Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Keterlibatan Indonesia dalam Join Statement dengan China: Apa Dampaknya?
18 November 2024 16:26 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Octa Karunia Zebua tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada hari Minggu tanggal 20 Oktober 2024 yang lalu, Bapak Jendral TNI (Purn) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2024-2029.
ADVERTISEMENT
Sehari setelahnya, Presiden dan Wakil Presiden melantik para Mentri di Istana Negara, Jakarta, pada tanggal 21 Oktober 2024. Setelah meresmikan Kabinet Merah Putih, Bapak Presiden Jendral TNI (Purn) Prabowo Subianto memulai kunjungan kenegaraan perdana pada 8 November 2024.
Presiden Prabowo Subianto mengawali perjalanannya dengan mengunjungi China, dan bertemu dengan Presiden Xi Jinping di Beijing. Ada hal yang menarik perhatian dari pertemuan tersebut, dimana kedua negara sepakat untuk bekerja sama dalam penyelesaian masalah di wilayah yang diklaim tumpang tindih. Pernyataan kesepakatan itu dimuat dalam poin ke-9 Joint Statement China-Indonesia.
Keterlibatan Indonesia dalam pernyataan kesepakatan ini, merupakan tindakan yang fatal dan mengancam integrasi wilayah Indonesia sendiri. Hal ini dikarenakan wilayah yang diklaim oleh China sebagai wilayah yang bertumpang tindih dengan wilayah Indonesia berada di Laut Natuna Utara. Konflik di Laut Natuna Utara ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, dimulai ketika China mendeklarasikan konsep Nine dash line, yaitu sembilan garis putus yang menyatakan klaim kedaulatan China atas Laut China Selatan. Klaim ini didasari pernyataan sepihak dari China yang menyebutkan bahwa wilayah itu merupakan rute pelayaran tradisional nenek moyang bangsa China dulu. Konsep ini telah menyerobot sebagian dari wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yang dimiliki Indonesia di Laut Natuna Utara. Akan tetapi Klaim China tersebut tidak pernah diterima oleh forum Internasional, karena memang sama sekali tidak memiliki dasar hukumnya.
ADVERTISEMENT
Di era pemerintahan sebelumnya, Indonesia sama sekali tidak pernah menunjukan keinginannya untuk berunding terkait masalah wilayah tumpang tindih di Laut Natuna Utara dengan China. Hal ini karena Indonesia sendiri berpegang pada Konvensi Hukum Laut Internasional yang mendukung keabsahan kedaulatan Indonesia atas wilayah di Laut Natuna Utara. Seharusnya China juga tunduk pada Hukum Laut Internasional, karena China sendiri juga merupakan negara yang meratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional. Akan tetapi, China seakan mengabaikan dan tetap berpegang pada konsep sembilan garis putus yang diyakini negara tersebut. Salah satu tindakan nyata Indonesia untuk menunjukan pada China sekaligus dunia Internasional terkait kedaulatannya di Laut Natuna adalah ketika Indonesia mengubah nama Laut China Selatan pada peta dunia menjadi Laut Natuna Utara, tahun 2017 silam. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia sama sekali tidak mengakui konsep sembilan garis putus milik China dan keberadaan wilayah tumpang tindih di Laut Natuna Utara.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi hal ini berbanding terbalik dimasa sekarang, dimana Indonesia mengeluarkan pernyataan bersama dengan China tentang penyelesaian masalah wilayah tumpang tindih diantara kedua negara. Tentunya ini mengisyaratkan bahwa Indonesia mengakui eksistensi dari wilayah tumpang tindih dengan China, yang mengakibatkan Indonesia berpotensi kehilangan kedaulatannya di sebagian wilayah Laut Natuna Utara, sementara secara geografis China berada sangat jauh dari Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara.
Join Statement antara Indonesia dan China tidak hanya berpengaruh pada kedaulatan dalam negri Indonesia tetapi juga pada relasi dengan negara-negara tetangga, terkhususnya negara anggota ASEAN. Mengingat beberapa negara anggota ASEAN juga berkonflik dengan China terkait dengan klaim sepihak atas kedaulatan di Laut China Selatan berdasarkan konsep sembilan (bahkan kini menjadi sepuluh) garis putus yang juga beririsan dengan wilayah laut negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam dan Vietnam. Tindakan Indonesia dinilai dapat berpotensi merusak atau mencederai hubungan dengan negara anggota ASEAN yang juga sedang mempertahankan kedaulatan lautnya dari intervensi China. Terlebih Indonesia sendiri memiliki posisi yang penting dan memiliki pengaruh yang cukup besar di forum ASEAN, maka seharusnya pemerintah Indonesia tidak “melunak” dan masuk dalam jebakan politik negara China unttuk memperluas pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara.
ADVERTISEMENT
Karena akan banyak pihak yang kecewa dengan tindakan yang dilakukan oleh Indonesia, terkhususnya negara anggota ASEAN yang bisa saja mengucilkan Indonesia dari pergaulan Intenasioal negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia bisa saja kehilangan kepercayaan di forum Internasional, Martabat Bangsa bisa saja jatuh apabila Pemerintah Indonesia tidak lebih berhati-hati setelah mengeluarkan Join Statement dengan China. Untuk itu, Indonesia dirasa perlu kembali bersikap tegas seperti di era pemerintahan sebelumnya agar tetap dapat menjaga nama baik Bangsa di ranah Internasional.
J