Apakah Benar Protokol Kesehatan Harga Mati?

Octavianus Bima Archa Wibowo
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.
Konten dari Pengguna
30 November 2020 11:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Octavianus Bima Archa Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang perempuan mengenakan masker sebagai salah satu protokol kesehatan. (Foto: Mufid Majnun/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang perempuan mengenakan masker sebagai salah satu protokol kesehatan. (Foto: Mufid Majnun/Unsplash)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kepala Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Doni Monardo pernah mengatakan, protokol kesehatan harga mati. Pemerintah telah memperbolehkan masyarakat untuk beraktivitas seperti sedia kala, asalkan harus mematuhi protokol kesehatan yang berlaku. Protokol kesehatan harus dilaksanakan demi keberlangsungan hidup masyarakat di tengah pandemi.
ADVERTISEMENT
Memang, pemerintah kerap menggaungkan beberapa protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan. Protokol kesehatan seakan menjadi penjaga roda kehidupan agar tetap terus berputar, sehingga masyarakat dapat kembali beraktivitas sedia kala. Masyarakat harus tetap beraktivitas meski dalam bayang-bayang pandemi.
Hasil survei perilaku masyarakat pada masa pandemi COVID-19 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, alasan sebagian besar masyarakat yang tidak menerapkan protokol kesehatan adalah tidak ada sanksi atas pelanggaran protokol kesehatan. Apakah benar protokol kesehatan sudah mencapai harga mati dalam kehidupan bermasyarakat?
Data yang sama juga menunjukkan, alasan masyarakat yang keluar rumah setelah adaptasi kebiasaan baru antara lain untuk kepentingan pekerjaan, leisure, dan kebutuhan sosial. Protokol kesehatan sudah barang tentu memberikan kelonggaran bagi masyarakat untuk beraktivitas. Akan tetapi, protokol kesehatan bukan sebatas bentuk toleransi pemerintah yang dapat ditawar masyarakat untuk mengadakan berbagai kegiatan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat sedang memasuki normal baru, bukan kembali ke rutinitas seperti biasa sebelum pandemi. Oleh karena itu, masyarakat bukan hanya mengenakan masker dan mengikuti kegiatan yang berkerumun, masih ada protokol kesehatan yang lain seperti menjaga jarak dan rajin mencuci tangan. Kemenangan dalam perang melawan pandemi sangat bergantung pada penerapan protokol kesehatan secara disiplin.
Masyarakat mulai membangun persepsi bahwa pelaksanaan protokol kesehatan dapat mencegah penyebaran COVID-19. Perlu diingat, protokol kesehatan hanya untuk mencegah dan bukan meniadakan penyebaran COVID-19. Akan tetapi, tak semua masyarakat melaksanakan protokol kesehatan secara disiplin. Tak boleh ada tawar menawar dalam pelaksanaan protokol kesehatan.
Mengapa demikian? Tak sedikit, klaster baru yang bermunculan dalam masa adaptasi kebiasaan baru dengan protokol kesehatan, mulai dari perkantoran, perumahan, hingga berbagai kegiatan yang menimbulkan kerumunan lainnya. Kemunculan berbagai klaster merupakan konsekuensi dalam menjalankan aktivitas selama masa pandemi.
ADVERTISEMENT
Uniknya, belum pernah terdengar sama sekali klaster yang berkaitan dengan kegiatan Pilkada 2020. Bawaslu telah mengambil 1.448 tindakan selama 50 hari masa kampanye Pilkada 2020 yang melanggar protokol kesehatan dan membuka kemungkinan munculnya klaster baru. Apakah hal tersebut sebuah kebetulan?
Tak perlu heran, protokol kesehatan dan penentuan klaster terkesan sangat politis. Pemerintah dan pihak berwajib dianggap tebang pilih dalam mengambil tindakan atas pelanggaran protokol kesehatan. Seharusnya, protokol kesehatan berlaku kepada seluruh elemen masyarakat. Pemerintah tak sedikitpun merasa cemas dengan Pilkada 2020, tetapi memberikan reaksi yang berbeda terhadap unjuk rasa RUU Cipta Kerja belum lama ini.
Terlepas dari apa tujuannya, setiap kegiatan seharusnya mendapat perlakuan yang sama ketika terjadi pelanggaran protokol kesehatan. Menariknya, pemerintah seakan-akan memberi perlakuan yang berbeda antara kegiatan yang mendapat dukungan pemerintah dan sebaliknya. Sebenarnya, kepada siapa pemerintah berpihak?
ADVERTISEMENT
Unjuk rasa terkait RUU Cipta Kerja yang dilakukan oleh para mahasiswa dan buruh di beberapa daerah merupakan bagian dari kehidupan berdemokrasi. Pemerintah segera menunjukkan kecemasan akan munculnya klaster baru. Akan tetapi, data telah membantah kecemasan pemerintah terkait klaster baru unjuk rasa.
Perlakuan yang berbeda tampak dalam kampanye jelang Pilkada 2020. Penyelenggaraan kampanye kerap memberi pujian terhadap yang tak memunculkan klaster baru. Hal tersebut memberikan pengaruh besar terhadap opini publik dalam mempersepsi kedudukan protokol kesehatan sebagai kebijakan pemerintah.
Ada apakah gerangan? Setiap kebijakan, termasuk protokol kesehatan, merupakan bagian dari politik. Tak dapat dipungkiri, ada kepentingan di balik setiap kebijakan pemerintah. Peneliti politik, Thomas R. Dye mengatakan, pemerintah berperan sebagai fasilitator untuk mengafirmasi atau menolak kepentingan untuk diadaptasi dalam sebuah kebijakan.
ADVERTISEMENT
Dalam proses pembuatan kebijakan, setiap pemangku kepentingan berlomba-lomba untuk mendapatkan atensi pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Mungkin saja, protokol kesehatan sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk melanggengkan penyelenggaraan Pemilu 2020. Publik patut mempertanyakan harga mati dari protokol kesehatan setelah memperhatikan sikap pemerintah akhir-akhir ini.
Berbagai kalangan masyarakat telah mengecam penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah pandemi. Pemerintah berdalih, banyak negara yang berhasil menyelenggarakan pemilihan umum di tengah pandemi, seperti Korea Selatan dan Amerika Serikat. Sekali lagi, protokol kesehatan menjelma menjadi keyakinan pemerintah bahwa Pilkada 2020 tak akan memunculkan klaster baru.
Unjuk rasa terkait RUU Cipta Kerja dan Pilkada 2020 memiliki persamaan yang cukup penting, yakni menjalankan amanah konstitusi meski memungkinkan massa untuk berkumpul. Kedua kegiatan tersebut memiliki urgensi, sehingga dapat mencederai konstitusi negara apabila tak dilaksanakan. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya perlu memastikan protokol kesehatan berlaku bagi setiap warga negara tanpa terkecuali.
ADVERTISEMENT
Ancaman penyebaran COVID-19 akan tetap ada kendati protokol kesehatan terus digaungkan oleh pemerintah. Selama belum ditemukannya vaksin, pemerintah perlu waspada dan tegas terhadap setiap pelanggaran protokol kesehatan. Oleh karena itu, pemerintah harus adil dalam memperlakukan Pilkada 2020, sama seperti unjuk rasa RUU Cipta Kerja.
Bila protokol kesehatan harga mati, kebijakan tersebut seharusnya berlaku mengikat bagi seluruh masyarakat, tanpa syarat dan ketentuan yang berlaku. Tak ada salahnya bagi pemerintah untuk mengungkap pelanggaran yang dilakukan oleh peserta Pilkada 2020. Hal tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi pemilih, terkait konsistensi calon kepala daerah dalam mengawal permasalah pandemi COVID-19.
Pandemi tetap pandemi. Pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi fasilitas dan tenaga kesehatan sebagai garda terdepan dalam perang melawan COVID-19. Penegakkan protokol kesehatan harus tegas dan berlaku untuk seluruh kegiatan dalam masyarakat, termasuk Pilkada 2020. Pemerintah tak boleh lengah dalam mengawasi penegakkan protokol kesehatan demi terputusnya mata rantai COVID-19 sembari menunggu vaksin.
ADVERTISEMENT