Toha, Petani Sederhana yang Baik Hati

Konten dari Pengguna
17 April 2017 17:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Odesa Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Toha, Petani Sederhana yang Baik Hati
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dulu ia miskin.Tinggal di gubuk. Kebutuhan makan saja susah. Kesengsaraannya bertambah saat orang-orang menjauhinya karena ada isu beredar dia suka mencuri ternak.
ADVERTISEMENT
Nama yang tertera dari Kartu Keluarga (KK) tertulis Toha. Lahir di Bandung 12 Maret 1978. Pria yang tinggal di Kandang Sapi di kawasan Wisata Oray Tapa Bandung ini dikenal orang sebagai petani dan peternak. Kepribadiannya menarik. Komunikasinya bagus. Kalau bercerita tentang pertanian detail. Selera humornya kuat. Tidak jaga image. Ia juga punya kelebihan lain, yaitu sikap sosial yang baik terhadap warga sekitarnya. Dan yang membuat asyik bekerjasama dengan Toha karena ia mahir bergurau.
Namun di luar kepribadiannya itu, Toha memiliki karakter yang berbeda dari rata-rata petani lain. Ia memiliki bekal pengetahuan yang baik, dan mengenal model pertanian dari hulu ke hilir secara rasional. Tingkat kelemahannya hanya pada soal kurangnya teknologi dan aspek organisasi. Ia bertani sendiri tanpa melalui nahkoda kelompok tani atau organisasi. Ia juga belum modern dalam agribisnisnya.
ADVERTISEMENT
Antara kelebihan dan kelemahan itu oleh Odesa Indonesia ditempatkan pada aspek yang proporsional. Dalam ruang gerak pemberdayaan, sosok seperti Toha ini sudah cukup untuk menjadi modal kebaikan untuk diproses lebih lanjut untuk menghasilkan progres (kemajuan).
Toha. Untuk saat ini hidupnya boleh dibilang cukup. Ukuran kecukupannya ditinjau dari dua hal. Pertama, dari aspek proses hidupnya yang tanpa modal materi dan lemah pendidikan. Kedua, dari ukuran hidup rata-rata orang di Kampung Waas Toha tergolong menengah. Tidak miskin seperti mayoritas buruh tani lainnya, juga tidak tergolong kaya sebagaimana beberapa petani yang memiliki tanah.
Bangkit dari kemiskinan
Dari penuturan Toha, perjalanan hidupnya menyedihkan untuk diceritakan. Masa kecil usia 11 tahun saat ibunya meninggal ia harus berpisah dengan keluarganya, mendapat orangtua asuh di Cilaja Cilengkrang. Kata Toha, ia kurang mendapat perhatian oleh bapaknya yang menikah lagi sampai beristri empat. Tetapi dari orangtuanya ia memetik pengalaman sebagai peternak sapi.
ADVERTISEMENT
“Bapak saya pinter ternak sapi. Saking berhasilnya suka kawin. Saya mendapat pengetahuan di masa kecil; kalau punya satu sapi, maka wajib dalam setahun harus punya dua ekor. Kalau tidak menghasilkan satu sapi dalam setahun mending tidak usah,” terangnya.
Toha sekolah hanya sampai kelas 2 SD. Keluar sekolah karena tidak mampu membayar. Rp 350 perbulan memberatkan orangtuanya.
Masa usia SD hingga remaja ia lakoni sebagai anak asuh dari petani. Ladang dan hutan Arcamanik menjadi tempatnya yang akrab. Paham setiap sudut sisi hutan. Ketika menginjak usia 15 tahun ia mulai mengenal dagang, belajar dan belajar berjualan segala macam hasil tanam, sampai membawanya ke kawasan perkotaan Bandung Timur.
Saat mulai lagi tinggal di Waas, ia tak punya tanah dan tak punya tempat tinggal. Beruntung ada orang Kota yang punya tanah dan baik hati untuk mengurusnya. Tanah itu yang kini menjadi kandang sapi.
ADVERTISEMENT
“Dulu itu ada seorang bapak, maaf ya, Cina dari Kopo yang baik hati sama saya.Dia membeli tanah ke orang dan mengijinkan saya mengurusnya. Saya bisa membangun gubuk dan bertanam. Saking baiknya ketika bapak itu butuh duit kepepet dan ingin menjual tanahnya diberikan ke saya dengan sistem cicilan ratusan ribu per bulan, atau kapan saja saya bisa membayar,” terangnya.
Dari kebaikan orang Kota itu Toha hidup, dan nekad menikah pada usia 17 tahun. Ia berkawin dengan Irah, gadis Waas yang saat tahun 1999 masih berusia 14 tahun dan sekarang dikaruniai anak Irawati, Rismawati, Virginia Putri.
Pada mulanya ia menikah tanpa restu orang tua karena kata Toha calon mertuanya saat itu tidak yakin dirinya bisa memberi makan. Namun ia nekad. Menikah dan pada beberapa tahun kemudian mertuanya bisa menerima. “Saya percaya hidup di hutan itu banyak keajaiban,” kata Toha.
ADVERTISEMENT
Bertahun-tahun menikah dan bekerja keras ia tetap miskin. Tapi ia punya kebersamaan pikiran dengan istrinya, bahwa satu-satunya cara untuk mengubah keadaan hanya dengan pekerja keras siang dan malam. “Saya ini biasa lapar, saya biasa susah hidup bertahun-tahun, bahkan pernah menggelandang di jalanan bersama istri saya. Saya tidak boros. Istri saya bisa mengatur uang,” katanya.
Usaha kerasnya berhasil pada tahun 2008. Hasil tabungan Toha bisa membeli tanah seluas 140 meter persegi dengan harga Rp 600.000. Uang Rp 600 ribu ini dari hasil bagi hasil memelihara sapi. Bosan tinggal di gubuk, Toha mulai berpikir punya rumah. Hasil tabungan dari sapi milik orang lain. Pada 2013 berhasil terkumpul uang sampai Rp 60 juta untuk bangun rumah.
ADVERTISEMENT
Dicurigai sebagai maling
Mengenang kisah tahun 2000-2010 bagi Toha adalah mengenang kesedihan. Hidup dalam kemiskinan yang akut sampai-sampai membuat dirinya diremehkan tetangganya. Ia merasa tidak pernah merugikan orang lain, tapi selalu saja ada yang beranggapan minor, apalagi saat ia mulai berdagang domba.
“Saya sering gonta-ganti domba karena saya berternak sambil berdagang. E ternyata ada orang berpikir saya melakukan hal yang enggak-enggak. Orang-orang menjauhi karena ada isu menyebar saya maling domba. Petani di kampung saya itu merasa tidak wajar kalau berganti-ganti domba. Biasanya setahun baru dijual” katanya.
Yang paling menyedihkan dari Toha adalah ketika suatu hari ada ustad kehilangan domba. Ia tertimpa sial dituduh sebagai pencuri. Toha dipaksa mengaku dengan bacokan. Ia tidak melawan saat itu. Ia memilih membawa masalah ke polisi. Naas polisi tidak mau memproses karena alasan tidak ada visum. Pulang ke rumah dengan amarah karena ia merasa di kampungnya dicap sebagai maling, sementara di kepolisian tidak mendapatkan keadilan yang diminta. Tidak terima akan hal itu, ia merasa harus mengambil jalan penyelesaian. Kepada beberapa warga ia menyampaikan kalau Ustad itu harus pergi dari Waas atau mati di ladang.
ADVERTISEMENT
“Mungkin karena saya tidak main-main marahnya. Entah siapa yang menyampaikan hal ini ke orang itu. Akhirnya pindah juga,” kenang Toha.
Bagi Toha, penyakit iri soal harta di kampung sudah lumrah terjadi. Biasanya orang-orang yang merasa kaya merasa sok jagoan sehingga merendahkan orang yang tak punya. Yang ia pikirkan cuma satu, hidup cukup dan tidak melarat. Dan caranya cuma satu.
“Jangan heran kalau saya dan istri saya kerja sampai jam 11 malam. Prinsip kami biarkan orang tua menderita, asalkan anak-anak bahagia. Anak-anak tinggal di rumah, saya dan istri tetap di kandang,” tuturnya.
Kebaikan
Toha dan keluarganya sekarang tidak disebut miskin, sekalipun tidak bisa disebut kaya, tetapi etos kerja cukup menganggumkan. Proses panjangnya dari tidak memiliki apa-apa sekarang bisa memiliki rumah, beberapa ribu meter tanah milik sendiri, dan juga tanah kelola di perhutani.
ADVERTISEMENT
Hasil penelusuran Odesa-Indonesia ke kampung-kampung Waas tentang sosok Toha cukup menarik. Dari 7 orang di RT berbeda dan tiga kampung dekat Waas memandang Toha secara positif. Semua menilai Toha hebat karena alasan suka bekerja keras. Salut karena dulunya tidak mampu sekarang punya sapi dan pinter tani. Beberapa orang mengenal Toha karena kebaikannya membantu orang lain. Bahkan sampai sekarang ia pun menyantuni satu keluarga tua untuk bekerja di ladangnya dengan jaminan kebutuhan pangan tercukupi. Belum lagi ia juga sering berbagi pekerjaan kepada saudaranya yang ia anggap mau berusaha keras untuk memperbaiki keadaan.
“Pantes Mang Toha itu kalau dikasih job pekerjaan selalu bilang sanggup. Rupanya dia bisa mengorganisasir pekerja dan memimpinnya,” kata Agung Prihadi yang mendampingi Toha untuk urusan manajeman program kerja pendampingan.-Sadur Sentosa
ADVERTISEMENT