Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Sepenggal Kisah (Panjang) dari Ennichisai 2017
15 Mei 2017 2:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Ochi Amanaturrosyidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ironis. Disaat kebanyakan masyarakat Indonesia yang (mengaku) sudah dewasa turun ke jalan, meneriakkan kepaercayaan mereka masing-masing soal ideologi berbangsa dan soal NKRI, gue malah turun ke jalan, hanyut dalam festival campuran dua budaya.
ADVERTISEMENT
Bukan sembarang budaya, tapi budaya Jepang yang notabene, 75 tahun yang lalu, menurut kisah yang dituturkan kakek-nenekku, pernah menimbulkan 'bencana', 'paceklik' dan penderitaan tak terbayangkan. Kecil tapi kejam, kalau kata kakekku.
Ah, toh, datang ke festival budaya Jepang -yang konon katanya terbesar se-Asia- ini tidak akan membuat nasionalisme gue berkurang. Kalau misalnya diadakan cerdas cermat tentang lagu daerah dan lagu nasional melawan anak masa kini, gue masih optimis bisa menang. Lah gimana, gue pernah hidup di era siaran TV selesai diiringi lagu nasional, bukan mars partai.
Gue bahkan, dengan sangat bangga, hafal pancasila dan pembukaan UUD 45. Yey!
Nggak lah, dateng ke acara ini, memenuhi playlist dengan lagu Jepang, menonton Anime, dan bertarung sepenuh hati dan tenaga untuk menonton konser band Jepang, itu nggak ada hubungannya dengan rasa cinta gue ke bangsa gue sendiri. Dulu...
ADVERTISEMENT
Di tengah festival, gue merenung. Saat bendera merah putih dikibarkan bersama dengan bendera Jepang, suara teteh-teteh menyanyikan ost Ennichisai diiringi alunan musik, sorak sorai saat mikoshi diarak ke depan main stage... gue nangis terharu coba.
Cupu banget sih.
Gue keinget, hubungan persahabatan dan persaudaraan yang hancur gara-gara isu-isu yang akhir-akhir ini diembuskan. Sumpah, kita udah temenan lama, tapi saling blokir cuma gara-gara beda pendapat. Kita lahir di tempat yang sama, tapi masih juga dipertanyakan 'siapa leluhur kita?' Nanya doang sih mending, lah kalau nanya dan akhirnya memberikan perlakuan 'beda'? Hmm...
Mungkin ini bagian dari 'pihak asing' mengambil hati orang-orang yang mulai lelah terpecah belah (dalam arti sesungguhnya, bukan cuma ngomong doang). Semua ras, dari (yang ngakunya) pribumi sampai (yang disebut) non-pribumi ada. Yang berhijab sampai yang menjajakan diri juga ada. Yang cosplay sampai rakyat jelata kayak gue juga ada. Yang berpasangan sampai yang jomblo juga ada.... baper deh. Tapi semuanya menyatu, semuanya damai, bernyanyi bersama, berbagi kesenangan bersama. Benar-benar bersatu tanpa ada unsur politik (yang terasa. Kalau aslinya mah gak tau juga deh).
ADVERTISEMENT
Bahkan, di dalam keramaian, akhirnya gue ngerasa damai.
Mungkin ini, yang dinamakan lelah dengan rumput sendiri, lalu mengidamkan rumput tetangga. Gue pribadi sih, sejujurnya, melalui acara ini sudah terjajah. Terjajah hatinya oleh Keisuke Ito. Udahan lah sok-sok seriusnya.
Subhanallah, Maha Besar Allah yang menciptakan makhluk se-kakkoi abang pemetik samisen satu itu. TTwTT. Perlu nggak sih gue sujud syukur?
Isu apapun, lewat begitu aja dari otak gue begitu abangnya berdiri di atas panggung, memetik samisen dengan begitu kerennya. Sesekali dia melemparkan senyuman yang luar biasa manis. Aduh, kokoro ini nggak kuat, Bang.
Tapi yang paling mencuri hati, tentu kepiawaiannya memainkan samisen. Entah kenapa, setiap gue nonton kangmas Ito (manggilnya ke-jawa-jawa-an dikit, siapa tau masnya beneran jodoh ama orang Jawa, ihiiirr), rasanya seperti diingatkan, dikembalikan semangatnya.
ADVERTISEMENT
Maaf, muka terpaksa disamarkan, takunya dikira Beauty and the Beast Live Action lagi.
Ito yang lahir tahun 1988 (ah, jarak lima tahun, cocok lah ya #maksa), sebenarnya mulai tertarik belajar samisen karena neneknya merupakan pemain samisen. Namun, ia baru serius menggeluti instrumen ini saat berusia remaja. Kenapa alat musik tradisional? Karena doi pengen aja keliatan anti-mainstream.
Sama kayak gue. Hampir semua pilihan penting yang gue ambil di hidup berdasarkan 'ya biar beda aja sama yang lain', baik soal pakaian, makanan, pendidikan bahkan pekerjaan. Jadi beda itu keren. High five deh sama Ito-san.
Abangnya emang ikemen kok. Asem.
Bagi dia, samisen adalah jiwa, raga dan bahkan pacar (yah, patah hati lah gue). Bahkan, dia bertekad untuk mengenalkan samisen ke seluruh dunia. Katanya, kalau bukan karena samisen, doi yang tadinya nggak punya cita-cita khusus pasti akan berakhir sebagai salary-man biasa.
ADVERTISEMENT
Menurut gue pribadi, mungkin kuncinya adalah bekerja dari hati dan bekerja sesuai dengan apa yang kita cintai. Percuma juga mendapatkan pekerjaan yang kita cintai jika tidak bekerja dengan hati. Dan sia-sia juga kerja dengan hati tapi kita nggak cinta sama kerjaannya. Abisnya gimana, da aku cintanya kan sama kamu #eaaaa. Ito-san juga bisa sebesar sekarang bukan cuma dari kemauan, tapi dari rasa cinta dan hati.
Gimana mo kerja di situ, abangnya udah jadi macem aliran sesat begini.
Ngomong-ngomong, dari gue kecil (kira-kira SD kali ya) sampai satu hari setelah gue wisuda sarjana, gue punya satu cita-cita, satu ambisi: menjajah Jepang. Simple sih, karena udah kebanyakan 'produk Jepang' yang masuk, ya masa kita nggak ngasih produk kita ke mereka. Kan nggak berimbang. Gue suka sama band mereka, mereka juga harus suka sama band kita (lho kok maksa). Kita suka sama budaya mereka, ya mereka juga harus suka sama budaya kita. Timbal balik gitu lho.
ADVERTISEMENT
Dan mimpi gue cuma satu waktu itu: kerja di PSC.
Kenapa PSC, karena artis yang gue suka (pada masa itu) sebagian besar bernaung di bawah label PSC. Dengan masuk di dalamnya (menurut gue), gue bisa lebih mudah 'menularkan' budaya Indonesia, terutama Jawa tentunya, ke artis-artisnya. Setelah tertular, pasti akan berimbas pada karyanya dan itu bakal jadi semacam 'ngiklan gratis' yang bikin para fans, paling nggak, melek dikitlah sama Indonesia. Lambat laun, kiblat musik, seni, fashion akan pindah ke Indonesia muahahaha.
Kalo gue kerja di situ, nanti di tengah lagu abangnya nyinden. Lingsir Wengi di remake lagi.
Sehari setelah wisuda, gue akhirnya sadar, itu mah ngimpi banget. Gue butuh waktu belasan tahun buat ngeh kalau yang gue perjuangkan itu ngimpi doang. Ya syukurnya sih, gara-gara ngimpi gue ada lah dapet gelar sarjana. Dan tiap dateng ke festival Jepang semacem ini, gue sebenernya bete banget, ngerasa diingatkan pada mimpi sia-sia gue.
ADVERTISEMENT
Ngomong-ngomong, kalau mereka bisa sengaja 'memboyong' festival dari Jepang sana ke Indonesia setiap tahunnya, kenapa kita nggak lakuin hal yang sama aja? Yang sama besarnya, sama megahnya? Tiba-tiba orang-orang Jepang yang dateng pada cosplay jadi Buto Ijo, Srikandi, Gatot Kaca, Semar. Kan seru tuh.
SUMPAH INI KEREN BANGET! Ini bukan orang Jepang sih, tapi ngomongin cosplay Gatotkaca gue jadi inget mini seri garapan JToku ini. Monggo disimak di channel youtubenya ya.
Makin malem makin ngelantur nih.