Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kisah Berburu Idola di Ibu Kota (Jeritan Hati Seorang Fans)
20 Maret 2018 1:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Ochi Amanaturrosyidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hey, kau yang di atas panggung, apa kau tahu aku yang mana?
ADVERTISEMENT
Hari ini gue menghabiskan waktu berjam-jam, di sebuah mall mahal di Ibu Kota demi berburu Gackt bersama tiga tante-tante fansnya, Sei, Kiyo, dan Tooru. Investigasi yang kami lakukan, bikin gue jadi teringat masa kecil dan remaja yang berapi-api.
Mungkin gue harus cerita dulu siapa Gackt ini. Sebenarnya, gue bukan fans Gackt. Tapi, karena gue tumbuh-besar di dunia Jejepangan, gue pasti tahu lah dengan nama Gackt yang sangat melegenda ini.
Tahun 1995, Gackt mulai masuk dunia musik dengan menjadi vokalis Malice Mizer (ini gue tau gara-gara TA gue waktu kuliah) sebelum akhirnya solo karir di tahun 1998.
Tapi, gue justru tau Gackt dari film Moonchild. Di film itu, dia beradu peran dengan vokalis L'arc~en~ciel, Hyde. Filmnya dirilis tahun 2003, waktu gue masih SD. Selain itu, Gackt juga muncul di beberapa film Kamen Rider.
ADVERTISEMENT
Nah, usut punya usut, kedatangan Gackt ke Indonesia ini rupanya dalam rangka bisnis. Enggak cukup dengan jadi artis, Om satu ini juga cukup sukses membangun kerajaan uangnya lewat bisnis. Cih!
Oke, kita udah tahu tujuan dia ke Indonesia. Nah, masalahnya, di mana dia? Haruskah ku bertanya pada Mbak Ayu Ting Ting yang sudah sangat senior dalam mencari alamat?
Petunjuk berikutnya kami temukan dari foto pasca-meeting yang diunggah oleh Gackt. Salah satu foto menunjukkan dia sedang ada di sebuah kafee. Cluenya cuma interior ruangannya ajah. Gila kan, emangnya kita apal isi kafe se-Jakarta?
Namun, rupanya Kiyo si anak ajaib langsung bisa memberikan tebakan berdasarkan botol air mineral yang ada di meja! Rupanya, cuma ada beberapa hotel aja yang jual air mineral dengan merk itu. Gue langsung searching lalu nama tiga hotel besar pun masuk list.
ADVERTISEMENT
Mood gue waktu itu pun bisa digambarkan dengan lagu dari Om Miyavi yang bentar lagi konser di Singapore gak ngajak gue (emang lu siapa, hah?).
Setelah itu, petunjuk kedua muncul dari foto saat meeting yang diunggah resmi oleh akun sosmed bisnis dia. Berkat pengamatan yang jeli, kami langsung menemukan bahwa karpet, layar, dan pintunya identik dengan ruang meeting di salah satu hotel yang sudah kami list.
Gila! Kemampuan stalker internasional kami memang luar biasa. Sayangnya, rupanya ada yang sama-sama jagonya. Selain jago, dia punya waktu luang untuk menyambangi si Om terlebih dahulu sementara kami masih harus berkutat di kantor.
Damn! Yang lebih sial lagi, karena oknum ini mengunggah pertemuannya di media sosial, si Om pun pindah hotel. Kami kembali tahu dari postingan si Om. Cluenya lebih pelit lagi, cuma pohon kelapa!
ADVERTISEMENT
Biar misterius, sengaja ilustrasinya bukan dari akun Om Gackt. Kata-katanya, duh banget lah.
Seperti mengulang dari awal, kami kembali putar otak, sembari mengingat dan mencari hotel mana gerangan yang punya pohon kelapa identik seperti itu. Sampai gue lihat, ada kursi taman warna biru, menyempil kecil di sela-sela pohon. Ah, rupanya dia di hotel ini.
Untungnya, hari ini gue libur. Kalau masuk, mustahil rasanya gue bisa nongkrong di mall mahal seharian demi berburu si Om --meski pilihan cuti dan tukar libur selalu bisa digunakan--. Gue dateng sedikit lebih awal, sementara Kiyo, Tooru, dan Sei baru datang dari kantor masing-masing.
Lalu, ending-nya?
Akhirnya kita juga enggak ketemu sih sama si Om Gackt. Apa daya, meeting yang dia lakukan pasti selesai begitu larut, sementara kami, para budak korporat, besok masih harus bekerja, tidak bisa menunggu lama-lama.
ADVERTISEMENT
Terus aja naik-turun begitu Om, gapapa, kami bahagia kok menginjakkan kaki di tempat yang sama meski tak saling jumpa. Alert! Paragraf setelah ini sampai akhir berisi penuh curahan hati yang membara!
Terlepas dari itu, sebenarnya perburuan ini cukup menyenangkan dan mengingatkan pada masa kecil dan remaja yang berapi-api. Mungkin ada juga orang yang tidak paham bagaimana rasanya jadi fans, tapi buat gue, tanpa menjadi seorang fans, gue mungkin enggak akan bisa kayak sekarang.
Gue adalah seorang --atau mantan-- fans dari Visual Kei. Visual Kei sendiri adalah lebih dikenal sebagai genre musik dari Jepang. Tapi, pada sejarahnya, sebelum diangkat oleh X-Japan, Visual Kei adalah gerakan pemberontak pasca PD II. Mereka menggunakan kostum, aksesoris, make up, sebagai cara untuk menyalurkan pendapat yang dianggap tabu.
ADVERTISEMENT
Menurut gue, itu keren. Gue kenal Visual Kei pertama kali waktu SD. Waktu itu, salah seorang teman memberikan majalah Animonster yang pada akhirnya mengenalkan gue dengan band Nightmare atau Sendai Kamotsu di salah satu artikelnya.
Bandnya namanya Nightmare kalo lagi normal, Sendai Kamotsu kalau lagi kumat. Enggak berani nyantumin Sendai Kamotsu, takut disemprit karena "vulgar" meski lucu abis!
Gue ini orangnya minderan dan krisis percaya diri, bahkan di dalam keluarga. Tapi, karena keingintahuan gue soal Nightmare begitu hebat, gue beranikan diri untuk bertanya pada salah satu sepupu yang much much older dan gue tau dia suka Jepang. Itu obrolan pertama gue dengan saudara haha. Berkat gue jadi fans!
Dari saudara gue itu, gue kenal dengan The Gazette dan L'arc~en~ ciel. Beranjak remaja, daftar band Visual Kei gue semakin panjang. Sebagai fans, gue jadi kenal yang namanya fanfic, alias menuliskan cerita imajinasi kita dengan menggunakan idola kita sebagai tokohnya. Di situ, gue belajar caranya menulis dan damn, gue jadi suka nulis.
ADVERTISEMENT
Ini nih, lagu yang bikin nilai gue dari C jadi A cuma dalam seminggu. Thanks a lot lah.
Lulus SMA, gue enggak pernah punya minat untuk kuliah. Apalagi, bagi keluarga gue waktu itu, kuliah adalah barang super mewah. Gue pun mencoba sebuah peruntungan, ikut SNMPTN dan memilih dua kampus negeri ternama. Lagi-lagi, motivasinya adalah karena Visual Kei.
Gue pun diterima di Institut terbaik di Indonesia, di Fakultas Seni Rupa dan Desain. Biaya kuliahnya mahal, keluarga gue ga mampu bayar, gue pun mencoba mencari beasiswa.
Dalam kolom beasiswa, gue tulis rencana ke depan adalah, "Belajar desain dan belajar di PS Company atau sejenisnya sambil mengenalkan budaya Indonesia." Random, TAPI KETERIMA! dan enggak kesampaian kerja di PSC, lol.
ADVERTISEMENT
PS Company sendiri adalah nama salah satu label Visual Kei yang waktu itu paling terkenal. Empat setengah tahun kuliah, semua karya gue selalu tentang Visual Kei. Bahkan sampai ke Tugas Akhir, yang bikin gue lulus kuliah dengan nilai oke.
Lulus SMA dengan menatap video ini, lulus kuliah menatapnya realita.
Kemudian gue terkenang, coba kalau gue enggak pernah jadi fans, enggak pernah punya idola, gue pasti enggak akan pernah ngerasain namanya kuliah. Karena gue kuliah, dengan motivasi ingin dekat dengan idola.
Mungkin, bisa aja gue beneran kerja di PSC atau tempat sejenis lainnya sebagai designer atau konseptor (dalam Visual Kei, masalah pakaian dan konsep ini betul-betul penting, karena menentukan cerita yang akan disampaikan). Tapi realistislah.
ADVERTISEMENT
Lulus kuliah, gue enggak punya pemasukan karena beasiswa udah stop (yaiyalah). Gue butuh bertahan hidup. Masalahnya, pekerjaan apa yang cocok buat gue? Sebagai seniman atau designer, karya gue semuanya 'tematik' dan gue nyaris enggak bisa kalau disuruh bikin sesuatu yang bukan mau gue, atau kalau harus mengikuti trend.
Kemudian gue baca fanfic-fanfic gue, dan cerpen-novel fiksi gue yang terinspirasi (lagi-lagi) dari Visual Kei. Gue baru sadar, lho, ternyata gue suka nulis. Gue pun memilih menjadi jurnalis.
Saya pilihkan lagu Born to be Free dari X-Japan. Mungkin agak cocoklah ya.
Jurnalis ini hampir mirip dengan Visual Kei. Budaya Visual Kei lahir karena tidak ada kebebasan pers, tidak ada kebebasan bagi warga negara untuk menyuarakan pendapat atas isu-isu yang tabu menurut pemerintah kala itu atau masalah sosial yang luput dari perhatian.
ADVERTISEMENT
Pun dengan jurnalis, kan? Karena jurnalis dan Visual Kei sama-sama mengungkapkan fakta yang terkadang luput dari perhatian, hanya dengan eksekusi yang berbeda.
Jadi, kalau waktu itu gue enggak pernah dapet majalah Animonster, enggak pernah jadi fans, mungkin gue juga enggak akan dekat dengan saudara, enggak bisa nulis, enggak kuliah, dan enggak punya profesi seperti sekarang.
Sayangnya, karena menjadi dewasa itu sama dengan sibuk dan kekurangan waktu, satu tahun ini gue sama sekali enggak punya kesempatan buat hura-hura jadi fans TTwTT.
Dan kurangnya waktu, rupanya mengikis perasaan gue pada idola-idola gue. Luntur dalam artian gue udah enggak dengerin musiknya tiap hari, enggak stalking akun dan blognya tiap hari, enggak ngirim fan letter tiap saat, dan enggak join tiap ada project buat mereka. Tapi kalau ada konsernya tetep mau nonton.
ADVERTISEMENT
Kemungkinan mereka untuk datang ke Indonesia pun mendekati NOL karena satu-dua masalah sebelumnya yang katanya bikin kapok para musisi Jepang manggung di mari.
Satu-satunya harapan gue adalah Singapore atau Malaysia yang artinya kudu ngeluarin duit dan waktu lebih. Kayak Om Miyavi ini! Gue stress! STRESS!!!!!
Bolehlah curhatan ini gue tutup dulu, sebelum semakin ke mana-mana. Sekian dan terima kasih.
Ngomong-ngomong, baru sekali unggah user story di kumparan lewat PC. Kok lebih keren ya, dan lebih mudah, bisa ngasih tautan ke website lain. Jadi makin suka. Tau gitu sering-sering bikin dari PC aja ya....