Rumah Kenangan di Sidoarjo

Ochi Amanaturrosyidah
Asisten Editor di kumparan
Konten dari Pengguna
4 Agustus 2021 19:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ochi Amanaturrosyidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Desember 2013 mungkin jadi salah satu momen paling absurd dalam hidupku. Berbekal uang pas-pasan, koneksi di beberapa kota, dan nekat, aku menghabiskan libur panjang dengan berkeliling Jawa-Bali. Padahal duit di kantong cuma sekitar Rp800 ribuan.
ADVERTISEMENT
Aku tidak pergi sendiri, tapi berdua dengan temanku di kampung, Erin. Kami memanggilnya Tante Erin (karena memang sudah tante-tante) atau Hetarin, karena tingkat keanehannya yang tidak masuk akal.
Singkat cerita, dari Bandung aku naik bus ke Temanggung. Di perjalanan aku mampir dulu ke Wonosobo, minum teh hangat, menikmati kabut, sambil menikmati sunrise di tengah-tengah Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Sekali seumur hidup kalian harus coba.
Sampai Temanggung, aku mampir dulu ke rumah, pamit sebentar, lalu pergi ke Terminal Temanggung tempat Erin sudah menunggu. Perjalanan berlanjut. Dengan bus tanggung dua pintu kami menuju Magelang, dan ganti naik Bus Eka tujuan Surabaya.
Bodohnya, aku lupa kalau jarak tempuh Magelang-Surabaya itu bisa 12 jam lamanya. Nggreges awakku. Ditambah lagi, ternyata Erin tubuhnya lemah, baru jalan dua jam sudah mabuk darat. Walhasil, kami memutuskan turun di Sidoarjo, sebelum Surabaya. Kalau kelamaan, takut Erin keburu kurus. Kasihan, orang tuanya pangling nanti.
ADVERTISEMENT
Kami diturunkan di pinggir tol (kayaknya). Waktu itu sudah pukul 1 dini hari. Awalnya kami mau tidur dulu di pos polisi, tapi Erin ngotot mau ke rumah temanku, Desi Tri Rahmawati, karena sudah terlanjur beli oleh-oleh. Dan kok ya kebetulan, ada taksi kosong lewat di jalan sesepi itu. Kami langsung meluncur ke rumah Desi. Berbekal secarik alamat yang kutulis di kertas.
Halaman depan rumah Desi, tempat kami nanya jalan. Pekarangannya kosong, enak, luas lagi. Doc: Desi
Zaman itu sudah ada google maps, tapi ponselku masih busuk. Kami masuk ke perumahan yang sudah sepi (yaiyalah, jam satu dini hari gitu). Cuma ada beberapa hansip dan tukang ronda di tiap tikungan. Kami berjalan ke satu gang, sambil celingukan nyari rumahnya yang mana.
"Pak, permisi. Mau nanya, rumahnya Desi di mana ya? Desi Tri Rahmawati?"
ADVERTISEMENT
"Oh lah ini rumahnya," jawab bapak-bapak yang lagi nongkrong di bangku kayu pinggir jalan.
Ternyata beliau bapaknya Desi. Malu juga. Mana ada orang normal yang bertamu jam segini. Numpang nginep pula. Tapi ndak apa-apa. Kan kami memang muka badak.
Setelah cupika-cupiki, ngenalin diri, kami dibawa ke kamar Desi di lantai dua. Rumah ini punya tiga kamar. Dua di atas, dan satu di bawah. Kamar di lantai dua enak banget. Begitu buka pintu langsung balkon, adem, sirkulasi udaranya bagus. Bikin betah.
Enak banget, buka jendela langsung cerah. Doc: Desi
Seperti yang diduga, kami tidak tidur. Lagian tanggung juga, udah deket subuh. Jadi kami cuma ngobrol ngalor-ngidul. Apalagi setelah kenal sekian lama, sejujurnya ini pertama kalinya aku kenal dengan Desi. Kami cuma kenal di media sosial.
ADVERTISEMENT
Lalu Erin mengeluarkan oleh-olehnya. Oleh-oleh yang bikin kami lebih milih naik taksi Rp300 ribu ke rumah orang yang cuma aku kenal dari media sosial jam satu dini hari. Nescafe botol itu pun keluar. Erin bangga, aku tercengang.
Mana ada orang ngasih oleh-oleh Nescafe....
Plus, Desi punya warung di depan rumahnya. Sebenarnya ini kamar, tapi dirombak dan difungsikan jadi warung. Tentu saja, salah satu dagangannya adalah kopi instan. Meski mendapat benda yang sama kayak dagangannya, tapi Desi tetap tersenyum dan bilang makasih. Baik banget.
Ada warungnya guys. Cocok banget buat kalian yang pengen punya usaha sampingan di rumah.
Pagi pun tiba. Awalnya aku dan Erin berencana keliling Sidoarjo sebentar. Tak jauh dari situ ada semacam pasar kaget yang biasanya ramai. Tapi kami bangun kesiangan. Yasudah pasrah aja cuma sarapan. Alhamdulillah, kan numpang sarapan gratisan.
ADVERTISEMENT
Kami harus buru-buru ke Surabaya, dan melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi naik kereta. Dengan sigap Desi mengantarkan kami ke pinggir jalan raya--yang memang tidak jauh. Di sana, kami naik becak menuju Stasiun Sidoarjo. Mau nyoba KRL yang baru, katanya.
Sayangnya, becak yang kosong cuma satu. Untung jalanan di situ rata dan lancaaar banget. Jadi meski aku dan Erin berbagi satu becak yang sama (dengan tidak tahu dirinya), paling enggak abangnya enggak terlalu kasihan. Bayangin kalau udah bebannya berat, jalannya gradakan. Apakah tidak diturunin di tengah jalan?
Kangen nih duduk-duduk di sini, sambil ngobrol, padahal cuma bentar. Doc: Desi
Meski cuma kurang dari 24 jam, tapi rumah ini berkesan bagiku. Rumah ini adalah bagian dari petualangan sintingku saat remaja. Tempat hangat yang menampungku, orang asing tak dikenal, di tengah malam yang random itu.
ADVERTISEMENT
Rumah ini ditawarkan dengan harga Rp650 juta. Pun masih nego, tapi jangan sadis-sadis negonya. Harganya memang tidak murah, kalau dibandingkan dengan harga cilok depan rumah. Tapi harga ini pas dan tepat menurutku.
Ukurannya cukup besar: lebar 6 meter dan panjang 10 meter. Di bawah ada teras yang teduh dan bisa digunakan buat menyimpan motor dan sepeda. Ruang tamu dan ruang tengahnya cukup luas buat kumpul-kumpul lebaran. Tanah kosong di depan rumah juga cukup buat bangun tenda kawinan atau sunatan.
Kalau kalian sedang mencari rumah, dan berjodoh dengan rumah ini, silakan hubungi Desi Tri Rahmawati melalui pesan WhatsApp di 083831610571 (WA)/081554531589 (telepon). Orangnya baik, ndak akan menggigit.