Sedangkan laki-laki, memiliki kebebasan dalam mengeksplorasi pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakatnya sendiri.
Namun nampaknya, adanya pandemi ini juga bisa memberi peluang bagi para pekerja sektor industri kreatif untuk mengembangkan potensi diri. Contohnya adalah apa yang dilakukan Ibu Vony, seorang perupa dari Bali yang penulis sempat wawancarai beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Fleksibilitas ketika pandemi justru dimanfaatkannya dengan memasarkan karya seni lewat platform media sosial. Selain menghantam perekonomian, pandemi justru menciptakan keadaan ‘terpaksa’ bagi orang-orang untuk berkreasi. Dengan fleksibilitas dampak pandemi, pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga semakin nampak terlihat. Hal ini dipengaruhi beberapa keadaan, misalnya karena ekonomi sangat sulit dan banyak yang mengalami lay off dari perusahaan, maka beban untuk mencari pendapatan mampu ternegosiasikan dengan baik. Pandemi justru menjadi jembatan untuk melihat dengan jelas bagaimana bentuk pembagian tugas pada sektor domestik antara laki-laki dan perempuan.
Selain dampak pandemi COVID-19, hambatan glass ceiling masih membelenggu perempuan pekerja di sektor industri kreatif untuk maju. Stereotyping terhadap peran perempuan dalam masyarakat dan masih melekatnya perspektif bias gender menjadi faktor yang memicu munculnya metafora glass ceiling.
ADVERTISEMENT
Istilah “langit-langit kaca” seolah mampu menggambarkan garis demarkasi yang jelas dalam sebuah organisasi atau perusahaan yang membedakan pekerjaan hanya berdasarkan pada gender dan ras, bukan atas kerja keras atau prestasi, sehingga keadaan ini mampu memicu ketidaksetaraan. Ada beberapa hambatan utama dalam perspektif ini, yang dibedakan ke dalam tiga kelompok yaitu societal barriers (hambatan sosial), internal structural barriers (hambatan struktur internal), dan governmental barriers (hambatan pemerintah).
Hambatan-hambatan tersebut secara tidak langsung mampu menurunkan kesempatan perempuan untuk menduduki jabatan tertentu dalam sebuah hierarki di perusahaan atau organisasi. Walau tidak terlihat dengan jelas, hambatan tersebut justru semakin mempertegas bahwa belum adanya pengarusutamaan kesadaran gender di setiap aspek kehidupan bermasyarakat.
Kondisi ini nampaknya juga berlaku bagi para perempuan pekerja di sektor industri kreatif. Untuk mampu menduduki posisi tertentu seperti CEO atau Kepala Divisi Kreatif, para perempuan kerap berhadapan dengan pilihan atas prioritas mana yang harus didahulukan.
ADVERTISEMENT
Bagi yang sudah menikah, pilihan untuk mengutamakan keluarga di atas karier seolah-olah tidak mampu dihindari. Kalau pun memilih untuk tetap aktif berkarya, perempuan setidaknya harus merelakan waktunya dibagi ke dalam beberapa prioritas. Pada akhirnya, peluang untuk mengekplorasi dan meningkatkan kapasitas diri menjadi kian sempit dan terbatas.
Pada tataran individual pun, dengan melihat adanya beban ganda pada perempuan, nampaknya ketika perempuan ingin menjadi yang teratas, ia harus bekerja lebih keras dibandingkan dengan laki-laki. Istilah ‘sticky floor effect’ yang dikenalkan pertama kali oleh Catherine Berheide (1992) juga mampu disematkan pada mayoritas perempuan yang sejak awal meniti karier telah menemui beberapa kesenjangan.
Memilih dan mengorbankan hal-hal yang menjadi prioritas seolah menjadi sebuah keharusan. Lagi-lagi, mengapa perempuan harus memilih?
ADVERTISEMENT
Ketiga, soal prevalensi stereotip gender. Upaya para pekerja di sektor industri kreatif untuk mendukung pemerintah Indonesia membangkitkan orange economy harusnya dapat dibarengi dengan kesadaran gender dalam sub tatanan bermasyarakat. Prevalensi stereotip gender yang telah mengakar dalam masyarakat sedapat mungkin harus mulai direduksi. Mengapa hal ini penting?
Kasus-kasus kekerasan seksual, diskriminasi, hingga kesenjangan upah masih marak dialami oleh para perempuan pekerja di sektor industri kreatif. Menurut catatan dari Kementerian Pemberdayaan Anak dan Perlindungan Perempuan (PPPA) RI, penyanyi dangdut perempuan memiliki beban ganda akibat stigma negatif yang menganggap bahwa mereka tidak hanya dapat menghibur dengan suara yang bagus tapi juga pantas untuk dilecehkan secara verbal dan fisik.
Sayangnya pandangan semacam ini seolah-olah diwajarkan, walaupun ada kesadaran bersama bahwa tindakan itu bukan lagi sebuah candaan, tapi sebuah bentuk pelecehan. Dampaknya, perempuan menjadi merasa tidak aman dan nyaman dalam berkarya. Sehingga akan berpengaruh juga terhadap produktivitas perempuan dalam berkarya. Bila tidak ditanggulangi, kondisi ini akan membuat pembangunan ekonomi lewat orange economy menjadi terkesan tidak inklusif.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi masalah tersebut, upaya yang berkelanjutan untuk mengurangi kesenjangan seharusnya dimulai dari perubahan sikap individu yang nantinya mempengaruhi perubahan sosial. Intervensi masyarakat terhadap isu ini secara langsung diperlukan untuk menghasilkan konsensus bersama mengupayakan perbaikan tatanan komunikasi serta pola pikir masyarakat soal isu gender. Selain itu, pemerintah Indonesia perlu menetapkan payung hukum yang tegas bagi kasus-kasus kekerasan seksual.
Pengesahan RUU PKS yang sampai saat ini masih terhambat, harus dilihat sebagai alert bahwa pemerintah belum benar-benar memprioritaskan isu ini. Padahal, sebagai bagian dari proses pembangunan, gender menjadi bahan pertimbangan yang penting dipikirkan oleh setiap negara. Mempertimbangkan isu gender dalam pembangunan akan menentukan cara melihat bagaimana struktur dan norma-norma sosial dalam masyarakat terbentuk, yang mempengaruhi kehidupan laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Ketiga argumen di atas, yaitu dampak pandemi, fenomena glass ceiling, dan prevalensi stereotip gender menjadi faktor-faktor yang membuat perempuan pekerja industri kreatif di Indonesia mengalami kerentanan untuk mendukung pembangunan lewat orange economy. Minimnya kesadaran masyarakat untuk mengarusutakaman kesadaran gender membuat isu-isu semacam ini dianggap sebagai hal yang biasa saja.
Namun nyatanya, isu semacam ini apabila dibiarkan tentu dapat mengganggu proses pembangunan dan mengancam peran perempuan dalam mengembangkan industri kreatif di Indonesia. Pada akhirnya kita sudah tidak perlu memilih lagi untuk berani bertindak atau tidak. Tetapi merupakan sebuah keharusan bahwa faktor-faktor kerentanan ini harus segera direduksi dimulai dari diri sendiri. Sudah siapkah kita untuk itu?